Nikah/Keluarga

Mendidik Anak via Dialog ala Sayidina Luqman al-Hakim (2)

Sel, 8 Maret 2022 | 06:00 WIB

Mendidik Anak via Dialog ala Sayidina Luqman al-Hakim (2)

Kita melihat nasihat-nasihat Sayidina Luqman terhadap anaknya mencakup aspek akidah atau tauhid, aspek ibadah, aspek muamalah, dan aspek akhlak

Dalam tulisan sebelumnya dikemukakan bahwa Sayyidina Luqman al-Hakim adalah sosok bijaksana yang dikaruni hikmah oleh Allah. Beliau sangat mengerti akan situasi, kemampuan, dan perkembangan anak yang dinasihati. Berkat kebijaksanaannya, nama Sayidina Luqman diabadikan sebagai nama surah Al-Quran sekaligus surah yang merekam dialognya, sebagaimana yang tersurat dalam ayat 12 sampai 19.


Pun telah dikemukakan apa saja poin-poin nasihat yang disampaikan Sayidina Luqman al-Hakim kepada putranya. Untuk itu, dari style dialog dan poin-poin nasihatnya, marilah kita simak sama-sama keteladanan, keunggulan, dan pesan moral apa saja yang dapat dipetik oleh para orang tua dan para pendidik. Konsultan pendidikan dan keluarga asal Mesir, Dr. Ghadah Hasyad telah menguraikannya sebagai berikut: (Lihat: al-Hiwâr ma’a al-Abnâ’ ‘Ilâj  li Kulli Da’, [‘Ashir al-Kutub, Tahun 2021], halaman 191-194).


Pertama, dilihat dari kacamata ilmu ma’ani, ayat ke-12 yang menjadi pembuka dialog Sayidina Luqman al-Hakim dan berbunyi, (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat dia menasihatinya, “Wahai anakku, janganlah mempersekutukan Allah! Sesungguhnya menyekutukan (Allah) itu benar-benar kezaliman yang besar,” menunjukkan pentingnya seorang ayah duduk dengan anak untuk memberi didikan, nasihat, bimbingan, dan mengedepankan cara-cara dialog. Bentuk jumlah ismiyyah atau kalimat nominal wahuwa ya‘izhuhu (saat dia menasihatinya) menunjukkan pada ketetapan, kelanggengan, dan kondisi yang terus-menerus.


Kedua, nasihat yang disampaikan Sayyidina Luqman al-Hakim melalui dialognya bersifat komprehensif, mengedepankan skala prioritas, dan mencakup segala hal yang dibutuhkan anak dalam setiap fase pertumbuhannya. Makanya, kita melihat nasihat-nasihat Sayidina Luqman terhadap anaknya mencakup aspek akidah atau tauhid, aspek ibadah, aspek muamalah, dan aspek akhlak. Selain itu, nasihat-nasihatnya memperhatikan tingkat kemampuan dan perkembangan anak. Penyampaian nasihat dimulai dengan masalah akidah yang menjadi dasar keyakinannya, disusul dengan penanaman nilai-nilai ketakwaan dan rasa takut kepada Allah pada hati anak. Setelah itu, barulah beralih pada masalah shalat, perintah amar ma'ruf, nahi mungkar, dan perintah sabar. Terakhir, konsentrasi nasihat diarahkan kepada aspek akhlak, baik sikap, ucapan, maupun tingkah laku.


Ketiga, metode dialog yang digunakan Sayidina Luqman al-Hakim terkesan santai dan mengedepankan konsep kesetaraan serta keakraban antara orang tua dengan anaknya. Terlebih disajikan dalam penjelasan-penjelasan yang masuk akal di mata anak, penjelasan sebab, alasan, serta hikmah yang dapat dipahami anak. Dengan begitu, lebih besar kemungkinan anak menerima apa yang disampaikan betapa pun beratnya bobot nasihat. Pada saat yang sama, anak juga dilatih mengembangkan imajinasi serta daya pikirnya tanpa merasa dipaksa menelan mentah-mentah dan menjalankan perintah yang disampaikan.  


Contohnya peringatan berbuat syirik, digambarkan Sayidina Luqman al-Hakim sebagai kezaliman yang besar. Istilah zalim tentu lebih mudah diakui kejelekannya di mata orang banyak, termasuk di mata anak.  Makanya, beliau gambarkan kesyirikan bukan sebagai kezaliman biasa, melainkan kezaliman yang besar.


Begitu pula saat menyampaikan, “Wahai anakku, tegakkanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang ma'ruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar serta bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Disusul dengan alasan, Sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang (harus) diutamakan.


Selanjutnya, Sayidina Luqman menyampaikan, Janganlah memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi ini dengan angkuh. Alasannya adalah, Sungguh Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.


Keempat, sapaan Sayidina Luqman al-Hakim terhadap anaknya berupa, “Ya bunayya....” (wahai anakku...)  menunjukkan kepiawaian Sayidina Luqman sebagai seorang pendidik yang bijak dalam memilih tutur kata yang disenangi anak. Ini artinya, pendidik harus pandai membuat anak didik merasa nyaman, berkesan, merasa dicintai dan diperhatikan.


Pendidik tidak menasihati anak didiknya kecuali melalui pintu yang disukainya, sehingga penggunaan kata “Anakku...!” “Sayangku...!” harus menjadi pembuka hati dan simpati anak yang akan dinasihati.


Walhasil, pada saat menyampaikan nasihat, seorang pendidik tidak boleh menggunakan kata-kata kasar, menyinggung, dan melukai perasaannya. Kemaslah nasihat sedemikian rupa agar terdengar lemah lembut, menarik perhatian, sekaligus menunjukkan penghargaan,  keakraban, dan kesetaraan pada sang anak.


Kelima, Sayidina Luqman telah menggunakan ungkapan yang sederhana, perumpamaan dan alasan  yang mudah dicerna anak, bukan ungkapan yang biasa dipakai orang dewasa. Perumpamaan suara yang tinggi dengan suara keledai adalah salah satu contohnya. Sedangkan suara keledai sudah maklum: tidak disukai banyak orang dan sangat meresahkan. Karenanya, perumpamaan dapat dijadikan sarana dan contoh tidak baik yang mudah dipahami anak.


Disampaikan Sayidina Luqman, “Berlakulah wajar dalam berjalan dan lembutkanlah suaramu.” Kemudian diikuti oleh alasan, “Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”
 

Keenam, mendidik melalui metode dialog dan tanya-jawab, memberi kesempatan lebih besar pada anak untuk membangkitkan minat dan kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan daripada sekadar diberi jawaban dangkal dan saklek. Hal itu telah dilakukan Sayidina Luqman saat merespon pertanyaan anaknya ketika melihat lautan yang terus memuntahkan gelombang, “Wahai ayah, seandainya sebuah biji jatuh kepada lautan itu, apakah Allah mengetahuinya?”


Dijawabnya, sebagai difirmankan Allah, (Luqman berkata,) “Wahai anakku, sesungguhnya jika ada (suatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu, di langit, atau di bumi, niscaya Allah akan menghadirkannya (untuk diberi balasan). Sungguh Allah Mahalembut lagi Mahateliti. Di sini juga tampak bahwa Sayidina Luqman al-Hakim menjawab secara akurat pertanyaan anaknya dengan mengumpamakan biji sawi yang merupakan biji yang cukup kecil, tetapi tak luput dari pengetahuan Allah.”


Ketujuh, pendidikan yang disampaikan Sayidina Luqman melalui dialognya didasarkan pada dua prinsip, yakni prinsip pahala dan siksa,  prinsip motivasi dan prinsip peringatan. Pelaksanaan perintah dan pengabaian larangan, dipahamkan pada anak mengandung konsekuensi ganjaran dan pembalasan, baik berupa pahala, kenikmatan surga, atau siksaan neraka. Begitu pula keteguhan berpegang terhadap nilai-nilai akhlak dan perintah ibadah,  digambarkan sebagai perangai mulia yang tidak hanya membawa keselamatan di dunia, tetapi juga di akhirat.


Di samping itu, orang tua atau pendidik penting pula menghadirkan alternatif pada saat menyampaikan larangan berbuat sesuatu. Contohnya, ketika Sayidina Luqman al-Hakim melarang anaknya melakukan perangai tercela, seperti takabur “...dan janganlah berjalan di bumi ini dengan angkuh,” kemudian beliau menunjukkan perangai mulia, “Bersikap wajarlah dalam berjalan.”


Walhasil, para pendidik pun harus memberikan alternatif yang dapat diterima anak dari setiap larangan yang disampaikan. (Lihat: al-Hiwâr ma’a al-Abnâ’ ‘Ilâj  li Kulli Da’, Terbitan ‘Ashir al-Kutub, Tahun 2021, Hal. 191-194). Wallahu ‘alam.


Ustadz M. Tatam Wijaya, alumnus PP Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi, Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.