Ramadhan

Fiqih Puasa: Suntik dan Infus Apakah Membatalkan?

Kam, 21 Maret 2024 | 08:00 WIB

Fiqih Puasa: Suntik dan Infus Apakah Membatalkan?

Ilustrasi suntik dan infus apakah membatalkan puasa (freepik).

Saat menjalankan ibadah puasa Ramadhan, tubuh idealnya dalam kondisi sehat dan prima agar dapat melakukan puasa hingga usai. Karena, orang yang sakit keras dalam syariat mendapatkan keringanan untuk membatalkan puasa dan berkewajiban untuk mengqadhanya di kemudian hari. 
 

Namun, terdapat sebagian orang sakit yang tetap bersikukuh untuk melakukan puasa dan menyuntikkan obat ataupun dipasangi selang infus sebab penyakit atau prosedur medis tertentu.
 

Lalu apakah tindakan demikian dapat membatalkan puasa? Pasalnya, terdapat cairan yang masuk ke dalam tubuh.
 

Sebelum beranjak pada hukum fiqih, perlu diketahui terlebih dahulu perbedaan antara suntik dan infus. Kebanyakan, suntik berisi cairan obat-obatan adapun infus merupakan metode pemberian obat atau cairan nutrisi yang berfungsi untuk menggantikan cairan maupun zat makanan dari tubuh melalui pembuluh darah vena.
 

Perbedaan kandungan zat itu membuat efek penggunaan suntik dan infus menjadi berbeda, setelah diinfus tubuh seseorang cenderung terasa segar dan tidak merasa lapar meski juga tidak kenyang. Sedangkan, penggunaan injeksi atau suntik adalah murni sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit bukan sebagai nutrisi pengganti zat makanan dan minuman.
 

Menilik ketetapan fiqih, melakukan suntik saat puasa hukumnya diperbolehkan jika dalam kondisi darurat. Akan tetapi, mengenai batal dan tidaknya puasa terjadi tarik ulur pendapat di kalangan ulama.
 

Menurut pendapat pertama, hukumnya membatalkan puasa secara mutlak sebab perkara yang dimasukan ke dalam tubuh akan sampai ke dalam perut. Menurut pendapat kedua, hukumnya tidak membatalkan puasa secara mutlak, sebab sampainya hal tersebut tidak melalui lubang tubuh yang terbuka. 
 

Sementara itu, menurut pendapat ketiga yang menjadi pendapat ashah hukumnya diperinci:

  1. Jika sesuatu yang dimasukkan ke dalam tubuh itu masuk dalam kategori nutrisi penyuplai makanan (pengganti makanan), atau bukan nutrisi namun masuknya melalui urat nadi atau otot yang terbuka dan mengarah ke dalam perut maka hukumnya dapat membatalkan puasa. 
  2. Jika bukan demikian, maka hukumnya tidak membatalkan puasa.
     

Ketiga pendapat ini terangkum dalam kitab At-Taqriratus Sadidah yang ditulis oleh Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad Al-Kaff:
 

حُكْمُ الْإِبْرَةِ: تَجُوْزُ لِلضَّرُوْرَةِ، وَلَكِنْ اخْتَلَفُوْا فِي إِبْطَالِهَا لِلصَّوْمِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ أَقُوْلُ:

  1.  فَفِيْ قَوْلٍ: إِنَّهَا تُبْطِلُ مُطْلَقًا؛ لِأَنَّهَا وَصَلَتْ إِلَى الْجَوْفِ.
  2. وَفِي قَوْلٍ: إِنَّهَا لَا تُبْطِلُ مُطْلَقًا؛ لِأَنَّهَا وَصَلَتْ إِلَى الْجَوْفِ مِنْ غَيْرِ مَنْفَذٍ مَفْتُوْحٍ.
  3. وَقَوْلٌ فِيْهِ تَفْصِيْلٌ وَهُوَ الْأَصَحُّ إِذَا كَانَتْ مَغْذِيَةً فَتُبْطِلُ الصَّوْمَ وَإِذَا كَانَتْ غَيْرَ مَغْذِيَةٍ فَنَنْظُرُ إِذَا كَانَتْ فِيْ الْعُرُوْقِ الْمُجَوَّفَةِ وَهِيَ الْأَوْرَدَةُ فَتُبْطِلُ، وَإِذَا كَانَ فيِ الْعَضَلِ وَهِيَ الْعُرُوْقُ غَيْرِ الْمُجَوَّفَةِ فَلَا تُبْطِلُ
     

Artinya, “Hukum suntik diperbolehkan karena kondisi darurat, akan tetapi ulama berselisih pendapat dalam membatalkan puasa sebab perkara tersebut dalam tiga pendapat:

  1. Suntik membatalkan puasa secara mutlak, sebab dapat sampai ke perut.
  2. Tidak membatakan secara mutlak sebab sampainya ke perut tidak memalui jalur lubang yang terbuka.
  3. Pendapat yang di dalamnya terdapat perincian. Pendapat ini merupakan ashah. Yakni:
    Jika hal tersebut (menancapkan jarum) bersifat menguatkan atau memberi asupan maka dapat membatalkan puasa; sedangkan apabila tidak demikian maka dilihat, (a) jika jarum itu ditancapkan di otot yang terbuka (urat nadi) maka dapat membatalkan, sedangkan (b) jika di otot yang tidak terbuka maka tidak membatalkan.”

(Hasan bin Ahmad bin Muhammad Al-Kaff, At-Taqrirat As-Sadidah fil Masail Al-Mufidah [Tarim: Dar Al-Ulum Al-Islamiyyah], halaman 452)
 

Kendati demikian, Syekh Muhammad bin Ahmad bin Umar As-Syathiri (wafat 1422 H) dalam kitabnya Syarhul Yaqutun Nafis mengutip pernyataan sebagian ulama bahwa penggunaan suntik semacam ini tidak masuk melalui jalur yang semestinya, sehingga perkara tersebut tidak sampai membatalkan puasa:
 

أَمَّا حُكْمُ اْلإِبْرَةِ قَالُوْا إِنَّ اْلإِبْرَةَ الَّتِي يُحْقَنُ بِهَا اْلمَرِيْضُ تَمُرُّ بِاْلعُرُوْقِ وَتَصِلُ إِلَى اْلجَوْفِ فَتَفْسُدُ اْلصَّوْمَ. لَكِنْ قَالَ بَعْضُ اْلعُلَمَاءِ: كُلُّ مَا يَدْخُلُ إِلَى اْلجِسْمِ مِنْ مَنْفَذٍ غَيْرِ طَبِيْعِيٍّ فَإِنَّهُ لاَ يَبْطُلُ بِهِ اْلصَّوْمُ
 

Artinya, “Adapun hukum jarum dikatakan bahwa sesungguhnya jarum yang disuntikkan pada orang yang menderita sakit dan melalui otot yang terbuka (urat nadi) serta sampai pada rongga tubuh maka puasanya batal. Akan tetapi, sebagian ulama menyatakan bahwa setiap perkara yang masuk tubuh dari jalur yang tidak normal maka hal tersebut hukumnya tidak membatalkan puasa.” (Muhammad bin Ahmad bin Umar As-Syathiri, Syarhul Yaqutun Nafis fi Mazhabi Ibni Idris [Jeddah: Dar Al-Minhaj], halaman 307).
 

Sejumlah penjelasan di atas mengantarkan pada kesimpulan:

  1. Penggunaan jarum suntik saat menjalankan ibadah puasa hukumnya tidak membatalkan, karena sampainya perkara tersebut tidak melalui jalur normal dari lubang tubuh yang terbuka selama tidak disuntikkan pada bagian otot yang terbuka atau urat nadi.
  2. Praktik infus hukumnya dapat membatalkan puasa sebab bersifat menguatkan atau memberikan asupan nutrisi terhadap tubuh. Wallahu a’lam bisshawab.
     

Ustadz A Zaeini Misbaahuddin Asyuari, Alumni Ma’had Aly Lirboyo Kediri dan pegiat literasi pesantren.