Syariah

Apakah Praktik Endoskopi Batalkan Puasa Pasien?

Kam, 29 Desember 2022 | 08:15 WIB

Apakah Praktik Endoskopi Batalkan Puasa Pasien?

Praktik endoskopi dianggap dapat membatalkan puasa. (Ilustrasi: NU Online/freepik).

Kedokteran pada masa kini berkembang sangat cepat. Penelitian dokter terhadap penyakit pasiennya tidak lagi sebatas menanyakan keluhan pasien tetapi lebih dari itu. Kini, dokter dapat melakukan beragam prosedur pengecekan kesehatan organ dalam pasien. 


Ada pemeriksaan menggunakan media sinar X yang dikenal dengan rontgen untuk memotret organ dalam manusia. Ada juga pemeriksaan yang dinamakan endoskopi, yaitu prosedur untuk melihat kondisi organ dalam tertentu dengan memasukkan kamera sangat kecil ke dalam tubuh pasien.


Endoskopi memakai alat bernama endoskop, yaitu alat berbentuk selang kecil yang dilengkapi dengan kamera di ujungnya. Kamera pada endoskop ini tersambung dengan monitor sehingga dokter bisa leluasa meneliti keadaan di dalam organ dalam pasien sehingga penyebab dari gejala penyakit dapat diketahui secara akurat. Selain itu, endoskop juga digunakan untuk mengambil sampel jaringan yang nantinya diteliti di laboratorium khusus. 


Apakah praktik endoskopi membatalkan puasa?

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Hal ini dikarenakan endoskopi adalah alat yang sama sekali tidak dapat dikategorikan sebagai makan dan minum. Padahal, esensi dari puasa adalah menahan hawa nafsu dari kesenangan duniawi seperti makan, minum dan berhubungan badan. Selain itu, endoskopi tidak juga dikategorikan memasukkan obat ke dalam tubuh pasien karena tidak diberikan campuran senyawa obat sedikitpun.


Pertama, Menurut mazhab Abu Hanifah endoskopi tidak membatalkan puasa. Hal ini dikarenakan syarat dari batalnya puasa adalah barang yang dimasukkan ke dalam rongga tubuh harus menetap di dalam tubuh. Maka, endoskopi tidak membatalkan puasa sebagaimana orang berpuasa yang tertusuk tombak yang sampai pada rongga tubuh (jauf) ataupun otaknya kemudian mencabutnya. 


وَلَوْ طعِنَ بِرُمْحٍ فَوَصَلَ إلَى جَوْفِهِ أَوْ إلَى دِمَاغِهِ فَإِنْ أَخْرَجَهُ مَعَ النَّصْلِ لَمْ يُفْسِدْ وَإِنْ بَقِيَ النَّصْلُ فِيهِ يُفْسِدُ . وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ اسْتِقْرَارَ الدَّاخِلِ فِي الْجَوْفِ شَرْطُ فَسَادِ الصَّوْمِ


Artinya, “Seandainya seseorang ditusuk tombak yang sampai pada rongga tubuh (jauf) ataupun otaknya. Apabila ia mengeluarkannya (tombak yang tertancap) besertaan mata tombaknya maka tidak merusak (puasa). Dan apabila mata tombaknya tertinggal (di dalam tubuh) maka merusak (puasa). Dan ini menunjukkan bahwa menetapnya benda yang masuk ke dalam rongga tubuh (jauf) sebagai syarat rusaknya puasa,” (Abu Bakar al-Kasani, Kitab Badai’ush Shawani’ fi Tartib asy-Syarai’i [Beirut: Darul kutub al-Ilmiyah: 2008 M], juz II halaman 84).


Kedua, Menurut mazhab Maliki endoskopi bila melalui rongga tubuh (jauf) bagian atas seperti tenggorokan membatalkan puasa. Sedangkan, endoskopi bila melalui rongga tubuh (jauf) bagian bawah seperti saluran anus atau vagina perempuan maka tidak membatalkan puasa. 


Ulama mazhab Maliki berpendapat bila barang yang dimasukkan ke dalam pencernaan melalui rongga tubuh (jauf) bagian bawah  seperti anus atau vagina berupa benda padat maka tidak membatalkan puasa. Sedangkan, bila barang yang dimasukkan ke dalam pencernaan melalui rongga tubuh (jauf) bagian atas seperti tenggorokan maka mutlak membatalkan puasa baik padat maupun cair.


وَصِحَّتُهُ بِتَرْكِ ( إيصَالِ مُتَحَلِّلٍ أَوْ غَيْرِهِ لمعدة) أَيْ غَيْرِ الْمُتَحَلِّلِ كَدِرْهَمٍ مِنْ مَنْفَذٍ عَالٍ فَقَطْ ( قَوْلُهُ مِنْ مَنْفَذٍ عَالٍ فَقَطْ ) أَيْ لَا مِنْ سَافِلٍ عَنْ الْمَعِدَةِ كَدُبُرٍ وَفَرْجِ امْرَأَةٍ وَعُلِمَ مِنْ كَلَامِهِ أَنَّ مَا وَصَلَ لِلْمَعِدَةِ إنْ كَانَ مِنْ مَنْفَذٍ عَالٍ فَهُوَ مُفْسِدٌ لِلصَّوْمِ سَوَاءٌ كَانَ مَائِعًا أَوْ غَيْرَ مَائِعٍ ، وَإِنْ كَانَ مِنْ مَنْفَذٍ سَافِلٍ فَلَا يَفْسُدُ إلَّا إذَا كَانَ مَائِعًا فَوُصُولُ الْمَائِعِ لِلْمَعِدَةِ مُفْسِدٌ مُطْلَقًا كَانَ الْمَنْفَذُ عَالِيًا أَوْ سَافِلًا وَوُصُولُ الْجَامِدِ لَهَا لَا يُفْسِدُ إلَّا إذَا كَانَ الْمَنْفَذُ عَالِيًا


Artinya, “Dan sahnya puasa dengan meninggalkan memasukkan barang yang dapat larut ataupun selainnya seperti uang dirham dari lubang yang atas. (lubang yang atas) yaitu selain lubang yang berada di bawah lambung seperti dubur dan vagina perempuan. Dapat difahami dari ungkapan mushonnif (syeikh Ahmad ad-Dardir) bahwa perkara yang sampai pada lambung (pencernaan) apabila dari lubang yang atas maka membatalkan puasa baik perkara tersebut cair ataupun tidak cair. Dan apabila (suatu perkara) masuk dari lubang bagian bawah maka tidak membatalkan kecuali berupa benda cair. Maka, perkara yang cair mutlak membatalkan baik dari lubang atas ataupun bawah. Sedangkan, perkara yang padat tidak membatalkan puasa kecuali bila masuk dari lubang atas.” (Muhammad ad-Dasuki, Kitab Hasyiyah ad-Dasuki ‘ala Syarh al-Kabir [Beirut: Darul Fikr tahun 2008] juz I, halaman 523).


Ketiga, menurut mazhab Syafi’I dan mazhab Ahmad bin Hanbal endoskopi termasuk membatalkan puasa. Hal ini dikarenakan endoskopi termasuk upaya memasukkan sesuatu perkara pada rongga tubuh. 


Dalam mazhab Syafi’i, kasus ini disamakan dengan memasukkan ujung benda padat seperti benang ke dalam rongga tubuh (jauf) adalah membatalkan puasa.


إذا ابتلع طرف خيط وطرفه الآخر بارزا أفطر بوصول الطرف الواصل


Artinya, “Ketika seseorang menelan ujung benang dan ujung yang lain masih terlihat di luar. Maka hukumnya membatalkan puasa dengan sebab masuknya ujung benang yang dimasukkan” (An-Nawawi, Kitab Majmu’ Syarh Muhadzab [Beirut: Darul Fikr tahun 2003] juz XI, halaman 316).


Mazhab Ahmad bin Hanbal juga menyatakan bahwa setiap perkara yang sengaja dimasukkan ke dalam rongga tubuh (jauf) dapat membatalkan puasa. Hal ini berarti endoskopi termasuk membatalkan puasa.


وَمَنْ أَكَلَ أَوْ شَرِبَ أَوْ أَدْخَلَ إلَى جَوْفِهِ شَيْئًا مِنْ أَيِّ مَوْضِعٍ كَانَ ذَلِكَ وَهُوَ ذَاكِرٌ لِصَوْمِهِ ، فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ بِلَا كَفَّارَةٍ ، إذَا كَانَ صَوْمًا وَاجِبًا


Artinya, “Dan barang siapa yang makan, minum, atau memasukkan sesuatu pada rongga tubuhnya (jauf) dari tempat manapun dan ia ingat atas puasanya, maka ia wajib qadha’ tanpa kewajiban membayar kafarat ketika puasanya adalah puasa wajib,” (Ibnu Qudamah, Kitab al-Mughni [Kairo: Maktabah al-Qahirah: 2003 M] juz III, halaman 119).


Dari berbagai pendapat ini, dapat kita jadikan referensi dalam menanggapi perkembangan zaman seperti praktik endoskopi. Wallahu ‘alam bis shawab.


Ustadz Muhammad Tholchah al-Fayyadl, Mahasiswa Universitas Al Azhar Kairo Mesir