Ramadhan

Kultum Ramadhan: Bulan Pendidikan Kesehatan Pola Makan

Ahad, 24 Maret 2024 | 16:00 WIB

Kultum Ramadhan: Bulan Pendidikan Kesehatan Pola Makan

Ilustrasi kultum Ramadhan bulan pendidikan kesehatan pola makan. (freepik).

Ramadhan tahun ini keprihatinan mewarnai kehidupan kaum muslimin karena kenaikan harga bahan makanan pokok. Padahal ketika bulan puasa, permintaan bahan makanan di pasaran meningkat pesat. Dengan kondisi seperti sekarang, banyak masyarakat yang akhirnya mengencangkan ikat pinggang dan mengubah pola makan agar pengeluaran sesuai dengan kemampuan ekonominya.
 

Di tengah-tengah kesulitan masyarakat inilah, Ramadhan hadir dalam suasana kesahajaan. Sebagai muslim yang menjalani puasa, mereka merasakan lapar dan dahaga di Bulan Ramadhan sebagaimana saudaranya yang kekurangan makanan. Kesamaan rasa ini menjadi simbol solidaritas terhadap saudara-saudaranya yang kurang mampu, terutama dalam memenuhi kebutuhan makanannya.
 

Makan bagi orang Islam tidak sekedar kebutuhan perut, tetapi merupakan bekal untuk ibadah. Namun, dalam kehidupan sehari-hari nafsu makan sering membuat orang makan lebih dari keperluan. Karena itu, perut yang mengolah makanan perlu diistirahatkan sejenak setelah 11 bulan bekerja keras.
 

Puasa yang dilaksanakan oleh umat Islam merupakan latihan pengendalian nafsu makan sekaligus relaksasi bagi saluran pencernaan. Karena kebiasaan atau pola makan yang mungkin tidak terkendali di luar Bulan Ramadhan, bagi sebagian orang puasa adalah sarana terbaik untuk mendidik pola makan yang sehat. Berbuka puasa dan sahur secara rutin pada Bulan Ramadhan membiasakan saluran pencernaan bekerja dengan tertib.
 

Ketika sudah berhasil menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, termasuk mengendalikan nafsu makan, seorang muslim hendaknya tidak berbuka puasa dengan berlebihan. Saluran pencernaan yang telah relaksasi perlu disuplai nutrisi secara bertahap setelah berbuka puasa. Meskipun nafsu makan bangkit kembali, umat aktivitas makan umat Islam dibatasi dengan rangkaian ibadah sunnah lainnya.
 

Masalah makanan memang mendapatkan perhatian besar dalam agama Islam. Saking pentingnya, Al-Quran memuat perintah untuk memerhatikan makanan di dalam surat ‘Abasa ayat 24 sebagai berikut:
 

فَلْيَنْظُرِ الْاِنْسَانُ اِلٰى طَعَامِهٖٓۙ
 

Artinya, “Maka, hendaklah manusia itu memerhatikan makanannya.”
 

Dalam Tafsir Al-Ibriz dijelaskan bahwa maksud dari ayat di atas terkait dengan proses sampainya makanan sebagai rezeki dari Allah kepada manusia hingga makanan itu dikelola oleh manusia. (Mustofa, Tafsir Al-Ibriz, [Wonosobo Lembaga Kajian Strategis Indonesia: 2013], halaman 593).
 

Selayaknya manusia itu memerhatikan perihal makanannya. Hal-hal yang perlu diperhatikan itu mulai dari cara Allah mengatur asal muasal makanan itu sehingga sampai di tangan manusia. Namun, tidak kalah pentingnya memerhatikan pola makan, pengolahan makanan itu oleh manusia, hingga cara mengonsumsinya.
 

Setelah dikonsumsi, makanan ada yang berubah menjadi energi atau tenaga. Tenaga inilah yang bermanfaat untuk menunjang aktivitas ibadah. Namun, ada pula sisa makanan yang harus dibuang agar tubuh tetap sehat.
 

Ada hadits dalam Musnad Imam Ahmad yang relevan dengan makna “memerhatikan” pada ayat ke-24 Surat Abasa. Riwayat itu bersumber dari Ad-Dahhak bin Sufyan Al-Kilabi. 
 

عَنِ الضَّحَّاكِ بْنِ سُفْيَانَ الْكِلَابِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ: يَا ضَحَّاكُ مَا طَعَامُكَ؟ قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ، اللَّحْمُ وَاللَّبَنُ. قَالَ: ثُمَّ يَصِيرُ إِلَى مَاذَا؟ قَالَ: إِلَى مَا قَدْ عَلِمْتَ. قَالَ: فَإِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى ضَرَبَ مَا يَخْرُجُ مِنْ ابْنِ آدَمَ مَثَلًا لِلدُّنْيَا
 

Artinya, “Suatu ketika Rasulullah bertanya: "Hai Dahhak, apa makananmu?' Jawab Dahhak, "Daging dan susu ya Rasulullah." Tanya Rasulullah selanjutnya, "Kemudian makanan itu menjadi apa?" 
 

Dahhak menjawab, "Sampai menjadi sesuatu yang Anda mengetahuinya." Rasulullah kemudian bersabda kembali. "Sesungguhnya Allah menjadikan segala yang keluar dari anak Adam itu perumpamaan untuk kehidupan dunia.” (HR Ahmad).
 

Apabila direnungkan, proses pencernaan makanan itu menghasilkan sampah yang dapat meracuni tubuh apabila tidak dikeluarkan. Ibadah puasa melatih tubuh agar lebih ringan memproses makanan yang masuk sehingga energi tetap terbentuk sekaligus memudahkan sisa makanan dikeluarkan dari tubuh.
 

Manusia juga harus memerhatikan makanannya dari segi kesehatan karena tidak semua makanan baik untuk dikonsumsi. Sebagian makanan bahkan berbahaya bagi tubuh karena mengandung zat tertentu yang beracun. Makanan yang tidak baik bagi tubuh ini sering dikategorikan sebagai makanan yang tidak thayyib atau tidak sehat.
 

Sebagai contoh yang mudah adalah singkong karena sangat populer dan enak disantap. Singkong sebetulnya dapat mengandung zat sianida yang beracun. Namun, bila singkong itu diolah dengan direbus atau digoreng maka kandungan sianida akan terlepas sehingga menjadi relatif aman. Karena itu, sebisa mungkin manusia menghindari mengonsumsi singkong yang masih mentah.
 

Berdasarkan makna ‘memerhatikan’ pada Surat ‘Abasa sebagai melihatnya hati dan pikiran, maka Ramadhan menjadi momentum untuk mendidik pola makan agar lebih sehat lahir dan batin.

Selain itu, makanan anak Adam bisa dijadikan perumpamaan untuk kehidupan dunia. Jika energi yang terbentuk dari pola makan tidak dialokasikan untuk beribadah, maka yang tinggal hanyalah sisanya yang buruk rupa dan tidak berguna. Wallahu a’lam bis shawab.
 

Ustadz Yuhansyah Nurfauzi, Anggota Komisi Fatwa MUI Cilacap, apoteker dan peneliti di bidang farmasi