Nikah/Keluarga

Apakah dalam Talak Harus Ada Saksi?

NU Online  ·  Senin, 23 Juni 2025 | 15:00 WIB

Apakah dalam Talak Harus Ada Saksi?

Ilustrasi talak/cerai. (Foto: NU Online/Freepik)

Hakikat sebuah pernikahan tidak lain bertujuan untuk melestarikan kehidupan rumah tangga pasangan suami istri. Oleh karena itu, Allah Swt telah membuat seperangkat hukum dan etika yang berkaitan dengan pernikahan demi terwujudnya bentuk kelestarian dan perkembangan hubungan keluarga tersebut.

 

Namun demikian, pada kenyataannya terkadang hukum ataupun etika tersebut tidak semuanya diindahkan dan bahkan justru banyak dilanggar sehingga menyebabkan munculnya berbagai macam problem rumah tangga. Oleh karena itu, perceraian dalam pernikahan bagaikan pintu darurat (emergency exit) ketika terjadi konflik antar suami istri yang tidak kunjung reda, meskipun kebanyakan berakhir pahit.

 

Namun, dibalik perceraian ataupun talak yang dapat menjadi semacam pintu darurat ini, muncul pertanyaan praktis yang menggelitik: apakah talak ataupun perceraian harus ada saksi?

 

Sebelum masuk pada pembahasan, kita harus paham terlebih dahulu mengenai talak dan sejumlah rukunnya, agar pertanyaan tersebut dapat terjawab dengan tuntas. Secara etimologis, talak adalah melepas ikatan. Sedangkan menurut terminologi syariah, talak adalah sebuah nama perbuatan untuk melepas ikatan pernikahan. (Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib Al-Mujib, [Beirut, Dar Ibnu Hazm: 1425 H], hlm. 241)

 

Rukun Talak

Talak atau cerai dapat terjadi ketika memenuhi sejumlah rukun talak yang telah ditentukan. Berikut adalah rukun-rukunnya:

 

وَأَرْكَانُهُ خَمْسَةٌ: مُطَلِّقٌ وَصِيغَةٌ وَمَحَلٌّ وَوِلَايَةٌ وَقَصْدٌ

 

Artinya: “Rukun-rukun talak ada lima, yakni orang yang mentalak (suami), sighat (redaksi talak), orang yang ditalak (istri), mempunyai otoritas, dan sengaja (tidak dipaksa).” (Syekh Khathib Asy-Syirbini, Mugnil Muhtaj, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1415 H], jilid. 4, hlm. 455)

 

Berdasarkan penjelasan Syekh Khathib Asy-Syirbini di atas, berikut adalah paparan lebih detail mengenai rukun-rukun talak:

 

1. Orang yang menalak (suami)

Talak bisa terjadi jika dilakukan oleh suami yang mukallaf, baligh, berakal, dan atas kemauan sendiri.

 

2. Sighat (redaksi talak)

Talak bisa terjadi dengan menggunakan Bahasa Arab ataupun bahasa lainnya, baik yang disampaikan melalui lisan, tulisan, maupun isyarat.

 

3. Orang yang ditalak (istri)

Talak bisa terjadi ketika yang ditalak tersebut adalah perempuan yang masih berstatus sebagai istri.

 

4. Mempunyai otoritas

Seseorang yang menjatuhkan talak harus memiliki otoritas atau kewenangan dalam menjatuhkan talak. Oleh karena itu, syarat mutlaknya adalah harus berstatus sebagai suami.

 

5. Tidak dipaksa

Talak bisa terjadi ketika sang suami menggunakan kalimat talak memang bermaksud untuk mentalak, bukan untuk tujuan yang lain.

 

Apakah Talak Membutuhkan Saksi?

Berdasarkan keterangan mengenai rukun-rukun talak di atas, tidak ada satu pun rukun talak yang mewajibkan adanya saksi untuk talak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa talak tidak membutuhkan adanya saksi.

 

Selain itu, Sayyid Sabiq dalam kitabnya, Fiqhus Sunnah mengatakan, sebagaimana pendapat mayoritas ulama, talak otomatis jatuh saat suami mengucapkannya, meski tanpa ada saksi. Berikut adalah kutipan paparan beliau:

 

ﺫﻫﺐ ﺟﻤﻬﻮﺭ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻠﻒﻭﺍﻟﺨﻠﻒ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﻄﻼﻕ ﻳﻘﻊ ﺑﺪﻭﻥ ﺇﺷﻬﺎﺩ، ﻻﻥ ﺍﻟﻄﻼﻕﻣﻦ ﺣﻘﻮﻕ ﺍﻟﺮﺟﻞ ، ﻭﻻ ﻳﺤﺘﺎﺝ ﺇﻟﻰ ﺑﻴﻨﺔ ﻛﻲ ﻳﺒﺎﺷﺮﺣﻘﻪ، ﻭﻟﻢ ﻳﺮﺩ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻭﻻﻋﻦﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ، ﻣﺎ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﻣﺸﺮﻭﻋﻴﺔ ﺍﻻﺷﻬﺎﺩ

 

Artinya: “Kebanyakan ulama salaf maupun khalaf  berpendapat bahwa talak jatuh meski tanpa saksi. Hal ini karena talak merupakan hak khusus bagi suami sehingga tidak butuh saksi saat melakukannya. Selain itu, tidak ada nash dari Nabi Saw. maupun sahabatnya tentang syariat mempersaksikan talak.”  (Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, [Beirut, Darul Kitab Al-‘Arabi: 1397 H], jilid 2, hlm. 257)

 

Dari keterangan tersebut semakin jelas bahwa mayoritas ulama memang tidak mensyaratkan adanya saksi dalam talak ataupun cerai. Pasalnya, talak merupakan hak dari suami sehingga ketika ia mau menggunakan haknya tidak diharuskan adanya saksi. Begitu pula tidak ada dalil dari hadits Nabi saw maupun para sahabat yang mensyaratkan adanya saksi dalam talak.

 

Namun demikian, meskipun tidak diwajibkan adanya saksi, menurut Imam Fakhruddin ar-Razi, persaksian dalam talak hukumnya sunnah, agar tidak terjadi perselisihan nantinya antara suami dan istri. Selain itu, agar jangan sampai ketika suami telah meninggal ada perempuan yang mengaku masih menjadi istri sahnya, ataupun sebaliknya. Berikut adalah paparan penjelasan dari beliau:

 

وَقَوْلُهُ تَعَالَى: وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ أَيْ أُمِرُوا أَنْ يُشْهِدُوا عِنْدَ الطَّلَاقِ وَعِنْدَ الرَّجْعَةِ ذَوَيْ عَدْلٍ، وَهَذَا الْإِشْهَادُ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ كَمَا فِي قَوْلِهِ: وَأَشْهِدُوا إِذا تَبايَعْتُمْ [الْبَقَرَةِ: ٢٨٢] وَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ هُوَ وَاجِبٌ فِي الرَّجْعَةِ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ فِي الْفُرْقَةِ، وَقِيلَ: فَائِدَةُ الْإِشْهَادِ أَنْ لَا يَقَعَ بَيْنَهُمَا التَّجَاحُدُ، وَأَنْ لَا يُتَّهَمَ فِي إِمْسَاكِهَا وَلِئَلَّا يَمُوتَ أَحَدُهُمَا فَيَدَّعِيَ الْبَاقِي ثُبُوتَ الزَّوْجِيَّةِ لِيَرِثَ

 

Artinya: “Persaksian yang dimaksud dalam ayat ini hukumnya sunnah menurut madzhab Hanafi. Adapun menurut mazhab Syafi’i, persaksian hukumnya wajib dalam hal rujuk, dan hukumnya sunnah dalam hal talak (firqah). Ada yang berpendapat bahwa fungsi adanya saksi adalah agar di antara suami istri tidak ada perselisihan dan agar jangan sampai ketika suami telah meninggal ada perempuan yang mengaku masih menjadi istri sahnya, ataupun sebaliknya.” (Imam Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut, Daru Ihya’it Turats al-‘Arabi: 1420 H], jilid. 30, hlm. 562)

 

Dari beberapa paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut mayoritas ulama, talak tidaklah wajib mendatangkan saksi. Namun demikian, hukumnya sunnah mendatangkan saksi dalam proses talak, tujuannya agar di antara suami istri tidak ada perselisihan dan ketika suami telah meninggal dunia tidak ada perempuan yang mengaku masih menjadi istri sahnya, ataupun sebaliknya. Wallahu a’lam.

 

Muhammad Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman, Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.