Ramadhan

Kultum Ramadhan: Tuntunan Agama dalam Mengelola Keuangan

Rab, 27 Maret 2024 | 03:00 WIB

Kultum Ramadhan: Tuntunan Agama dalam Mengelola Keuangan

Ilustrasi uang. (Foto: NU Online)

Dalam bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, mari kita refleksikan tuntunan agama dalam mengelola keuangan kita sebagaimana disampaikan dalam ajaran Islam. Dalam ajaran agama kita, bekerja bukan hanya sekadar mencari nafkah, tetapi juga merupakan perintah syariat yang harus dipatuhi. 

 

Allah berfirman dalam surat Al-Qashash ayat 77:

 

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا 

Artinya, “Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia.”

 

Ayat di atas menegaskan pentingnya keseimbangan antara amal ibadah untuk akhirat dan bekerja untuk urusan duniawi agar kebutuhan tercukupi. Mengenai hal ini, Rasulullah saw juga bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdillah bin ‘Amribnil ‘Ash:

 

عن رسولِ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - أنَّه قال: فاعمَلْ عَمَلَ امرِئٍ يَظُنُّ أن لَن يَموتَ أبَدًا، واحذَرْ حَذَرًا تَخشَى أن تَموتَ غَدًا

 

Artinya: “Kerjakanlah amal seperti orang yang merasa tidak akan mati selamanya, dan waspadalah sebagaimana orang yang merasa akan mati besok.” (Al-Baihaqi, Syu’abul Iman, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1410], jilid III, hal. 402).

 

Hadits di atas menekankan pentingnya bekerja dengan tekun, sebagaimana anggapan kita tidak akan mati selamanya. Namun, ketekunan tersebut mesti diiringi kita juga dengan rasa takut kepada Allah seolah kita akan mati esok hari.

 

Selain itu, dalam pandangan Islam, bekerja tidak hanya soal mencari keuntungan semata. Dalam menjalani usaha, baik itu dalam perniagaan atau jenis lainnya, kita akan menghadapi situasi di mana hasilnya bisa berupa untung atau rugi. Oleh sebab itu, Islam mengajarkan tiga hal penting dalam mengelola keuangan:

 

Pertama, mencari harta dengan cara yang halal sebab akan menjadi pertanggungjawaban di akhirat kelak. Rasulullah saw bersabda:

 

 لَا تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَ أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ قَ

 

Artinya, “Kaki Anak Adam tidaklah bergeser pada hari Kiamat dari sisi Rabbnya sehingga ditanya tentang lima hal; tentang umurnya untuk apa dia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa dia pergunakan, tentang hartanya dari mana dia peroleh dan kemana dia infakkan dan tentang apa yang telah dia lakukan dengan ilmunya.” (HR At-Tirmidzi)

 

Kedua, infaq atau menyisihkan harta untuk diberikan kepada yang membutuhkan dan jangan lupa untuk mendahulukan kepentingan keluarga. Rasulullah saw bersabda:

 

إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ 

 

Artinya, “Kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka miskin lalu meminta-minta manusia. Tidaklah engkau infaqkan hartamu dengan mengharapkan ridha Allah kecuali engkau akan diberi pahala hingga apa yang kau berikan ke mulut isterimu." (HR Malik)

 

Ketiga, seimbang dalam pengeluaran dan pemasukan, tidak berlebih-lebihan antara keduanya, agar tidak menjadi pribadi yang terlalu pelit atau boros, karena keduanya bisa berujung pada mala petaka. Rasulullah saw bersabda:

 

كُلُوا وَاشْرَبُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا مَا لَمْ يُخَالِطْهُ إِسْرَافٌ أَوْ مَخِيلَةٌ

 

Artinya, “Makan dan minumlah, bersedekah dan berpakaianlah kalian dengan tidak berlebih-lebihan atau kesombongan.” (HR Ibnu Majah)

 

Dalam kehidupan sehari-hari, kita harus senantiasa menjalankan prinsip-prinsip ini dalam mengelola keuangan. Dengan begitu, harta kita akan diliputi dengan keberkahan. Semoga kita dapat mengelola harta kita dengan baik pada bulan Ramadhan ini. Amiin

 

Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Darussunnah Jakarta.