Ramadhan

Penjelasan Salah Kaprah Masyarakat Soal Imsak

Sel, 29 Mei 2018 | 06:32 WIB

Belakangan ini istilah imsak, mungkin juga praktik imsak yang sudah berjalan lama di Indonesia dipersoalkan sebagian ustadz. Menurut mereka, masyarakat salah paham dan salah kaprah dalam memahami kata imsak.

Menurut mereka, imsak itu sendiri yang secara bahasa artinya menahan diri adalah awal mula waktu puasa yang terhitung sejak terbit fajar atau waktu subuh. Mereka mengklaim bahwa imsak itu adalah kata lain dari puasa dan hal ini bisa dicek di kitab fikih manapun.

Dari penjelasan ini, kita dapat menarik simpulan bahwa pendapat sebagian mereka didasarkan pada pengertian imsak secara bahasa. Sampai di sini, penjelasan mereka tentu saja benar. Tetapi mereka tidak bisa dibenarkan dalam menyalahkan masyarakat terkait imsak.

Masyarakat selama ini bukan tidak mengerti kata imsak secara harfiah yang tidak lain adalah puasa itu sendiri. Tetapi masyarakat Indonesia meminjam kata imsak untuk idiom baru yang merujuk pada penahanan diri lima, sepuluh, atau lima belas menit sebelum subuh.

Dari sini kemudian kata imsak tidak lagi diartikan oleh masyarakat secara harfiah, tetapi secara idiomatis seperti yang lazim dipahami. Pemakaian kata imsak untuk konsep dan pengertian baru itu bukan menjadi tanda bahwa masyarakat salah paham atau salah kaprah terhadap kata imsak karena mereka juga masih memahami kata imsak secara harfiah saat mengaji fikih puasa.

Masyarakat tetap memahami bahwa dalam masa imsak orang masih tetap boleh makan. Artinya, masyarakat memahami kata imsak secara idiomatis, bukan harfiah dalam arti puasa seperti keterangan Fathul  Mu‘in berikut ini:

ويجوز الأكل إذا ظن بقاء الليل باجتهاد أو إخبار وكذا لو شك لأن الأصل بقاء الليل لكن يكره ولو أخبره عدل طلوع الفجر اعتمده وكذا فاسق ظن صدقه

Artinya, “Makan masih dibolehkan bila menduga keberadaan malam berdasarkan ijtihad atau kabar dari seseorang. Demikian juga (masih dibolehkan makan) bila seseorang ragu karena pada asalnya malam masih ada. Tetapi (makan) makruh. Kalau orang terpercaya mengabarkan terbit fajar kepadanya, maka ia harus mempercayainya. Sama halnya (ia harus mempercayai) orang fasik yang diduga keras kejujurannya,” (Lihat Syakh Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu‘in pada hamisy I‘anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425 H-1426 H], juz II, halaman 265-266).

Syekh Bakri Syatha lalu menjelaskan bahwa dalam masa imsak itu masih diperbolehkan bagi seseorang untuk memulai atau menuntaskan hidangan sahurnya karena malam memang masih ada.

قوله ويجوز الأكل) أي للتسحر... (قوله وكذا لو شك) أي وكذلك يجوز الأكل إذا شك في بقاء الليل قال سم وهذا بخلاف النية لا تصح عند الشك إلا إن ظن بقاءه باجتهاد صحيح كما علم مما تقدم في بحث النية وما في حواشيه لأن الشك يمنع النية اه

Artinya, “(Boleh makan) makan sunah sahur, (demikian jika seseorang ragu), maksudnya demikian juga boleh makan sahur bila seseorang ragu perihal keberlangsungan malam. Tetapi Bujairimi mengatakan bahwa hukum ini tidak berlaku untuk niat karena niat tidak sah dalam keraguan kecuali jika dia menduga malam masih ada dengan ijtihad yang benar sebagaimana telah dikaji perihal niat dan pada hasyiyahnya karena keraguan mencegah niat,” (Lihat Syakh Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu‘in pada hamisy I‘anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425 H-1426 H], juz II, halaman 265).

Konsep imsak dalam pengertian masyarakat bukan berangkat dari ketidaktahuan akan agama. Konsep ini lahir dari sikap kewaspadaan dan kehati-hatian mereka dalam mengamalkan ajaran agama yang mereka yakini. Mereka lebih memilih langkah antisipasi atau ihtiyath sebagai peringatan Fathul Mu‘in berikut ini.

ولو أكل باجتهاد أولا وآخرا فبان أنه أكل نهارا بطل صومه إذ لا عبرة بالظن البين خطؤه فإن لم يبن شيء صح

Artinya, “Kalau seseorang makan sebelum subuh atau setelah maghrib menurut persangkaannya, tetapi ternyata ia makan pada hari sudah atau masih siang, maka batal puasanya. Pasalnya, persangkaan yang jelas-jelas keliru tidak dihitung. Tetapi kalau ternyata persangkaannya tidak meleset, maka sah puasanya,” (Lihat Syakh Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu‘in pada hamisy I‘anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425 H-1426 H], juz II, halaman 266).

Masyarakat melakukan ikhtiar-ikhtiar agar tidak terjatuh dalam makruh. Pandangan masyarakat ini bukan tanpa argumentasi. Mereka mendasarkan sikapnya pada penjelasan I‘anatut Thalibin berikut ini:

قوله لأن الأصل بقاء الليل) علة لجواز الأكل في صورة الظن وصورة الشك (قوله لكن يكره) أي لكن يكره الأكل

Artinya, “(Pada dasarnya malam masih ada) ini menjadi illat hukum bolehnya makan dalam dugaan dan keraguan. (Tetapi) makan ketika itu (makruh),” (Lihat Syakh Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu‘in pada hamisy I‘anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425 H-1426 H], juz II, halaman 265).

Jadi, jelas bahwa konsep imsak yang ada di masyarakat Indonesia ini lahir dari sikap kehati-hatian dalam mengamalkan agama. Bukankah ini sebuah sikap antisipatif dan langkah cerdas tanpa berlebihan.

Adapun kata imsak sendiri memang dipinjam oleh masyarakat Indonesia dari bahasa Arab. Kata ini bisa diganti dengan kata lain tergantung consensus masyarakat. Tetapi konsepnya tetap sama.

Jadi ketika kita mencoba menarik pemahaman kata imsak dari segi bahasa Arab atau secara harfiah, maka kita akan gagal memahami istilah imsak yang beredar di masyarakat. Pasalnya, kata imsak yang beredar di masyarakat merupakan idiom atau istilah khusus yang diciptakan masyarakat. Jelaslah bahwa tuduhan sebagian ustadz bahwa masyarakat selama ini salah kaprah tentu saja meleset. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)