Ramadhan

Puasa Ramadhan untuk Perempuan Hamil

Sen, 11 Mei 2020 | 14:45 WIB

Puasa Ramadhan untuk Perempuan Hamil

Islam menjunjung tinggi keselamatan hidup manusia, termasuk bila ia masih dalam kandungan.

Bulan Ramadhan merupakan bulan di mana umat Islam diwajibkan menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh. Meski demikian, orang-orang yang tidak mampu atau punya uzur melaksanakan puasa mendapatkan keringanan untuk tidak melaksanakannya, seperti orang yang sudah berusia lanjut, orang yang sakit, dan orang yang bepergian.

 

Lantas, bagaimana dengan perempuan yang sedang hamil? Apakah ia tergolong orang yang mendapatkan keringanan (rukhshah) untuk tidak berpuasa?

 

Sebelumnya patut dipahami bahwa perempuan yang sedang hamil memiliki ketentuan yang sama dengan orang yang sakit dalam hal boleh-tidaknya meninggalkan puasa. Tidak selamanya perempuan hamil wajib berpuasa dan juga tidak selamanya perempuan hamil boleh meninggalkan kewajiban puasanya. Hal ini tergantung pada kondisi kesehatan dari perempuan tersebut dan dugaan kuat akan dampak buruk yang bakal terjadi.

 

Sama halnya dengan orang sakit, perempuan hamil secara umum memiliki tiga keadaan yang memiliki konsekuensi hukum yang berbeda terkait wajib-tidaknya menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Tiga keadaan ini secara ringkas dijelaskan dalam kitab Nihayah az-Zain Syarh Qurratul ‘Ain:

 

فللمريض ثلاثة أحوال: إن توهم ضرراً يبيح التيمم كره له الصوم وجاز له الفطر. وإن تحقق الضرر المذكور أو غلب على ظنه أو انتهى به العذر إلى الهلاك أو ذهاب منفعة عضو حرم الصوم ووجب الفطر، وإن كان المرض خفيفاً بحيث لا يتوهم فيه ضرراً يبيح التيمم حرم الفطر ووجب الصوم ما لم يخف الزيادة، وكالمريض الحصادون والملاحون والفعلة ونحوهم، ومثله الحامل والمرضع ولو كان الحمل من زنا أو شبهة

 

“Bagi orang sakit terdapat tiga keadaan. Pertama, ketika ia menduga akan terjadi bahaya pada dirinya yang sampai memperbolehkan tayamum, maka makruh baginya berpuasa dan boleh baginya untuk tidak berpuasa. Kedua, ketika ia yakin atau memiliki dugaan kuat (dhann) akan terjadi bahaya atau uzur yang mengenainya akan berakibat pada hilangnya nyawa atau hilangnya fungsi tubuh, maka haram baginya berpuasa dan wajib untuk tidak berpuasa. Ketiga, ketika rasa sakit hanya ringan, sekiranya ia tak menduga akan terjadi bahaya yang sampai memperbolehkan tayamum, maka haram baginya tidak berpuasa dan wajib untuk tetap berpuasa selama tidak khawatir sakitnya bertambah parah. Sama halnya dengan orang yang sakit adalah petani, nelayan, buruh, perempuan hamil dan menyusui, meskipun kehamilan hasil dari zina atau wathi syubhat” (Syekh Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali bin Nawawi al-Bantani, Nihayah az-Zain Syarh Qurratul ‘Ain, juz 1, hal. 367)

 

Maksud dari bahaya yang sampai memperbolehkan tayamum adalah sekiranya dengan berpuasa sakit yang sedang menjangkit akan bertambah lama sembuhnya atau menjadi semakin parah. Hal demikian seperti disampaikan oleh Syekh Ibnu Hajar al-Haitami:

 

بأن يشق عليه الصوم معه أو خاف بسببه نحو زيادة مرض أو بطء برء أو غيرهما مما يبيح التيمم أخذا من قول الشيخين وحكاه في المجموع عن الأصحاب أن يجهده الصوم معه ويلحقه أو فيلحقه ضرر يشق احتماله على ما ذكرنا من وجوه المضار في التيمم

 

“Sekiranya dengan berpuasa akan terasa berat bagi orang yang sakit atau khawatir sebab puasa sakitnya akan bertambah parah, lama sembuh atau hal-hal lainnya yang dapat memperbolehkan bertayamum, berpijak pada pendapat Syaikhaini. Dikutip dalam kitab al-Majmu’ dari Ashab sekiranya seseorang akan merasa payah (lemas) dengan berpuasa dalam kondisi sakit lalu menimpa padanya bahaya yang berat ia menanggungnya, atas penjelasan yang telah aku sebutkan berupa berbagai macam bahaya dalam tayamum” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz 2, Hal. 62)

 

Sedangkan dalam konteks perempuan hamil, tatkala dalam kondisi diperbolehkan tidak puasa, maka terkait kewajiban mengganti puasanya terdapat dua perincian. Pertama, ketika ia tidak berpuasa karena khawatir terhadap kondisi fisiknya atau khawatir kondisi fisiknya sekaligus kondisi kandungannya, maka dalam dua keadaan tersebut ia hanya diwajibkan mengqadha’i puasanya saja. Kedua, ketika ia hanya khawatir pada kondisi kandungannya, dalam keadaan demikian ia berkewajiban mengqadha’i puasanya sekaligus membayar fidyah. Mengenai dua perincian ini, dalam Hasyiyah al-Qulyubi dijelaskan:

 

(وَأَمَّا الْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ فَإِنْ أَفْطَرَتَا خَوْفًا) مِنْ الصَّوْمِ. (عَلَى نَفْسِهِمَا) وَحْدَهُمَا أَوْ مَعَ وَلَدَيْهِمَا كَمَا قَالَهُ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ (وَجَبَ) عَلَيْهِمَا (الْقَضَاءُ بِلَا فِدْيَةٍ) كَالْمَرِيضِ. ((أَوْ) (عَلَى الْوَلَدِ) أَيْ وَلَدِ كُلٍّ مِنْهُمَا (لَزِمَتْهُمَا) مَعَ الْقَضَاءِ (الْفِدْيَةُ فِي الْأَظْهَرِ)

 

“Perempuan Hamil dan Menyusui ketika tidak berpuasa karena khawatir pada diri mereka, atau khawatir pada diri mereka dan bayi mereka (seperti yang diungkapkan dalam kitab Syarh al-Muhadzab), maka wajib mengqadha’i puasanya saja, tanpa perlu membayar fidyah, seperti halnya bagi orang yang sakit. Sedangkan ketika khawatir pada kandungan atau bayi mereka, maka wajib mengqadha’i puasa sekaligus membayar fidyah menurut qaul al-Adzhar” (Syihabuddin al-Qulyubi, Hasyiyah al-Qulyubi ala al-Mahalli, juz 2, hal. 76).

 

Lebih spesifik lagi, yang dimaksud dengan khawatir terhadap kondisi kandungan jika tetap berpuasa, adalah kekhawatiran akan gugurnya kandungan jika ia tetap melaksanakan puasa sampai selesai, seperti disampaikan dalam kitab Hasyiyah I’anah ath-Thalibin:

 

والمراد بالخوف على الولد: الخوف على إسقاطه بالنسبة للحامل

 

“Yang dimaksud dengan ‘khawatir pada kandungan’ adalah khawatir gugurnya kandungan (apabila melanjutkan puasa) bagi orang yang sedang hamil” (Syekh Abu Bakar Muhammad Syatho, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, juz 2, hal. 273).

 

 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum asal melaksanakan puasa bagi perempuan hamil adalah wajib. Namun kewajiban ini akan gugur tatkala ia memiliki dugaan (wahm) bahwa jika ia tetap berpuasa maka akan membahayakan terhadap kesehatannya, seperti akan bertambah sakit atau fisiknya akan drop. Bahkan bila sampai pada keyakinan atau dugaan kuat akan membahayakan fisik sang ibu dan keselamatan janin, ia wajib tidak berpuasa demi menjaga nyawa manusia (hifdh an-nafs).

 

Karena menentukan hal-hal di atas penuh perhitungan yang sangat tepat, maka sebaiknya perempuan hamil tidak mengira-ngirakan sendiri tentang kondisi kesehatan fisiknya dan kesehatan kandungannya, melainkan meminta bantuan kepada dokter kandungan Muslim (bidan) yang mampu memperhitungkan apakah yang maslahat baginya adalah berpuasa atau tidak. Jika menurut dokter kandungan, puasa tidak mengganggu terhadap kesehatan fisiknya dan kandungannya maka tetap wajib baginya untuk berpuasa. Sebaliknya, jika menurut dokter kandungan, berpuasa dapat berpotensi membahayakan fisik dan kandungan perempuan yang sedang hamil, maka kewajiban berpuasa menjadi gugur baginya. Wallahu a’lam.

 

 

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember