Ramadhan

Ramadhan dan Efek Kesehatan untuk Keharmonisan Pasutri

Sab, 6 April 2024 | 22:00 WIB

Ramadhan dan Efek Kesehatan untuk Keharmonisan Pasutri

Pasangan suami istri (Pasutri). (Foto: Freepik)

Rumah tangga yang harmonis merupakan impian bagi setiap pasangan suami istri (pasutri). Namun, seiring dengan bertambahnya usia pernikahan, masalah dalam rumah tangga pun dapat meningkat. Apabila tidak dikelola dengan baik, problem rumah tangga rentan memunculkan konflik. 


Meskipun tidak bebas dari masalah, pasutri memiliki kelebihan dibandingkan dengan orang yang belum menikah. Kebutuhan biologis pasutri lebih terjaga dan dapat terpenuhi dengan baik, terutama bila tinggal pada tempat yang sama. Sebaliknya, umat Islam yang belum berumah tangga atau pasutri yang tinggal berjauhan sangat dianjurkan untuk berpuasa agar bisa menjaga dirinya. 


Perintah berpuasa sering dikaitkan dengan pengendalian nafsu syahwat manusia. Bagi umat Islam yang sudah menikah, tetapi tinggal terpisah, puasa sangat relevan sebagai bentuk pengendalian diri dari hasrat biologis. Puasa Ramadhan yang dilakukan sebulan penuh sangat efektif untuk meredam berbagai gejolak dalam diri seseorang yang mengalami kondisi-kondisi tersebut.


Namun, bagi umat Islam yang sudah berumah tangga, puasa Ramadhan dapat menjadi momentum untuk meningkatkan keharmonisan bagi pasangan suami istri. Tentu bukan suatu kebetulan bahwa di tengah-tengah ayat yang memerintahkan puasa, terselip ayat indah yang menunjukkan romantisme bagi pasutri. Pada ayat ke-187 yang terdapat pada Surat Al-Baqarah, terdapat potongan ayat yang berbunyi:


هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّۗ


Artinya: “Mereka itu pakaian bagi kamu, dan kamu pakaian bagi mereka.”


Konteks ayat tersebut memang membahas hubungan suami istri di malam hari Bulan Ramadhan. Sebagaimana yang telah dimaklumi, hubungan suami istri dalam arti yang khusus diperbolehkan pada malam hari Bulan Ramadhan. Di dalam Tafsir Jalalain, disebutkan bahwa ayat itu adalah sindiran untuk kedua mereka (suami-istri) yang sebenarnya saling bergantung dan saling membutuhkan (Al-Mahalli dan As-Suyuthi, 2011, Tafsir Jalalain, Sinar Baru Algensindo, Bandung: halaman 99)


Dengan makna yang lebih umum, konteks keharmonisan rumah tangga dapat diwujudkan dengan semangat ayat di atas. Sebagaimana fungsi pakaian yang dibutuhkan oleh manusia, seperti itu pula fungsi suami dan istri dalam berumah tangga. Saling melindungi dan menjaga dari hal-hal buruk serta memperindah penampilan, merupakan gambaran fungsi “pakaian” yang relevan dengan konteks suami istri. 


Bagi yang sudah berumah tangga dan tinggal serumah, interaksi antara suami-istri dapat dilakukan secara langsung. Aktivitas bersama saat Ramadhan dapat diwujudkan sesuai dengan kesempatan yang ada bersama-sama sehingga kualitasnya meningkat. Pada malam hari di Bulan Ramadhan, berbagai aktivitas ibadah dapat dilakukan bersama antara suami dan istri, termasuk ibadah khusus yang berkaitan dengan nafkah batin.


Pasangan yang semula jarang makan bersama karena sibuk, bisa meluangkan waktu untuk berbuka atau sahur bersama. Kebersamaan ini merupakan kebutuhan bagi suami dan istri yang tentunya tidak dapat digantikan. Terwujudnya kebersamaan dapat merawat cinta kasih yang mungkin terabaikan ketika pada hari-hari selain Ramadhan keduanya sibuk dengan urusan masing-masing.


Bagaimana bila pasangan suami dan istri itu tinggal berjauhan? Rasa cinta dan rindu yang terpendam mungkin tidak bisa disalurkan secara langsung sebagaimana pasutri yang tinggal dalam satu tempat. Fenomena hubungan jarak jauh ini banyak dialami oleh pasangan yang berumah tangga di zaman modern seperti sekarang.


Puasa Ramadhan merupakan aktivitas yang menyehatkan hormon sehingga berpengaruh pada rasa cinta terhadap pasangan. Menahan diri dari makan dan minum pada siang hari Bulan Ramadhan akan memperbaiki kualitas hormon insulin yang berefek menstabilkan oksitosin. Oksitosin inilah yang dikenal sebagai “hormon cinta” (Azhar, Cara Hidup Sehat Islami, 2015, Tasdiqiya Publisher, Bandung: halaman 180).


Stabilnya “hormon cinta” pada pasangan suami istri yang tinggal berjauhan perlu diimbangi dengan hormon yang mampu menahan kesabaran. Hormon kesabaran ini perlu dimiliki dalam jumlah yang cukup untuk berempati pada pasangan sehingga mampu menjaga kesetiaan meskipun hidup berjauhan. Hormon kesabaran dan empati seperti serotonin dan endorfin ini ternyata juga ditingkatkan ketika seseorang berpuasa Ramadhan.


Dengan keseimbangan antara hormon cinta dan hormon kesabaran, masing-masing suami dan istri yang tinggal berjauhan diharapkan dapat menjaga diri. Hal ini sangat penting agar kehidupan rumah tangga yang telah dibangun tetap terbina dengan baik. Penjagaan diri masing-masing pasutri inilah yang akan menjadi kunci keharmonisan rumah tangga pada mereka yang tinggal berjauhan.


Apabila masing-masing suami dan istri menyadari akan pentingnya menjaga diri, maka mereka akan berperilaku yang sehat. Apabila mereka memiliki kesempatan untuk berinteraksi secara langsung, maka hubungan suami dan istri pun akan tetap terjaga dalam kondisi yang sehat. Dengan demikian, keharmonisan rumah tangga yang dilandasi dengan saling memberikan perlindungan antara suami dan istri dapat diwujudkan.


Melalui pemaknaan Ramadhan yang berdampak baik untuk kesehatan pasutri, selayaknya umat Islam dapat menerapkannya untuk rumah tangganya. Suami menjadi “pakaian” bagi istri dan sebaliknya, merupakan cara untuk menumbuhkan rasa cinta dan kesabaran. Dengan demikian, bagaimanapun kondisi yang terjadi pada rumah tangga umat Islam, pasutri akan kuat dan tangguh dalam menjaga keharmonisannya. Wallahu a’lam bisshawab.


Yuhansyah Nurfauzi, Apoteker dan Peneliti Farmasi