Syariah

Cara Menyelesaikan Konflik Rumah Tangga ala Abu Ad-Darda’

Sab, 14 Oktober 2023 | 16:00 WIB

Cara Menyelesaikan Konflik Rumah Tangga ala Abu Ad-Darda’

Pasangan suami istri (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Konflik rumah tangga yang berakhir damai, pastilah melalui penyelesaian yang bijaksana. Walau mungkin perlu melibatkan keluarga dan orang-orang terkait lainnya. Tetapi, ada penyelesaian yang jauh lebih bijaksana. Yaitu saat kedua Pasutri berhasil menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa melibatkan orang lain. Setidaknya, karena mereka mampu mencapai musamahah (saling memaafkan) tanpa perlu merepotkan banyak orang.


Bahkan, yang lebih keren lagi-jika memang memungkinkan, jangan sampai konflik rumah tangga terendus dari balik jendela. Sehingga, orang-orang di luar rumah, jangankan turut serta mendamaikan, turut memikirkan pun tidak. Dan, Abu ad-Darda’ termasuk yang mendidik rumah tangganya dengan pendidikan ini.


Bijaksana atau tidaknya dalam penyelesaian konflik, menjadi indikator kuat seberapa besar kebijaksanaan si empunya.


Fenomena yang menjamur dewasa ini, justru menunjukkan betapa Pasutri milenial negeri ini, dengan ciri banyak dininabobokkan oleh gadget dan media sosial, tengah dilanda “krisis kedewasaan” dalam menyikapi konflik rumah tangga. Pernyataan ini tidak menyimpan makna bahwa penulis dalam hal ini hadir sebagai orang yang bijaksana, atau sok bijaksana. Tidak begitu.


Media sosial sering dijadikan meja strategis untuk cerita-cerita yang tak seharusnya tersebar. Di akun pribadi, ada yang bercerita tentang suaminya yang egois, ada yang curhat ihwal istrinya yang banyak menuntut di atas kemampuan suaminya, bahkan konflik yang tumbuh karena kesalahpahaman pun turut mengisi laman platform media sosial seperti Facebook dan WhatsApp.


Untuk kebutuhan inilah tulisan ini muncul. Sedikitnya untuk membagi informasi bagaimana Islam lewat sumber-sumber yang otoritatif mengedukasi umat terkait cara penyelesaian konflik rumah tangga yang bijaksana. 


Cara Al-Qur’an Menyelesaikan Konflik Rumah Tangga

Dalam al-Qur’an, Allah swt menjelaskan cara penyelesaian konflik rumah tangga. Setidaknya ada tiga ayat tetang hal ini yang seluruhnya terangkum dalam surah an-Nisa’. Yaitu ayat 34, 35 dan 128. Sedekat yang penulis jangkau, ketiga ayat ini masing-masing membidik mukhatab (lawan bicara) yang berbeda-beda. Pada ayat ke-34, Allah berbicara kepada para suami. Di ayat ke-35 Allah berbicara kepada para istri. Sedang ayat 128, berbicara tentang nasehat Allah kepada wali dari tiap-tiap Pasutri.


Dalam surah an-Nisa’ ayat 34 Allah menasehati para suami:


وَٱلَّٰتِي ‌تَخَافُونَ ‌نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا


Artinya, “Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berikanlah mereka nasehat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. An-Nisa’ [4:34])


Pada ayat berikutnya Allah mengedukasi sekalian wali:

وَإِنۡ ‌خِفۡتُمۡ شِقَاقَ بَيۡنِهِمَا فَٱبۡعَثُواْ حَكَمٗا مِّنۡ أَهۡلِهِۦ وَحَكَمٗا مِّنۡ أَهۡلِهَآ إِن يُرِيدَآ إِصۡلَٰحٗا يُوَفِّقِ ٱللَّهُ بَيۡنَهُمَآۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرٗا


Artinya, “Jika kamu (para wali) khawatir terjadi persengketaan di antara keduanya, utuslah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya bermaksud melakukan ishlah (perdamaian), niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.” (QS. An-Nisa’ [4:35])


Dan, terakhir di ayat 128, Allah berdialog secara lemah lembut dengan para istri,


وَإِنِ ٱمۡرَأَةٌ ‌خَافَتۡ مِنۢ بَعۡلِهَا نُشُوزًا أَوۡ إِعۡرَاضٗا فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يُصۡلِحَا بَيۡنَهُمَا صُلۡحٗاۚ وَٱلصُّلۡحُ خَيۡرٞۗ وَأُحۡضِرَتِ ٱلۡأَنفُسُ ٱلشُّحَّۚ وَإِن تُحۡسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٗا


Artinya, “Jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tak acuh, keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya. Perdamaian itu lebih baik (bagi mereka), walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Jika kamu berbuat kebaikan dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh) sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa’ [4:128])


Pada ayat 34 dan 128 di atas, sedikit pun tidak ada indikasi atau petunjuk (dalalah) yang menerangkan bahwa penyelesaian konflik rumah tangga harus melibatkan orang lain di luar kedua Pasutri. Yang ada, justru penekanan agar konflik tersebut sebisa mungkin dapat diselesaikan berdua dengan damai.


Terbukti, dalam ayat 34, Allah memberi tiga tahapan secara berurutan dalam penyelesaian konflik; menasehati, pisah ranjang dan kemudian memukul dengan pukulan yang tidak menyakiti. Sekadar hanya untuk menunjukkan bahwa si suami serius ingin menyelesaikan persoalan rumah tangganya. Itu artinya, konflik rumah tangga baik saat terjadi maupun proses penyelesaiannya jangan sampai terendus tetangga.


Kemudian, di ayat 128, sasaran pesan selalu mengarah pada kedua Pasutri. Terutama pada kalimat Fala junaha ‘alaihima an yushliha bainahuma shulhan (Keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya). Rupanya, melalui teks-teks ini, Allah selalu ingin menutup aib setiap hamba-Nya. Jangan sampai para hamba-Nya malu di hadapan sesamanya, bahkan oleh kecerobohan mereka sendiri.


Kecuali dalam surah an-Nisa’ ayat 35. Di sini Allah melibatkan orang lain di luar Pasutri. Kendatipun bukan orang lain juga. Tetapi, keluarga-keluarga dekatnya yang telah saling mengenal batas emosional dan karakter masing-masing yang sengaja diutus untuk menemukan dan menyatukan titik temu dari sebuah persoalan. Tahap ini pun dilakukan jika memang kedua Pasutri dinilai tak sanggup lagi menyatukan persepsi mereka. Sehingga, harus ada pihak ketiga yang membantu untuk mempersatukan itu kembali.


Cara Abu Ad-Darda’ Menyelesaikan Konflik Rumah Tangga

Adalah Abu ad-Darda’, satu dari sekian sahabat baginda Nabi yang berhasil menyelesaikan konflik rumah tangganya dengan cara yang unik. Disebut unik karena berbeda dari cara pada umumnya. Benar saja, berkat cara ini, seberat dan sepahit apapun beban rumah tangga yang dipikul Abu ad-Darda’ dan Ummu ad-Darda’, selalu bisa terselesaikan dengan sangat bijaksana. Bahkan jika pun ada orang ketiga, dalam hal ini adalah Salman al-Farisi, yang didatangkan Allah untuk memberi solusi dari beban rumah tangganya, sedikit pun tidak merobek harga diri Abu ad-Darda’ di hadapan istrinya, Ummu ad-Darda’. Keduanya tetap saling menghormati dan memuliakan satu sama lain. 


Dan, ternyata cara itu sangat sederhana. Kendati mungkin tidak banyak yang mampu menjalankannya. Caranya adalah saling meridai satu sama lain. Memasrahkan segalanya kepada Allah, berbaik sangka kepada-Nya, bahwa apapun yang terjadi dalam rumah tangga ini adalah bagian dari af’al (takdir) Allah swt. Dan, segala yang ditakdirkan Allah pada hamba-Nya, pastilah yang terbaik untuk mereka. Karena yang mendatangkan ujian rumah tangga ini adalah Allah, maka hanya dengan bantuan-Nya lah persoalan ini dapat selesai. 


Dalam Raudhatul ‘Uqala’ wa Nuzhatul Fudhala’, Muhammad bin Hibban bin Ahmad ad-Darimi (w. 354 H) menulis sebuah riwayat dari Ibrahim bin Adham, bahwa suatu hari Abu ad-Darda’ berpesan kepada Ummu ad-Darda’,


إذا غضبتُ فرضيني وإذا غضبتِ رضيتُكِ فإذا لم نكن هكذا ما أسرع ما نفترق


Artinya, “(Wahai Ummu ad-Darda’), jika aku marah, ridai aku, dan jika kamu marah, aku meridaimu. Tanpa pola seperti ini (saling meridai), perpisahan akan sangat mudah terjadi.” (Raudhatul ‘Uqala’ wa Nuzhatul Fudhala’ [Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Baerut] hal.14).


Dari semua keterangan ini, kita bisa memetik sebuah pelajaran berharga, bahwa kebijaksanaan seseorang menyikapi konflik rumah tangga, menunjukkan seberapa dalam ia memahami konflik tersebut. Jika ia memahaminya sebagai sebuah ujian dari Allah, Dzat yang diyakini sebagai Sang Pengatur Semesta ( rabbul 'alamin ) yang mengatur dengan penuh kasih sayang, maka pastilah ia senantiasa menyikapi konflik rumah tangganya dengan bijaksana. Karena setiap yang ia hadapi, berarti bagian dari rahmat Allah swt.


Dengan begitu, ia tak mudah tersulut emosi. Sikap emosional justru akan mendorong dirinya mengumbar aib pasangannya, mencaci maki, tidak menerima kenyataan dan seterusnya. Di mana, semua itu bukan malah membuatnya tenang dan konfliknya mereda. Justru akan semakin gelap. Semoga kita semua selalu dalam dekapan rahmat Allah swt, diberi kemudahan membangun keluarga yang sakinah, dengan hiasan mawadah dan berlimpah rahmat. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab..


Ahmaad Dirgahayu Hidayat, alumni Ma’had Aly Situbondo.