Syariah

Ini Lima Kekeliruan Membaca Syahadat yang Sering Terjadi saat Azan

Rab, 18 Januari 2023 | 10:00 WIB

Ini Lima Kekeliruan Membaca Syahadat yang Sering Terjadi saat Azan

Muazin sering kali keliru dalam membaca kalimat syahadat dalam azan. (Ilustrasi: NU Online/freepik).

Membaca syahadat merupakan pintu masuk pertama seseorang pada agama Islam. Setiap individu umat Islam harus membaca syahadat yang merupakan rukun Islam pertama. Dalam syahadat terkandung makna kesaksian pada dua hal yakni bersaksi bahwa Allah sebagai Tuhannya dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.


Kalimat syahadat menggunakan bahasa Arab yang redaksi lengkapnya adalah sebagai berikut:


أَشْهَدُ أَنْ لَآإِلهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ


"Asyhadu an lā ilāha illallāhu, wa asyhadu anna muhammadar rasūlullāh."


Artinya: "Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah".


Selain selalu membaca dalam shalat, setiap hari, umat Islam juga sering mendengar lantunan syahadat yang dikumandangkan oleh muazin saat melantunkan azan. Saat melantunkan syahadat pada azan, seorang muazin harus benar-benar memperhatikan dan memahami bacaan syahadat. Jangan sampai huruf-huruf yang menjadi elemen syahadat hilang dan panjang-pendeknya tidak sesuai dengan kaidah yang ada.


Biasanya kekeliruan ini disebabkan beberapa faktor di antaranya tidak memahami bacaan syahadat karena hanya bermodalkan hafal. Selain itu bisa dikarenakan faktor lagu atau irama yang digunakan sehingga tidak sadar membuat kekeliruan dalam bacaan. Seringnya kekeliruan ini dibiarkan, maka yang bersangkutan akan merasa bahwa hal itu benar dan menjadi kebiasaan. 


Hal ini penting diperhatikan oleh para muazin karena jika terjadi kekeliruan, maka secara otomatis makna yang terkadung dalam bacaan syahadat juga akan keliru. Dan dalam tulisan ini diingatkan 5 kekeliruan yang sering dilakukan oleh para muazin saat membaca syahadat dalam azan.


1. Menghilangkan huruf Ha pada kata أَشْهَدُ


Terkadang kita mendengarkan azan seorang muazin yang membaca أَشْهَدُ menjadi أَشَدُ. Menghilangkan huruf Ha pada kata tersebut tentu akan merubah maknanya. أَشْهَدُ bermakna “Aku bersaksi” sedangkan أَشَدُ bisa mengarah ke makna “keras”. Pelafalan huruf ش juga tidak boleh mengarah kepada pelafalan huruf س karena ini juga akan mengubah lagi makna syahadat ke makna yang lain.


2. Tidak membaca idgham huruf Nun pada huruf Lam


Pada bacaan أَنْ لَآ terdapat huruf nun yang berharakat sukun bertemu dengan huruf lam. Dalam ilmu tajwid, bacaan ini dihukumi idgham bi la ghunnah, yakni memasukkan atau melebur huruf nun pada huruf lam dengan dibaca tanpa berdengung.


Pada praktiknya, ada muazin yang membacanya tidak menggunakan kaidah idgham bi la ghunnah, namun seolah-olah menghilangkan huruf nun sama sekali sehingga terdengar bacaan أَلَآ. Dengan membaca أَنْ لَآ menjadi أَلَآ tentu juga akan mengubah makna dari “Sesungguhnya tidak ada” menjadi “Ingatlah”.


Selain menghilangkan huruf Nun, kekeliruan yang ada pada bacaan ini adalah mengganti hukum membacanya dari idgham bi la ghunnah menjadi idgham bi ghunnah. Yakni dengan menekan dan memperpanjang bacaan أَنْ لَآ menjadi “alla” (huruf lam didengungkan lama).


3. Membaca pendek huruf لَآ


Kekeliruan ini yang sering muncul di antara kekeliruan yang lain. Muazin membaca kalimat ‘’ pada لَآإِلهَ إِلَّا اللهُ yang seharusnya panjang dengan bacaan pendek. Hal ini sering sering diakibatkan karena muazin menekan bacaan أَنْ  sehingga tidak memperhatikan bahwa bacaan di depannya berupa لَآ harus dibaca panjang.


Padahal huruf لَآ ini menjadi poin penting dalam membaca syahadat yang berarti “tidak”. Jika لَآ dibaca dengan pendek menjadi لَ, maka artinya akan berubah jauh dan bisa mengarah menjadi arti “Sesungguhnya”. Secara otomatis makna dari syahadat akan berubah drastis karena mengakui sesungguhnya Tuhan selain Allah. Naudzu billah.


4. Membaca huruf إِلَّا  tanpa tasydid


Kekeliruan selanjutnya adalah membaca huruf إِلَّا   pada kalimat إِلَّا اللهُ tanpa tasydid sehingga menjadi إِلَى اللهُ. Ini juga bisa merubah makna syahadat 180 derajat dari makna aslinya. Karena إِلَّا   dalam kalimat syahadat ini memiliki arti “kecuali” sementara إِلَى   memiliki arti “ke”. Kekeliruan ini bila dibiarkan saja akan menjadi kebiasaan yang sulit untuk diubah. Sehingga para muazin harus benar-benar memahami dan meresapi makna syahadat pada poin ini.


5. Membaca huruf أَنَّ dengan panjang


Jika 4 kekeliruan sebelumnya berada pada kalimat tauhid yang ditujukan untuk kesaksian kepada Allah, kekeliruan satu ini terjadi pada kalimat kesaksian kepada Nabi Muhammad sebagai utusan Allah. Terkadang terdengar muazin membaca huruf أَنَّ yang harusnya dibaca pendek, namun malah dipanjangkan menjadi أَنَّا. Hal ini tentu juga akan merubah makna yang tadinya أَنَّ bermakna “sesungguhnya” menjadi أَنَّا yang bermakna “Bahwasanya kami”.


Terkait dengan kata أَنَّ ini, juga sering memunculkan kekeliruan lain dalam membaca kalimat Tauhid yang tidak menggunakan kata أَنَّ di dalamnya yakni kalimat لَآإِلهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ. Dalam kalimat ini, huruf أَنَّ yang merupakan huruf nashab tidak ada sehingga mengakibatkan kaidah bacaan dalam ilmu nahwu (tata bahasa) berubah.


Kata “Muhammad” jika diawali dengan أَنَّ maka akan berharakat fathah menjadi أَنَّ مُحَمَّدًا. Namun jika tidak ada أَنَّ di depan kata “Muhammad” maka akan berharakat dhammah menjadi مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ.


Sehingga perlu diingat perubahan harakat kata “Muhammad” dalam kondisi ada أَنَّ berharakat fathah dan tidak ada أَنَّ maka berharakat dhammah yang selengkapnya sebagai:


لَآإِلهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ


Dan


أَشْهَدُ أَنْ لَآإِلهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ


Demikian 5 kekeliruan yang sering dilakukan oleh para muazin yang kurang memperhatikan bacaan dan makna syahadat dalam azan. Hal-hal ini sering terjadi pada muazin anak-anak yang masih dalam proses latihan dan pembiasaan. Namun juga kekeliruan ini ada juga yang dilakukan oleh muazin dewasa dan tua karena sedari awal tidak ada yang mengingatkannya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawab.


H Muhammad Faizin, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur'an (LPTQ) Pringsewu, Lampung