Bahtsul Masail

Hukum Menyerukan Hayya Alal Jihad pada Lafal Azan

Rab, 2 Desember 2020 | 10:20 WIB

Hukum Menyerukan Hayya Alal Jihad pada Lafal Azan

Penambahan lafal “hayya alal jihād” tidak dibahas oleh para ulama karena tidak bersumber pada riwayat hadits. Yang diangkat oleh ulama fiqih adalah “Hayya alā khairil amal” karena bersumber pada riwayat yang dianggap problematis. (Foto: dok NU Online)

Assalamu'alikum wr. wb.

Redaksi NU Online, belakangan beredar video orang menyerukan jihad ‘hayya alal jihad’ pada lafal azan. Hal ini terbilang sesuatu yang tidak lazim dan baru. Pertanyaannya, apakah seruan jihad pada lafal azan tidak merusak ibadah azan itu sendiri? Terima kasih atas jawabannya. (Mahmud/Jakarta Timur).


Jawaban

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Ulama fiqih telah membakukan lafal azan berdasarkan riwayat-riwayat hadits dari Rasulullah SAW. Mereka kemudian menyebutnya dengan “sifatul adzān” atau lafal azan.


Ulama fiqih bersepakat bahwa lafal azan sudah ditentukan berdasarkan riwayat-riwayat yang shahih sehingga lafal azan untuk shalat lima waktu sudah baku sebagaimana kita dengar hingga saat ini.


Kalau saja ada penambahan, itu bersifat kondisional dan berdasarkan riwayat hadits seperti tambahan lafal “Alā, shallū fī rihālikum” atau “Alā, shallū fī buyūtikum” pada saat hujan deras atau darurat yang tidak memungkinkan orang datang ke masjid (seperti Covid-19).


Penambahan lafal “hayya alal jihād” tidak dibahas oleh para ulama karena tidak bersumber pada riwayat hadits. Yang diangkat oleh ulama fiqih adalah “Hayya alā khairil amal” karena bersumber pada riwayat yang dianggap problematis.


Imam Nawawi berpendapat, penambahan “Hayya alā khairil amal” pada lafal azan dimakruhkan karena tidak didukung oleh riwayat hadits sebagaimana keterangan Imam An-Nawawi berikut ini:


يكره أن يقال في الاذان حى علي خير العمل لانه لم يثبت عن رسول الله صلي الله عليه وسلم وروى البيهقى فيه شيئا موقوفا علي ابن عمر وعلي ابن الحسين رضى الله عنهم قال البيهقى لم تثبت هذه اللفظة عن النبي صلى الله عليه وسلم فنحن نكره الزيادة في الاذان والله اعلم


Artinya, “Dalam pelafalan azan, muadzin dimakruhkan membaca ‘Hayya alā khairil amal’ karena tidak ada riwayat tetap dari Rasulullah SAW. Imam Baihaqi meriwayatkan hadits mauquf dari Ali bin Umar dan Ali bin Husain RA. Imam Baihaqi mengatakan, lafal tersebut (Hayya alā khairil amal) tidak tetap bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Kami tidak suka (memakruhkan) menambahkan sesuatu pada lafal azan. Wallahu a’lam,” (Imam An-Nawawi, Al-Majmuk Syarhul Muhadzdzab, [Jeddah, Maktabah Al-Irsyad: tanpa catatan tahun], juz III, halaman 106).


Syekh Sulaiman bin Umar yang juga dari Mazhab Syafi’I mengatakan, pelafalan “Hayya alā khairil amal” sudah tidak diberlakukan karena pelafalan itu sudah dimansukh dengan lafal “As-Shalātu khairun minan naum” pada azan subuh.


وَيُكْرَهُ أَنْ يَقُولَ حَيَّ عَلَى خَيْرِ الْعَمَلِ مُطْلَقًا وَفِي رِوَايَةٍ أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ لِلصُّبْحِ فَيَقُولُ : حَيَّ عَلَى خَيْرِ الْعَمَلِ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَجْعَلَ مَكَانَهَا الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ 


Artinya, “(Muadzin) dimakruh melafalkan ‘Hayya alā khairil amal’ secara mutlak. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa Bilal RA suatu hari melafalkan azan subuh. Ia menyeru, ‘Hayya alā khairil amal.’ Tetapi Rasulullah kemudian memintanya untuk mengganti lafal itu dengan lafal ‘As-Shalātu khairun minan naum.’” (Syekh Sulaiman bin Umar, Hasyiyatul Jamal: juz III, halaman 143).


Adapun Syekh Abu Zakaria Al-Anshari dalam Kitab Asnal Mathalib mengatakan, ulama memakruhkan penambahan “Hayya alā khairil amal” pada lafal azan karena penambahan itu dinilai mengada-ada dalam syariat atau bid’ah.


وَيُكْرَهُ أَنْ يَقُولَ حَيَّ عَلَى خَيْرِ الْعَمَلِ لِخَبَرِ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمَرْنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ 


Artinya, “(Muadzin) dimakruh melafalkan ‘Hayya alā khairil amal’ karena hadits Rasulullah SAW mengatakan, ‘Siapa saja yang mengada-adakan hal baru (bid’ah) dalam urusan (agama) kami, maka apa yang berasal darinya tertolak’” (Abu Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib: juz II, halaman 281).


Sejumlah keterangan ini dapat menjawab pertanyaan di atas. Kalau penambahan “Hayya alā khairil amal” pada lafal azan yang sudah dimansukh saja dianggap sebagai kemakruhan, terlebih lagi seruan jihad “hayya alal jihād” pada lafal azan yang dibuat mengada-ada oleh ahli zaman sekarang yang lagi tercela dalam pandangan syariat, tidak berasal dari sumber-sumber syariat yaitu riwayat hadits, bersifat bid’ah, dan dapat dianggap sebagai tasyri‘ atau membuat syariat baru.


Demikian jawaban singkat kami, semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.


Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu ’alaikum wr. wb.


(Alhafiz Kurniawan)