Syariah

Tata Cara Shalat bagi Wanita Istihadhah

Sen, 31 Oktober 2022 | 18:00 WIB

Tata Cara Shalat bagi Wanita Istihadhah

Perempuan istihadhah tetap wajib shalat.

Sebagaimana jamak diketahui, darah yang keluar dari kemaluan wanita ada 3 macam, (1) haidh; (2) nifas; dan (3) istihadhah. Wanita yang sedang menstruasi atau nifas diharamkan untuk mengerjakan shalat, puasa, thawaf jika sedang haji, membaca dan membawa Al-Qur’an, berhubungan suami istri, dan lain sebagainya. Sedangkan wanita yang sedang istihadhah tetap diwajibkan shalat, puasa, bersetubuh, dan lainnya.


Oleh karena itu, darah istihadhah tidak menjadi penyebab wajibnya mandi besar, tidak pula menjadi penyebab dilarangnya ibadah, istihadhah hanyalah sebatas darah kotor yang keluar dari rahim wanita. Dengan demikian, ia diwajibkan untuk membasuh dan membersihkan darah yang ada pada kemaluannya setiap hendak mengerjakan shalat.


Lantas, bagaimanakah cara shalat bagi wanita yang sedang istihadhah? Apakah sama dengan cara shalat pada umumnya, atau justru memiliki perbedaan? Mari kita bahas, namun sebelum menjawab pertanyaan ini, penting kiranya bagi penulis untuk menjelaskan definisi istihadhah itu sendiri.


Definisi Istihadhah

Darah istihadhah adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita di selain masa-masa haidh dan nifas, serta tidak ada kemungkinan untuk dikatakan haidh, hal ini bisa disebabkan tidak memenuhi syarat-syarat haidh, misalnya, darah yang keluar melebihi batas maksimal haid, yaitu 15 hari, atau kurang dari batas minimal haidh, yaitu 24 jam.


Tata Cara Shalat Wanita Istihadhah

Sebagaimana telah dijelaskan di awal, istihadhah bukanlah bagian dari haidh maupun nifas, sehingga wanita yang sedang mengalami pendarahan yang satu ini tetap diwajibkan shalat, puasa, boleh membaca dan membawa Al-Qur’an, boleh juga untuk berhubungan suami istri, dan lainnya.


Sedangkan tata cara shalat bagi wanita istihadhah adalah sebagaimana shalat pada umumnya, tidak ada pengurangan maupun penambahan. Hanya saja, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar shalatnya menjadi sempurna.


Sayyid Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Qadir as-Saqaf dalam kitab al-Ibanah wal Ifadhah fi Ahkamil Haidh wan Nifas wal Istihadhah, cetakan Maktabah Kanzul Hikmah, halaman 55-56 mengatakan bahwa ada lima hal yang harus dilakukan oleh wanita istihadhah ketika hendak mengerjakan shalat, yaitu:


Pertama, membasuh kemaluannya sebelum mengerjakan shalat. Kedua, wanita istihadhah harus menyumbat atau menutup kemaluannya dengan kapas, atau sesamanya ketika hendak shalat. Hanya saja, keharusan yang kedua ini apabila memenuhi tiga syarat berikut, (1) tidak menimbulkan rasa sakit yang sangat parah; (2) tidak dalam keadaan puasa (fardhu); dan (3) penyumbatan dilakukan jika dibutuhkan saja, misalnya karena darah keluar saat hendak mengerjakan shalat. 


Ketiga, membalut kemaluannya. Kewajiban yang ketiga ini dilakukan setelah menyumbat dan menutupnya. Hanya saja, menurut Imam ar-Ramli jika dengan membalut sudah bisa menjadi penyegah keluarnya darah, maka dianggap cukup tanpa harus menyumbatnya.


Kewajiban membalut dalam hal ini jika memenuhi dua syarat berikut: (1) darah selalu keluar ketika hendak mengerjakan shalat, sehingga pembalut menjadi satu-satunya solusi agar darah tidak keluar; dan (2) tidak sampai berdampak bahaya pada dirinya sendiri. 


Keempat, wudhu setelah masuknya waktu shalat. Dan, tidak boleh bagi wanita istihadhah untuk wudhu sebelum masuknya waktu shalat, karena wudhu yang dilakukan saat istihadhah termasuk dari bagian bersuci yang dharurah (thaharah darurah).


Kelima, harus cepat-cepat tanpa jeda dengan waktu yang panjang antara kewajiban pertama hingga kelima. Dengan demikian, wajib ketika waktu shalat sudah masuk untuk membasuh kemaluannya, kemudian menyumbat dan menutupnya, dilanjut dengan membalutnya, setelah itu wudhu, dan shalat.


Keenam, wanita yang sedang istihadhah harus wudhu dalam setiap shalat wajib. Ia tidak bisa menggunakan satu wudhu untuk dua shalat wajib. Selain wudhu, menurut pendapat yang lebih sahih (ashah) ia juga wajib untuk membarui basuhan pada kemaluanya, penyumbatan, dan pembalutannya.


Tidak Mengakhirkan Shalat

Selain beberapa ketentuan di atas, wanita yang sedang istihadhah juga tidak diperbolehkan untuk mengakhirkan shalat. Dengan kata lain, jika waktu shalat wajib sudah masuk, ia harus segera melakukan beberapa ketentuan di atas, kemudian langsung mengerjakan shalat tanpa harus menundanya hingga akhir waktu, kecuali ada kemaslahatan yang berkaitan dengan shalat itu sendiri,


وَلَا يَجُوْزُ لَهَا أَنْ تُؤَخِّرَ الصَّلَاةَ لِشَيْءٍ اِلَّا مَا كَانَ لِمَصْلَحَةِ الصَّلَاةِ. فَاِنْ أَخَّرَتْ لِغَيْرِ مَصْلَحَةِ الصَّلَاةِ ضَرَّ، وَوَجَبَ عَلَيْهَا أَنْ تُعِيْدَ جَمِيْعَ مَا تَقَدَّمَ


Artinya, “Tidak diperbolehkan baginya (wanita istihadhah) untuk mengakhirkan shalat karena alasan sesuatu, kecuali alasan yang berkaitan dengan kemaslahatan shalat. Dan, jika mengakhirkan shalat bukan karena kemaslahatan shalat maka berbahaya, dan wajib baginya untuk mengulangi semuanya (membasuh kemaluan, menyumbat, menutup, dan membalut).” (Sayyid Abdurrahman as-Saqaf, al-Ibanah wal Ifadhah fi Ahkamil Haidh wan Nifas wal Istihadhah, [Kanzul Hikmah: tt], halaman 58).


Yang dimaksud dengan kemaslahatan shalat dalam bab istihadhah ini adalah semua hal yang berkaitan dengan shalat, seperti menutup aurat, menunggu shalat berjamaah, menjawab orang adzan, iqamah shalat, dan mengerjakan shalat sunnah qabliyah.


Demikian penjelasan perihal tata cara shalat bagi wanita istihadhah, serta hal-hal lain yang berkaitan dengannya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.