Shalawat/Wirid

Maulid Diba’: Penyusun, Keutamaan, dan Cara Bacanya

Kamis, 12 Agustus 2021 | 06:30 WIB

Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas umat manusia di belahan dunia, tidak lepas dari cara penyebarannya yang sangat banyak. Dari cara-cara tersebut akhirnya Islam tidak hanya dikenal di Negara kelahirannya, Arab. Namun juga dikenal seantero dunia. Salah satu bentuk penyebaran itu adalah melalui peringatan hari lahir pembawa risalah Islam, Nabi Muhammad saw.


Sebagai ungkapan syukur perayaan maulid yang dikemas dengan pembacaan shalawat mengalami perkembangan yang sangat pesat ke berbagai wilayah, khususnya Indonesia. Dengan peringatan itu, pembacaan shalawat menjadi tidak hanya menjadi bacaan tahunan, melainkan bulanan, mingguan atau acara-acara tertentu yang diadakan oleh masyarakat. Salah satu bacaan maulid yang sering itu baca adalah Maulid ad-Diba’i yang populer disebut Maulid Diba’. Keindahan syiir di dalamnya mampu menarik perhatian pembaca untuk semakin menambah rasa cinta kepada baginda Nabi Muhammad saw serta menjadi sebuah media untuk mempelajari bagaimana sifat dan karakter Rasulullah yang sebenarnya.


Biografi Penyusun
Nama lengkapnya adalah Wajihuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Umar bin Yusuf bin Ahmad bin Umar asy-Syaibani az-Zabidi asy-Syafi’i. Ia memiliki gelar Abul Faraj dan masyhur dengan sebutan Ibnud Diba’. Ia merupakan salah satu ulama yang sangat luas dan dalam pengetahuannya. 


Imam Abdurrahman ad-Diba’i merupakan salah satu ulama kelahiran kota Zabid, Yaman. Beliau lahir bertepatan pada Muharram 866 H dan wafat pada Jumat 12 Rajab 944 H. Pada masa pertumbuhannya, Imam Abdurrahman tidak merasakan kasih sayang seorang ayah. Ia harus besar dan tumbuh bersama kakeknya, Syekh Syarafuddin Abil Ma’ruf Ismail bin Muhammad asy-Syafi’i, sebab ayahnya wafat bertepatan dengan hari-hari menjelang kelahirannya. (Habib Abdul Qadir bin Habib Abdullah al-‘Idrus al-Husaini al-Hadrami, an-Nurûs Safîr ‘alâ Akhbâril Qurûnil Âsyir, [Bairut, Dârush Shadr: 2001], halaman 286).


Hidup di bawah asuhan kakenya yang juga sangat alim dan dikenal sebagai orang saleh, Abdurrahman kecil selalu diajari ilmu. Kehidupannya saat kecil tidak seperti anak muda umumnya, ia lebih fokus pada ilmu. Sejak kecil ia belajar Al-Qur’an pada Syekh Nuruddin bin Abi Bakar. Di sela-selanya ia juga mempelajari cara baca Al-Qur’an versi tujuh bacaan (qirâ-ah sab’ah) kepada pamannya, Syekh Jamaluddin Muhammad Thayyib bin Ismail sampai khatam dan hafal secara lancar dan fasih. Bahkan di usia 10 tahun ia sudah berhasil menghafal Al-Qur’an.


Prestasinya sebagai penghafal Al-Qur’an di umur yang masih sangat muda tidak lantas membuatnya berhenti mencari ilmu. Rasa haus pengetahuan mengharuskan dirinya selalu mengembara untuk memperdalam keluasan ilmu Allah swt. Imam Abdurrahman memperdalam ilmu fiqih kepada Syekh Taqiyuddin Abul Hafs; belajar hadits kepada seorang muhaddits pada zamannya yaitu Syekh Zainuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin Ahmad asy-Syirji; belajar kitab Shahîhul Bukhâri, Shahîh Muslim, Misykâtul Mashâbîh, Bulûghul Marâm, dan hadits lain kepada Syekh Syamsuddin Muhammad bin Abdurrahman as-Sakhawi; belajar kitab Minhâjuth Thâlibîn, kitab monumental karya Imam an-Nawawi (wafat 676 H), dan kitab al-Hâwi as-Shaghîr karya Imam al-Mawardi (wafat 450 H), kepada Syekh Jamaluddin Ahmad bin Thahir bin Ahmad bin Umar.


Pengembaraannya yang tidak kenal lelah dalam mencari ilmu membuatnya menjadi sosok ulama yang sangat luas ilmu pengetahuannya. Dalam kitab Mil’ul Awâni disebutkan:


كَانَ اِبْنُ الدِّيْبَع مُتَبَحِّرًا فِي الْقُرْأَنِ وَالْحَدِيْثِ وَعُلُوْمِهِمَا، وَكَذَلِكَ الفِقْهُ وَكَثِيْرٌ مِنَ الْعُلُوْمِ


Artinya, “Ibnud Diba’ adalah ulama yang sangat luas dalam Al-Qur’an dan hadits serta ilmu-ilmu keduanya, begitu juga (sangat luas) dalam ilmu fiqih dan berbagai ilmu-ilmu yang lain.” (Al-Anshari, Mil’ul Awânî fî Tahqîqil Maulid Dîba’i, halaman 13).

 

Luasnya pengetahuan Imam Abdurrahman juga bisa dilihat dari karyanya yang banyak. Di antara yaitu Bughyatul Mustafid, Ghâyatul Mathlûb, Taisîrul Wushûl ilâ Jâmi’il Ushûl, Nasyrul Mahâsinil Yamâniyyah, Misykâtul Anwâr bi Shihâhi Hadîtsil Mukhtâr, Hadâ-iqul Anwâr wa Mathâli’ul Asrâr, dan yang lain. Adapun yang paling masyhur adalah kitab Maulid ad-Diba’i.


Penamaan Maulid Diba’
Maulid Diba’ sebenarnya bukanlah nama khusus kitab ini. Sebab semua isi yang ada di dalam maulid Diba’ merupakan ringkasan dari Maulid Syaraful Anâm, karangan Syekh Syihabuddin bin Qasim, sebagaimana dijelaskan:


اِشْتَهَرَ هَذَا الْكِتَابُ بِالْمَوْلِدِ الدِّيْبَعِي نِسْبَةً إِلَى مُؤَلِّفِهِ الْمَشْهُوْرِ بِابْنِ الدِّيْبَعِ. كَانَ مُخْتَصَرًا مِنْ كِتَابِ الْمَوْلِدْ شَرَفِ الْأَنَامِ لِلشَّيْخِ شِهَابُ الدِّينِ أَحْمَدَ بْنِ عَلِيِّ بْنِ قَاسِمِ الْمُرْسِيِّ الْمَشْهُوْرِ بِابْنِ قَاسِمٍ


Artinya, “Kitab ini terkenal dengan nama Maulid Diba’i, karena disandarkan kepada penyusunnya, yang dikenal dengan nama Ibnud Diba’. Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab Maulid Syaraful Anâm, karangan Syekh Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Qasim al-Mursi, yang dikenal dengan nama Ibnu Qasim.” (Al-Anshari, Mil’ul Awâni, halaman 10).


Betapa pun Maulid Diba’ hanya sebatas ringkasan, namun keberkahan di dalamnya sangat banyak, keutamaannya sangat luas dan tentunya sebagai media untuk memperbanyak membaca shalawat kepada Rasulullah saw. Semua itu bisa dilihat dari cara penyusunannya yang tidak hanya fokus membahas tentang perjalanan hidup Rasulullah saw dan shalawat atasnya, namun juga mencantumkan beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits, sehingga pembaca tidak hanya membaca shalawat namun juga membaca Al-Qur’an dan hadits.


Pendapat Ulama tentang Maulid Diba’
Banyak ulama yang memberikan komentar positif tentang isi dan kandungan Maulid Diba’. Di antaranya sebagaimana dijelaskan dalam kitab Mil’ul Awâni:


هَذَا الْكِتَابُ مُمَيِّزَاتٌ كَثِيْرَةٌ. أَبْرَزَ بِهِ الْمُؤَلِّفُ المُعْجِزَاتِ القُرْآنِيَّةِ وَأَنْوَارَ السُّنَّةِ النَّبَوِيَةِ سَاطِعَةً لَاشِيَةً فِيْهَا


Artinya, “Kitab ini memiliki perbedaan yang banyak (dengan kitab lainnya). Penyusun menjelaskan beberapa mukjizat dalam Al-Qur’an, dan cahaya hadits nabi yang jelas dan merata di dalamnya.” (Al-Anshari, Mil’ul Awâni, halaman 11).


Dalam Maulid Diba’ penyusun menampakkan rasa cinta pada Rasulullah saw dengan hakikat cinta, memujinya dengan hakikat pujian yang sebenarnya, mengungkapkan kerinduan dengan rindu yang sebenarnya, sehingga bisa menjadi penyebab untuk mendekatkan diri kepada Allah sekaligus sebagai media untuk menambah cinta kepada-Nya, Rasulullah saw dan sahabatnya. Tidak hanya itu, Maulid Diba’ juga menjadi referensi untuk meneladani hidup Rasulullah saw yang menjadi rahmat kepada umatnya.


Dalam pembacaannya, Imam ad-Diba’i tidak hanya memerintahkan pembaca untuk bershalawat, namun juga mengajak untuk menghadirkan Rasulullah saw dalam dirinya, sebagaimana dalam salah satu mukadimah Maulid Diba’ disebutkan:


أَحْضِرُوا قُلُوْبَكُمْ يَا مَعْشَرَ ذَوِي الْأَلْبَابِ، حَتَّى أَجْلُوَ لَكُمْ عَرَائِسَ مَعَانِي أَجَلِّ الْأَحْبَابِ


Artinya, “Hadirkanlah hatimu wahai orang-orang yang berakal sehat, sehingga bisa kujelaskan kepadamu makna-makna keagungan seorang kekasih yang paling dicintai Allah.”


Keutamaan Maulid Diba’
Secara eksplisit keutamaan Maulid Diba’ tidak diragukan. Ulama sepakat dan mengamini bahwa keutamaannya sangat banyak dan tidak terhitung jumlahnya. Sebab, dengan membacanya sudah dipastikan membaca Al-Qur’an, hadits, shalawat, dan juga sebagai media mengingat dan meneladani Rasulullah saw pada masa hidupnya. Namun secara implisit, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab at-Ta’rîf bil Maulid, disebutkan:


المَوْلِدُ فِيْهِ سِرٌّ عَظِيْمٌ حَتَّى يَتَجَدَّدُ بِقِرَائَتِهِ مَفَاهِيْمُ جَدِيْدَةٌ


Artinya, “Maulid (ini), di dalamnya terdapat rahasia yang agung, (dengan membacanya) akan mendapatkan pemahaman-pemahaman baru (tentang Rasulullah saw).” (Nuruddin, al-Jauharul Maknûnah wal Asrârul Makhzûnah, halaman 16).


Pemahaman-pemahaman baru yang didapatkan pembaca merupakan bagian dari rahasia agung yang terdapat dalam Maulid Diba’. Seolah pembaca tidak hanya memiliki jaminan pahala dengan membacanya, namun juga akan ada jaminan penambahan pengetahuan dan kecintaan kepada Rasulullah saw.


Teknis Bacanya
Maulid Diba’ merupakan salah satu kitab maulid yang dibaca dalam rangka meneladani sîrah Rasulullah saw sekaligus bershalawat kepadanya. Hendaknya Maulid Diba’ dibaca di tempat yang layak, penuh adab dan sopan, serta dalam keadaan suci. Sebab, mengagungkannya sama dengan mengagungkan sosok yang dibacanya, yaitu Rasulullah saw. Sedangkan tata cara pengamalannya secara khusus, yaitu dengan beberapa tahap sebagai berikut:


Pertama, membaca surat Al-Fatihah dan dihadiahkan kepada Rasulullah saw dan Imam ad-Diba’i.


Kedua, membaca seruan dan ajakan kepada para hadirin untuk bershalawat kepada Rasulullah saw dengan kalimat sebagai berikut:


فَيَا أَيُّهَا الرَّاجُوْنَ مِنْهُ شَفَاعَةً صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. وَيَا أَيُهَا الْمُشْتَقُوْنَ إِلَى رُؤْيَةِ جَمَالِهِ، صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. وَيَا مَنْ يَخْطُبُ وِصَالَهُ يَقْظَةً وَمَنَامًا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

 

Artinya, “Wahai orang-orang yang mengharapkan syafaat dari Rasulullah saw, bershalawatlah dan ucapkanlah salam kepadanya. Wahai orang-orang yang rindu melihat ketampanannya, bershalawatlah dan ucapkanlah salam kepadanya. Wahai orang-orang yang mengharapkan pertemuan dengannya; saat sadar dan tidur, bershalawatlah dan ucapkanlah salam kepadanya.”


Bisa juga setelah membaca surat al-Fatihah lalu disusul dengan membaca shalawat berikut:


يَا رَسُوْلَ الله سَلَامٌ عَلَيْك *** يَا رَفِيْعَ الشَّانِ وَالدَّرَجِ
عَطْفَةً يَاجِيْرَةَ الْعَلَمِ *** يَا أُهَيْلَ الْجُوْدِ وَالْكَرَمِ 
(الـــــخ)


Artinya, “Wahai utusan Allah! Semoga keselamatan tetap padamu. Wahai orang yang berbudi luhur dan bermartabat tinggi. Rasa kasihmu wahai pemimpin tetangga. Wahai ahli dermawan dan pemurah hati. (sampai selesai).”


Selanjutnya membaca bacaan yang sudah tertera dalam Maulid Diba’. Wallâhu a’lam bisshawâb.

 


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan, Kokop, Bangkalan.