Shalawat/Wirid

Rahasia Asmaul Husna bagi Kelompok Muqarrabin

Sab, 21 Januari 2023 | 10:00 WIB

Rahasia Asmaul Husna bagi Kelompok Muqarrabin

Asmaul Husna merupakan sifat-sifat mulia Allah yang berjumlah 99 nama. (Ilustrasi: g-1.com)

Dalam sebuah statemen cukup keren disebutkan, (Fainna hasanātil abrār sayyi’ātul muqarrabin). Sungguh, amal-amal baik orang-orang saleh setara dengan laku-laku buruk kaum muqarrabin (golongan manusia yang memiliki kedekatan spesial dengan Allah).


Kalam ini tidak berarti bahwa kaum muqarrabin melakukan keburukan sebagaimana bunyi teksnya. Melainkan, stateman di atas hanya tentang perbandingan kualitas amal. Bahwa, amal kaum muqarrabin jauh lebih berkualitas daripada amal orang-orang saleh. Sampai-sampai, kedua amal tersebut tak dapat disetarakan. Bagai langit dan bumi. Seperti perbandingan antara baik dan buruk.


Dalam setiap peran spiritual, kaum muqarrabin selalu menempati tempat teratas dari yang lain. Hal ini, karena makrifat mereka terhadap hakikat ilahiah yang sangat mendalam serta moralitas-moralitas terpuji yang mampu mereka jalani dengan sempurna. Dan, ini pula alasan mengapa mereka disebut “muqarrabin.”


Terkait makrifat yang mendalam dan kemampuan menjalankan pelbagai akhlak terpuji tersebut, dapat tercermin dari bagaimana mereka menjalankan nilai-nilai dalam asmaul husna sesuai kadar kapasitas kemanusiaan mereka. Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) menulis satu pasal khusus tentang ini dalam al-Maqshidul Asna fi Syarhi Ma’ani Asma’il Husna (halaman 45) yang berjudul al-Fashl ar-Rabi’ fi Bayani Anna Kamalal ‘Abdi wa Sa’adatahu fi at-Takhalluq bi Akhlaqillahi Ta’ala wa at-Tahalli bi Ma’ani Shifatihi wa Asma’ihi bi Qadri Ma Yutashawwaru fi Haqqihi (Pasal Keempat: Kesempurnaan dan Kebahagiaan Sejati Seorang Hamba Terpusat Pada Kemampuan Meneladani Nilai Moralitas Terpuji Allah dan Kemampuan Berhias Diri dengan Nilai-nilai dalam Pelbagai Sifat dan Nama-nama Allah Sesuai Kadar Kapasitas Kemanusiaannya).


Asmaul Husna dalam Rahasia Kaum Muqarrabin

Pada pasal tersebut, al-Ghazali menyebut tiga keistimewaan atau rahasia kaum muqarrabin dalam menjalankan nilai-nilai asmaul husna dalam setiap nafas spiritual mereka.


Pertama, memahami asmaul husna secara mukasyafah dan musyahadah


Di hadapan kaum muqarrabin, asmaul husna tidak hanya sebatas daftar nama yang dibaca rutin sebagai wiridan, bukan pula sebagai kajian yang hanya mengurai makna, menjadi asupan gizi intelektual, bahkan sebagai pemahaman yang diyakini betul kebenarannya pun tidak. Tetapi lebih dari itu semua. Kaum muqarrabin benar-benar mengenal hakikat asmaul husna secara mukasyafah dan musyahadah.


Mukasyafah dan musyahadah merupakan kondisi spiritual di mana segala sesuatu yang tak kasat indra, terbaca jelas oleh batin kaum muqarrabin. Mereka menyaksikan secara nyata bagaimana sifat-sifat dan nama-nama itu melekat dalam diri Allah subhanahu wa ta’ala. Al-Ghazali mengatakan:


وينكشف لهم إتصاف الله عز وجل بها إنكشافا يجري في الوضوح والبيان مجرى اليقين الحاصل للإنسان بصفاته الباطنة التي يدركها بمشاهدة باطنه لا بإحساس ظاهر


Artinya, “Kaum muqarrabin menyaksikan sendiri bagaimana Allah bersifat dengan asmaul husna secara jelas dan nyata. Kondisi ini persis seperti keyakinan yang tertanam kuat dalam jiwa seseorang. Batinnya menyaksikan secara nyata terhadap apa yang ia yakini itu.” (Imam Al-Ghazali, Al-Maqshidul Asna fi Syarhi Ma'ani Asmail Husna, [Beirut, Dar Ibni Hazm, cetakan pertama: 1424 H/2003 M], halaman 45-46).


Kedua, selalu merindukan sifat Allah menghiasi dirinya


Memasuki lautan sifat luhur Allah subhanahu wa ta’ala adalah sebuah kenikmatan besar. Siapa pun yang pernah mencicipinya walau barang sedikit, pastilah tertarik untuk kembali merasakannya, lagi dan lagi hingga ia larut terbawa, tenggelam dalam samudra cinta, mabuk dengan segala keindahannya. Dalam sifat-sifat luhur itu terdapat candu yang kuat. Dan, inilah yang pernah dialami bahkan selalu dirasakan oleh kaum muqarrabin. 


Mereka sebisa mungkin meraup dan mengenakkan sifat-sifat itu sebagai hiasan batinnya. Jelas, tiada hari yang mereka lalui tanpa rindu. Bahkan, setiap tapak kaki dan deru detik waktu yang tiada berhenti, akan menjadi bukti sebuah upaya pendekatan diri kepada sang Maha Luhur. Mereka mendekati keluhuran hakiki itu melalui sifat-sifat luhur-Nya. Karena kedekatan sejati, bukan tentang tempat, tetapi sifat. Al-Ghazali mengatakan, Liyuqarribu biha min al-haqqi qurban bi as-shifati la bi al-makani (agar mereka mendekati Allah dengan sifat, bukan dengan tempat).


Normalnya, kerinduan itu selalu datang mengetuk relung setiap hamba. Namun, terkait realitas dalam diri kita yang lebih banyak membuang nafas tanpa rindu, tampak seolah ada tembok besar yang menghalangi rindu itu datang.


Dalam Kitab al-Maqshidul Asna, sekurangnya al-Ghazali merangkum dua faktor yang membuang rindu tersebut jauh-jauh.


Pertama, bisa jadi karena lemahnya makrifat dan keyakinan kita terhadap sifat yang seharusnya kita rindukan.


Kedua, barangkali karena hati kita telah dipenuhi oleh rindu yang lain.


Tak ubahnya seorang mahasiswa studi tafsir yang mengidolakan sosok profesor kenamaan Indonesia, Quraish Shihab, misalnya. Nyaris, di mana pun kajiannya digelar, ia pasti hadir mendengarkan. Mahasiswa tersebut selalu terpana oleh setiap kalam yang keluar dari profesor idolanya itu. Hari-harinya penuh dengan rindu. Dari gaya bicara hingga gaya duduk berusaha ditirunya. Namun, bertepatan suatu hari-tepat pada jam kajian Pak Quraish Shihab-ia diserang rasa lapar yang berat. Akibatnya, ia tak lagi fokus mendengarkan. Pikirannya ke mana-mana. Matanya celingak-celinguk mencari jalan keluar, menyela-nyela di tengah sekumpulan jamaah yang memadati auditorium kampus. Rupanya, sebungkus nasi pecel pagi itu lebih ia rindukan daripada sosok profesor yang saat itu di hadapannya. 


Ketiga, menginstalasi asmaul husna dalam diri


Mendekatkan diri kepada Allah (at-taqarrub ilallah), sebenarnya tak jauh beda dengan saat berupaya mendekati lawan jenis yang kita sukai, atau pedekate dalam istilah kamus remaja modern ini. Artinya, mereka yang tengah menaruh hati kepada seorang pria atau wanita pujaannya, berupaya semaksimal mungkin untuk mengungkap kesamaan dalam dirinya. Mulai dari kesamaan warna favorit, kegemaran berkunjung ke wisata bahari, bahkan yang dulunya anti nasi goreng, tiba-tiba mendadak sering nongol di warung nasi goreng, misalnya. Itu hanya karena ia ingin menyamakan diri; dalam sifat, kesukaan dan banyak hal lain dengan orang disukainya.


Demikian halnya saat seorang hamba ingin mendekatkan diri (at-taqarrub) kepada Allah. Sang hamba tersebut harus sebisa mungkin menginstalasi sifat-sifat Allah agar tertanam dalam dirinya. Sebab, hanya dengan berhiaskan sifat-sifat indah itu, seorang hamba dapat disebut rabbani (orang yang dekat dengan sang Rabbil ‘alamin).


Imam al-Ghazali mengatakan:


الحظ الثالث السعي في اكتساب الممكن من تلك الصفات والتخلق بها والتحلي بمحاسنها وبه يصير العبد ربانيا، أي قريبا من الرب تعالى وبه يصير رفيقا للملأ الأعلى من الملائكة فإنهم على بساط القرب


Artinya, “Bagian ketiga adalah berupaya sebisa mungkin mereguk sifat-sifat itu dan menanamkannya menjadi moralitas terpuji dalam diri kita, berhias dengan pernak-pernik keindahannya. Sehingga, ia berhasil menjadi rabbani, orang yang dekat dengan Tuhannya. Dengan itu, sang hamba dapat naik ke tingkatan lebih tinggi daripada malaikat yang berada di tingkatan menengah.” (Al-Ghazali, 1424 H/2003 M: 45-46).


Semoga petunjuk dan pertolongan Allah selalu membersamai kita semua. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawab.


Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumni Ma’had Aly Situbondo dan founder Lingkar Ngaji Lesehan di Lombok, NTB.