Melacak Akar Penanggalan Hijriah dalam Sistem Sosial Arab Jahiliah
NU Online ยท Ahad, 29 Juni 2025 | 15:00 WIB
Muhamad Abror
Kolomnis
Nama-nama bulan Hijriah seperti Muharram, Shafar, hingga Dzulhijjah ternyata bukan hasil rekayasa Islam semata. Justru, akar penamaan dua belas bulan ini dapat dilacak hingga masa Arab Jahiliah, jauh sebelum Nabi Muhammad lahir. Kalender itu bukan hanya penanda waktu, tetapi juga representasi cara hidup, musim, hingga norma sosial orang-orang Arab pra-Islam yang hidup nomaden, berdagang, dan sesekali berperang.
Menurut Jawwad 'Ali dalam Al-Mufashshal fi Tarikhil 'Arab Qablal Islam (Beirut: Darus Saqi, 2001: juz XVI, h. 78-97), penamaan bulan-bulan tersebut pertama kali distandarisasi oleh Kilab bin Murrah, nenek moyang Nabi Muhammad dari jalur Quraisy. Ia hidup beberapa generasi sebelum masa kenabian. Penamaan dilakukan berdasarkan peristiwa atau kebiasaan yang lazim terjadi saat bulan tersebut. Oleh karena itu, setiap nama bulan menjadi semacam "kode budaya" yang tertanam dalam struktur sosial suku-suku Arab saat itu.
Muharram misalnya, berasal dari kata haram (ุญุฑุงู
), yang berarti diharamkan. Dalam konteks ini, yang diharamkan adalah peperangan. Pada awalnya, bulan ini disebut Shafar al-Awwal atau Shafar Pertama, dan setelahnya ada Shafar ats-Tsani atau Shafar Kedua. Namun ketika konsep "bulan haram" dilembagakan kembali secara permanen dalam Islam, nama Muharram mulai digunakan untuk menegaskan kembali kesuciannya.
Berikutnya Shafar, bulan kedua, secara harfiah berarti "kosong". Makna ini berasal dari kondisi sosial saat bulan tersebut berlangsung. Pada masa itu, rumah-rumah menjadi kosong karena para lelaki Arab pergi merantau untuk berdagang, berperang, atau mencari padang rumput. Kampung menjadi sepi. Ada pula pendapat bahwa nama ini berkaitan dengan pasar di Yaman bernama Al-Shufriyyah yang ramai pada bulan itu.
Masuk ke bulan ketiga, Rabi'ul Awal, yang memiliki arti "musim semi pertama". Nama ini kemungkinan besar diberikan karena saat penamaan, bulan ini memang jatuh pada musim semi. Rerumputan tumbuh, bunga bermekaran, dan padang menghijau. Kata Rabi' (ุฑุจูุน) juga terkait dengan irtiba' (ุงุฑุชุจุงุน), artinya menetap di kampung halaman karena ladang dan padang cukup menyediakan kehidupan. Pendek kata, ini adalah bulan ketika mereka "berdiam dan menikmati hidup".
Rabi'ul Akhir adalah kelanjutan dari Rabi'ul Awal. Secara literal, artinya "musim semi akhir" atau "musim semi kedua". Di beberapa naskah disebut Rabi'uts Tsani, tapi nama akhir ini digunakan untuk membedakan dari awal. Bersama bulan sebelumnya, dua Rabi' ini membentuk pasangan bulan musim semi. Menariknya, penamaan ini merekam kondisi alam dan pola hidup masyarakat Arab di wilayah Hijaz yang secara musiman berpindah-pindah tempat.
Setelah musim semi, datang musim dingin. Inilah asal-usul penamaan Jumadal Ula dan Jumadal Akhirah. Kata Jumada (ุฌู
ุงุฏู) berakar dari Jamada (ุฌูู
ูุฏู) yang berarti beku atau kering. Pada masa itu, air membeku di sebagian kawasan Arab dan tanah menjadi keras. Jadi, kedua bulan ini dikenal sebagai masa ketika kehidupan melambat akibat kondisi alam yang keras. Perjalanan, ekspedisi, bahkan peperangan pun umumnya dikurangi pada masa Jumada ini.
Berikutnya Rajab, salah satu dari empat asyhurul hurum (bulan haram), berasal dari kata tarjib (ุชูุฑูุฌูููุจ) yang artinya mengagungkan. Sejak masa Jahiliah, bulan ini dihormati dan dijauhi dari konflik. Dalam beberapa riwayat, masyarakat menghentikan aktivitas perang dan perjalanan jauh selama Rajab. Ada pula makna lain dari akar kata rajaba (ุฑุฌุจ), maknanya "berhenti", yang memiliki arti sikap menahan diri dan memberi jeda dari rutinitas konfrontatif.
Selanjutnya adalah Sya'ban, memiliki makna "bercabang" atau "berpencar". Nama ini merepresentasikan fenomena sosial khas masyarakat suku. Jadi, setelah menahan diri di bulan Rajab, para kabilah lalu berpencar ke berbagai penjuru untuk berburu, berdagang, atau mencari sumber air. Bulan ini menjadi masa pergerakan, aktivitas, dan ekspansi. Pola berpencar ini disebut dengan istilah tasya'aba (ุชุดุนุจ), dari mana kata Sya'ban berasal.
Baca Juga
Sejarah Tahun Baru Hijriah
Kemudian Ramadhan, nama yang sangat populer, berakar dari kata ramdha (ุฑู
ุถ) yang berarti panas membakar. Dalam sejarahnya, Ramadhan memang jatuh di musim panas yang ekstrem. Pasir membara, bebatuan menyengat, dan udara terasa menyiksa. Karena itu, Ramadhan secara linguistik mengandung makna panas yang membakar, baik secara fisik maupun spiritual. Dalam Islam, bulan ini kemudian dikaitkan dengan "membakar dosa" lewat puasa.
Bulan berikutnya adalah Syawwal yang berarti "meninggi" atau "terangkat". Nama ini berasal dari pengamatan terhadap perilaku unta betina di bulan itu. Unta betina menolak kawin dan mengangkat ekornya karena kondisi tubuh yang lemah setelah musim panas panjang. Susu pun mengering. Karena itu, masyarakat Jahiliyah menghindari pernikahan di bulan Syawwal karena takut membawa sial. Nabi Muhammad lalu menepis mitos ini dengan menikahi Aisyah pada bulan Syawwal.
Selanjutnya, Dzulqa'dah berasal dari kata qa'ada (ูุนุฏ) yang artinya duduk atau berhenti. Bulan ini termasuk bulan haram, sebab perang dan ekspedisi dagang dihentikan. Dalam konteks budaya Arab, Dzulqa'dah adalah masa istirahat kolektif. Nama ini menandakan fase menenangkan diri setelah fase-fase dinamis sebelumnya. Suku-suku kembali menetap dan menghindari aktivitas konfrontatif selama Dzulqa'dah.
Lalu Dzulhijjah. Seperti namanya, berarti "yang memiliki haji". Bahkan sebelum Islam datang, bulan ini telah menjadi masa ziarah ke Mekkah untuk mengunjungi Ka'bah dan melakukan ritual keagamaan tertentu. Tentu praktik haji pra-Islam berbeda dengan yang ditetapkan dalam Islam karena saat itu melibatkan berhala. Namun, struktur waktunya tetap sama. Itulah mengapa nama Dzulhijjah dipertahankan dan dimaknai ulang secara religius dalam tradisi Islam.
Jika kita telisik lebih jauh, nama-nama bulan Hijriah itu memiliki pola. Ada pasangan bulan kembar seperti Rabi'ul Awalโ Rabi'ul Akhir dan Jumadal Ulaโ Jumadal Akhirah. Ada bulan tunggal yang berdiri sendiri seperti Rajab dan Ramadhan. Lalu ada yang menggunakan awalan Dzu (ุฐู), yaitu Dzulqa'dah dan Dzulhijjah. Pola ini merupakan bukti sistematika penamaan yang cukup canggih sekaligus menandakan keteraturan kosmologis menurut pandangan masyarakat Arab Jahiliah.
Menariknya, menurut beberapa riwayat, sebelum konsep Muharram sebagai bulan pertama, tahun Arab mungkin dimulai dari Shafar Awal. Jika ini benar, maka enam bulan pertama tahun itu terdiri dari tiga pasangan bulan "kembar", yaitu Shafar AwalโShafar Tsani, Rabi'ul Awalโ Rabi'ul Akhir, dan Jumadal Ulaโ Jumadal Akhirah. Pola ini menunjukkan bahwa sistem penamaan tidak acak, tetapi didasarkan pada keterulangan pola musim dan aktivitas manusia dalam siklus tahunan yang teratur.
Jika dibandingkan dengan kalender Babilonia, Siria, atau Ibrani yang sama-sama berakar dari budaya Semitik, nama-nama bulan Hijriah tampak sangat berbeda. Fakta ini memberi kesan bahwa kalender Arab Jahiliah, khususnya dari wilayah Hijaz, berkembang secara mandiri. Begitu juga bila dibandingkan dengan kalender Arab Selatan (Yaman) yang ditemukan dalam prasasti-prasasti kuno, tampak bahwa sistem Hijaz lebih sederhana namun khas.
Setelah Islam datang, Nabi Muhammad tidak mengganti nama-nama bulan tersebut. Beliau justru menegaskan kembali fungsinya secara spiritual, seperti mensucikan Muharram, menghapus mitos Syawwal, dan mengislamkan kembali praktik haji di Dzulhijjah. Perubahan terletak pada makna, bukan istilah. Dengan kata lain, Islam merestorasi dan mentransformasi kalender Arab menjadi sistem waktu religius yang disepakati hingga kini.
Dengan demikian, kalender Hijriah bukan sekadar hasil Islamisasi waktu, melainkan evolusi dari sistem penanggalan lokal yang mengalami pergeseran makna. Dari penanda musim, aktivitas sosial, hingga simbol spiritualitas. Nama-nama bulan tersebut adalah kapsul budaya Arab Jahiliah yang diberi ruh baru oleh Islam. Kini, setiap kali kita menyebut Muharram atau Ramadhan, sesungguhnya kita sedang menghidupkan warisan sejarah yang panjang.
Ustadz Muhamad Abror, dosen filologi dan sejarah Islam Ma'had Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta.
ย
Terpopuler
1
3 Jenis Puasa Sunnah di Bulan Muharram
2
Niat Puasa Muharram Lengkap dengan Terjemahnya
3
Innalillahi, Nyai Nafisah Ali Maksum, Pengasuh Pesantren Krapyak Meninggal Dunia
4
Keutamaan Bulan Muharram dan Amalan Paling Utama di Dalamnya
5
Khutbah Jumat: Persatuan Umat Lebih Utama dari Sentimen Sektarian
6
Innalillahi, Buya Bagindo Leter Ulama NU Minang Meninggal Dunia dalam Usia 91 Tahun
Terkini
Lihat Semua