Sirah Nabawiyah

Saat Khalifah Umar bin Khattab Memecat Panglima Perangnya

Sel, 30 November 2021 | 23:00 WIB

Saat Khalifah Umar bin Khattab Memecat Panglima Perangnya

Ilustrasi Umar bin Khattab. (Foto: NU Online)

Ketika Sayidina Umar bin Khattab menjadi khalifah, ia tetap mendaulat Khalid bin Walid sebagai Panglima. Amanah yang juga dipegang Khalid saat kepemimpinan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Kala itu Khalid mendapat tugas yang amat berat dari Khalifah Umar, yaitu menaklukkan kekuasaan Persia. Imperium besar yang dalam sejarahnya pernah menaklukkan Kerajaan Romawi ini mampu ditaklukkan Khalid di bawah perintah Umar bin Khattab.


Keberhasilan menaklukkan Persia disambut pesta gemilang oleh seluruh pasukan. Namun, tidak demikian dengan Khalifah Umar. Dia membuat kaum muslimin terhenyak ketika tiba-tiba memecat Panglima Khalid. Umar merupakan satu-satunya kepala negara yang berani mengambil keputusan memecat Panglimanya yang hebat.


KH Saifuddin Zuhri dalam memoarnya, Berangkat dari Pesantren (2013: 688) mengungkapkan, Khalifah Umar memecat Khalid bin Walid lantaran khawatir melihat gejala didewa-dewakannya Khalid oleh rakyat. Sang Khalifah juga memikirkan kepentingan pribadi Khalid. Karena gejala tersebut bisa merusak moral dan mental Khalid sendiri sebagai manusia yang bisa lupa daratan.


Menerima kenyataan dipecat dari jabatan Panglima tidak membuat Khalid berang maupun marah, justru ia ikhlas karena Khalifah Umar justru lebih memahami itu. Khalid pun tetap setia mendampingi Khalifah Umar.


Khalifah Umar memang dikenal dengan ketegasannya. Riwayat lain mengisahkan, suatu ketika Umar mendapat laporan bahwa putra Gubernur Mesir telah menempeleng seorang warga negara tanpa tanpa sebab berarti dibanding perlakuan yang telah didapatnya itu.


Seketika, Umar segera memanggil sang Gubernur yang tak lain adalah Amr bin Ash untuk mengadapkan putranya dan mempertanggungjawabkan perbuatannya yang dinilai sewenang-wenang itu.


Di hadapan Gubernur Mesir dan putranya itu, Khalifah Umar memperlihatkan ketegasannya dengan kata-kata yang hingga kini termasyhur menjadi sebuah doktrin. Umar berkata:


"Ilaa mataa ista’badtum an naasa wa qod waladathum ummahatuhum ahroron? (Sampai kapan kalian memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka?)"


Ketegasan Khalifah Umar kepada Amr bin Ash bukan kali itu saja. Amr bin Ash berencana akan membangun sebuat masjid besar di tempat gubuk tersebut dan otomatis harus menggusur gubuk reot Yahudi itu. Lalu dipanggillah si Yahudi itu untuk diajak diskusi agar gubuk tersebut dibeli dan dibayar dua kali lipat.


Akan tetapi si Yahudi tersebut bersikeras tidak mau pindah karena dia tidak punya tempat lain selain di situ. Karena sama-sama bersikeras, akhirnya turun perintah dari Gubernur Amr bin Ash untuk tetap menggusur gubuk tersebut.


KH Abdurrahman Arroisi dalam salah satu jilid bukunya 30 Kisah Teladan (1989) menjelaskan, si Yahudi merasa dilakukan tidak adil, menangis berurai air matanya, kemudian dia melapor kepada khalifah, karena di atas gubernur masih ada yang lebih tinggi. Dia berangkat dari Mesir ke Madinah untuk bertemu dengan Khalifah Sayyidina Umar bin Khattab.


Sepanjang jalan si Yahudi ini berharap-harap cemas dengan membanding bandingkan kalau gubernurnya saja istananya begitu mewah, bagaimana lagi istanya khalifahnya? Kalau gubernunya saja galak main gusur apalagi khalifahnya dan saya bukan orang Islam apa ditanggapi jika mengadu?”


Sesampai di Madinah dia bertemu dengan seorang yang sedang tidur-tiduran dibawah pohon Kurma, dia hampiri dan bertanya, bapak tau dimana khalifah Umar bin Khattab? Dijawab orang tersebut, ya saya tau, Di mana Istananya? Istananya di atas lumpur, pengawalnya yatim piatu, janda-janda tua, orang miskin dan orang tidak mampu. 


Pakaian kebesarannya malu dan taqwa. Si Yahudi tadi malah bingung dan lalu bertanya sekarang orangnya dimana pak? Ya dihadapan tuan sekarang. Gemetar yahudi ini keringat bercucuran, dia tidak menyangka bahwa didepannya adalah seorang khalifah yang sangat jauh berbeda dengan gubernurnya di Mesir.


Sayiddina umar bertanya, kamu dari mana dan apa keperluanmu? Yahudi itu cerita panjang lebar tentang kelakuan Gubernur Amr bin Ash yang akan menggusur gubuk reotnya di Mesir sana. Setelah mendengar ceritanya panjang lebar, Sayyidina Umar menyuruh Yahudi tersebut mengambil sepotong tulang unta dari tempat sampah di dekat situ.


Lalu diambil pedangnya kemudian digariskan tulang tersebut lurus dengan ujung pedangnya, dan disuruhnya Yahudi itu untuk memberikannya kepada Gubernur Amr bin Ash. Makin bingung si Yahudi ini dan dia menuruti perintah Khalifah Sayyidina Umar tersebut.


Sesampai di Mesir, Yahudi inipun langsung menyampaikan pesan Sayyidina Umar dengan memberikan sepotong tulang tadi kepada Gubernur Amr bin Ash. Begitu dikasih tulang, Amr bin Ash melihat ada garis lurus dengan ujung pedang, gemetar dan badannya keluar keringat dingin lalu dia langsung menyuruh kepala proyek untuk membatalkan penggusuran gubuk Yahudi tadi.


Amr bin Ash berkata pada Yahudi itu, ini nasehat pahit buat saya dari amirul mukminin Umar bin Khattab, seolah-olah beliau bilang, "Hai Amr bin Ash, jangan mentang-mentang lagi berkuasa, pada suatu saat kamu akan jadi tulang-tulang seperti ini. Maka mumpung kamu masih hidup dan berkuasa, berlaku lurus dan adillah kamu seperti lurusnya garis di atas tulang ini. Lurus, adil, jangan bengkok, sebab kalau kamu bengkok maka nanti aku yang akan luruskan dengan pedang ku."


Singkat cerita, setelah melihat keadilan yang dicontohkan Sayyidina Umar tersebut, akhirnya Yahudi itu menghibahkan gubuknya tadi buat kepentingan pembangunan masjid, dan diapun masuk Islam oleh karena keadilan dari Umar bin Khattab.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon