Sirah Nabawiyah

Kisah Umar bin Khattab Bentuk Majelis Syura untuk Memilih Khalifah

Sen, 15 November 2021 | 09:30 WIB

Kisah Umar bin Khattab Bentuk Majelis Syura untuk Memilih Khalifah

Ilustrasi Umar bin Khattab. (Foto: NU Online)

Sebelum masuk Islam, Umar bin Khattab merupakan salah seorang dari suku Quraisy yang sangat gigih memusuhi Islam. Tetapi sesuatu yang sangat kontras terjadi begitu dia masuk Islam. Umar menjadi pembela Islam yang sangat tangguh.


Begitulah kehebatan dakwah Rasulullah, mampu melunakkan hati sekeras baja. Bahkan, menjadikannya sebagai power dakwah Islam yang cukup berpengaruh.


Umar sebelum masuk Islam

Sebelum Umar memeluk agama Islam, atau pada zaman jahiliyah, ia dikenal sebagai sosok yang gigih menantang ajaran Nabi Muhammad saw. Selain itu, ia juga dikenal sebagai peminum khamr kelas berat sebagaimana umumnya masyarakat Arab saat itu.

 

Karena khamr sudah menjadi kebiasaan yang begitu lekat dalam keseharian mereka, Allah pun tidak terburu-buru dalam mengharamkan khamr, tetapi tahap demi tahap sehingga keharaman khamr lebih mudah diterima.


Termasuk yang Umar lakukan semasa jahiliah adalah mengubur anak perempuan hidup-hidup. Dalam tradisi Arab jahiliyah, memiliki anak laki-laki adalah keberuntungan. Sebab, anak laki-laki bisa dilatih untuk berperang, berburu, berdagang, dan pekerjaan fisik lainnya.

 

Sedangkan perempuan, bagi mereka, terlalu lemah untuk melakukan semua itu. Mereka pun menganggap melahirkan anak perempuan sebagai aib dan oleh karena itu harus dikubur hidup-hidup.


Abbas Mahmud al-‘Aqqab dalam Abqariyatu ‘Umar mengisahkan, sekali waktu saat sudah memeluk Islam, Umar duduk-duduk bersama beberapa sahabat. Tiba-tiba Umar tertawa kecil. Anehnya, setelah itu ia menangis. Orang-orang bertanya keheranan.


Lantas Umar menjawab, “Waktu zaman jahiliah dulu, kami membuat berhala dari kurma ‘ajwah. Kami menyembahnya, setelah itu kami memakannya. Inilah yang membuatku tertawa.”


“Adapun sebab aku menangis,” lanjut Umar. “Dulu aku memiliki anak perempuan, tapi aku menguburnya hidup-hidup.”


Untuk kisah penguburan anak perempuan ini, al-‘Aqqad meragukan, karena tradisi mengubur anak perempuan hidup-hidup tidak masyhur di bangsa Arab, juga di kalangan Bani ‘Addi dan keluarga Khattab sendiri (ayah Umar).


Masuk Islamnya Umar

Melihat pengaruh Abu Jahal dan Umar bin Khattab yang cukup besar bagi masyarakat Arab, Rasulullah berdoa agar di antara salah satunya diberi hidayah dan memeluk Islam. Dalam doanya, Rasulullah bersabda, “Ya Allah, muliakanlah Islam dengan masuk Islamnya Abu Jahal atau Umar bin Khattab.” (HR Abu Nu’aim)


Doa Rasulullah terkabul, Umar bin Khattab mendapat hidayah.


Syekh Az-Zuraqni dalam Mawahibul Ladduniyah menjelaskan, Umar masuk Islam jarak tiga hari setelah Hamzah bin Abdul Mutthalib memeluk Islam. Dalam catatan sejarah, Umar termasuk golongan terdahulu yang masuk Islam (as-sâbuqûnal awwalûn), setelah empat puluh pria dan sebelas perempuan lainnya. Dengan keberanian dan pengaruhnya, masuk Islamnya Umar menjadi arah baru bagi dakwah Nabi. 


Menjabat sebagai khalifah

Pada Senin 21 Jumadil Akhir tahun 13 H, Abu Bakar menghembuskan napas terakhir. Sebelum wafat, ia sudah melantik Umar untuk menggantikan posisinya sebagai khalifah. Pada subuh hari keesokan harinya, Umar dibai’at secara resmi untuk menjadi khalifah kedua. 


Kelayakan posisi Umar sebagai khalifah kedua setelah Abu Bakar banyak mendapat pengakuan dari banyak kalangan. Imam Suyuti dalam Tarikhul Khulafa mengutip beberapa di antaranya pernyataan Sufyan at-Tasuri yang mengatakan, “Tidak etis orang yang mengatakan bahwa Ali lebih berhak  menduduki kursi khalifah daripada Abu Bakar dan Umar.” Demikian pula yang dikatakan Syarik, “Ali tidak lebih baik dari Abu Bakar dan Umar.” 


Subuh Berdarah

Azan sudah berkumandang. Umar bin Khattab sudah bersiap untuk menjadi imam shalat subuh pagi itu. Begitu pun jamaah di masjid sudah berkumpul dan berbaris dengan shaf memanjang dan memenuhi isi masjid.

 

Sebelum keluar rumah, Sang Khalifah menunjuk beberapa orang untuk memastikan shaf benar-benar rapat dan lurus. Jika pun masih ada beberapa yang belum rapih, Sang Khalifah meluruskannya sendiri dengan tongkatnya.


Jamaah sudah rapi sempurna, shaf-shaf sudah lurus, begitupun rapat sebagaimana mestinya. Sang Khalifah pun bersiap memulai takbiratul ihram. Baru saja hendak memulai takbir, entah muncul dari mana, Abu Lu’ul’ah menerobos dan menusuk Sang Khalifah dengan tiga atau enam kali tikaman sebuah golok bermata dua. Praktis, Sang Khalifah terkapar di tempat dan berlumuran darah. Untuk beberapa waktu, nyawanya masih bisa diselamatkan.


Abu Lu’ul’ah yang sudah panik, berusaha melarikan diri, bahkan ia sempat melukai beberapa sahabat. Kondisinya semakin terdesak hingga ia memutuskan untuk bunuh diri.


Membentuk Majelis Syura

Luka tikaman itu rupanya sangat parah. Merasa usianya tidak lama lagi, Umar pun berpikir untuk menunjuk penggantinya. Di tengah-tengah suasana mencekam itu, para sahabat juga menunggu siapa pemimpin berikutnya yang akan ditunjuk Umar. Umar sendiri bingung, sebenarnya ia sendiri menginginkan Abdullah bin al-Jarrah atau Salim, tapi keduanya sudah wafat terlebih dulu.


Salah seorang sahabat mengusulkan agar Abdullah bin Umar (putra khalifah) yang menggantikannya, tapi justru Umar menolak mentah-mentah usulan itu. “Aku tidak mau keturunan dari Umar dimintai pertanggungjawaban atas amanah umat Nabi Muhammad,” jawab Umar bijak.


Dalam suasana yang dilematis itu, Umar membentuk Majelis Syura, sebuah lembaga yang bertugas untuk membahas dan memutuskan secara bersama tentang siapa yang layak menduduki kursi khalifah sepeninggal Umar.


Anggota Majelis Syura itu terdiri dari enam orang, yaitu Ali bin Abu Thalib, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abu Waqash, Az-Zubair bin al-Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah.

 

Umar memilih enam orang ini bukan tanpa sebab. Muhammad Suhail Thaqusy dalam Tarikhul Khulafa menjelaskan beberapa alasannya. Di antaranya karena mereka berasal dari suku Quraisy, dari sahabat-sahabat senior, dan Nabi telah meridhai mereka pasca beliau wafat.


Mereka juga termasuk enam dari sepuluh sahabat yang dikabarkan Rasulullah mendapat jaminan surga. Selain itu, mereka termasuk orang-orang yang memiliki otoritas di Madinah, mempunyai kekuatan, dan popularitas. Umar sendiri pernah menyebut mereka sebagai pembesar dan pemimpin bagi masyarakat.


Begitu Umar meninggal dunia, tim ini berkumpul di rumah al-Miswar bin Makramah. Abdullah bin Umar juga turut hadir saat itu, tapi tidak memiliki hak suara. Abdullah akan menjadi penengah jika terjadi perselisihan dalam pemilihan khalifah. Singkat cerita, dari hasil kesepakatan Majelis Syura itu, terpilihlah Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga.


Muhammad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pesantren KHAS Kempek-Cirebon dan Ma’had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta