Syariah

3 Maslahah dalam Ushul Fiqih dan Penerapan Hukumnya

Sen, 7 Agustus 2023 | 21:00 WIB

3 Maslahah dalam Ushul Fiqih dan Penerapan Hukumnya

3 Maslahah dalam Ushul Fiqih dan Penerapan Hukumnya. (Foto: NU Online/Freepik)

Salah satu istilah penting yang sering digunakan untuk menentukan sebuah hukum adalah maslahah. Maslahah sendiri merupakan pokok penting di balik terciptanya sunnah, wajib, mubah, makruh dan haram. Keberadaannya menjadi salah satu penentu di balik adanya beberapa hukum tersebut. Sebaliknya juga, ketiadaannya juga menjadi penentu tidak adanya hukum-hukum tersebut. Karenanya, tidak heran jika istilah ini sering disampaikan oleh beberapa ulama dalam karya-karyanya.


Tokoh pertama yang mencetuskan istilah maslahah adalah Imam Malik dan pengikutnya, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abul Walid al-Baji al-Maliki (wafat 474 H) dalam kitab karyanya al-Isyarah fi Ushulil Fiqh, halaman 192. Mereka menjadikan istilah ini sebagai salah satu opsi untuk menentukan sebuah dalil hukum, kemudian diikuti oleh beberapa ulama mazhab lainnya hingga saat ini terus berkembang dan menjadi acuan penting dalam menetapkan sebuah hukum.


Berikut beberapa konsep-konsep maslahah yang sering dijadikan dalil untuk menciptakan sebuah hukum. Hal ini penting untuk diketahui bersama agar penggunaan maslahah sesuai dengan rumusan-rumusan para ulama. Untuk mengawali pembahasan, akan dijelaskan terlebih dahulu definisi maslahah agar bisa memahaminya dengan benar.


Definisi dan Pembagian Maslahah

Syekh Dr. Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili dalam karyanya al-Wajiz fi Ushulil Fiqh menjelaskan bahwa maslahah pada hakikatnya adalah menarik sebuah manfaat dan menghindari mudharat. Seperti upaya para sahabat nabi untuk mengumpulkan Al-Qur’an, menetapkan tanah yang tidak bertuan bagi orang yang membabatnya serta kewajiban pajak atas tanah tersebut, dan contoh-contoh lainnya.


Sedangkan macam-macam maslahah terbagi menjadi tiga bagian penting, yaitu (1) maslahah ad-daruriyyât (maslahah yang berhubungan dengan hal-hal yang mendesak atau pokok); (2) maslahah al-hajiyyât (maslahah yang berhubungan dengan kebutuhan manusia); dan (3) maslahah at-tahsinât (maslahah yang berhubungan dengan penyempurna atau pelengkap).


1. Maslahah ad-Daruriyyât

Maslahah ad-daruriyyât merupakan maslahah yang berkaitan dengan hal-hal pokok dalam kebutuhan hidup manusia, baik kebutuhan secara agama (diniyah) maupun secara dunia (dun-yawiyah). Dengan kata lain, ketika maslahah ini hilang dalam diri manusia, maka kehidupannya akan tersia-sia dan menjadi tidak teratur, serta akan lalai pada beberapa kewajibannya. Maslahah ini memiliki 5 pokok penting, yang juga diistilahkan dengan maqashid as-syari’ah, yaitu menjaga agama (ad-din), menjaga jiwa (an-nafs), menjaga akal (al-aql), menjaga keturunan (an-nasb), dan menjaga harta (al-mal).


Salah satu contoh dalam konteks menjaga agama, dalam Islam ada istilah perang (jihad). Jika terdapat orang-orang non-Muslim mengganggu pada keberlangsungan ibadah umat Islam, maka ini merupakan bagian dari maslahah ad-daruriyah. Karena jika diam tanpa memeranginya juga, maka kewajiban dalam Islam akan terbengkalai. Salah satu contoh dalam menjaga jiwa (hifzu an-nafs) adalah adanya syariat qishash (hukuman mati) bagi orang-orang yang membunuh dengan sengaja.


Contoh dalam konteks menjaga akal (hifzu al-aql) adalah adanya syariat had (hukuman) bagi orang-orang yang meminum khamr (minuman keras). Contoh dalam konteks menjaga keturunan (hifzu an-nasb) adalah adanya hukuman bagi orang-orang yang melakukan zina dan menuduh zina orang lain (qazhaf). Sedangkan salah satu contoh menjaga harta (hifzu al-mal) adalah adanya hukum haram bagi pencuri harta orang lain dan hukumannya adalah dipotong tangan.


Beberapa contoh dan hukuman atas perbuatan mudharat ini merupakan salah satu bukti penerapan maslahah ad-daruriyyah. Tujuannya tidak lain selain untuk menarik manfaat dan menghindari mudharat,


فَكُلٌّ مِنَ الْاِعْتِدَاءِ عَلىَ الدِّيْنِ وَالْقَتْلِ الْعَمْدِ وَشُرْبِ الْمُسْكِرِ وَالْقَذفِ وَالزِّنَا وَصْفٌ مُنَاسِبٌ يُحَقِّقُ مَصْلَحَةً وَهُوَ مُعْتَبَرٌ شَرْعًا


Artinya, “Maka semua bentuk penyerangan terhadap agama, membunuh dengan sengaja, minum khamr, menuduh zina, dan zina merupakan deskripsi tepat untuk memperkuat maslahah, dan ini dianggap (menjadi dalil) secara syariat.


2. Maslahah al-Hajiyyât 

Maslahah al-hajiyyât merupakan kebutuhan manusia untuk menghilangkan kesulitan saja, artinya jika kebutuhan ini tidak manusia miliki, maka mereka akan kesulitan dan kesusahan, namun tidak mengganggu keberlangsungan hidupnya. Salah satu contoh dari maslahah yang satu ini adalah adanya akad-akad transaksi (mu’amalah) seperti jual beli, sewa, dll, juga dispensasi syariat seperti adanya kebolehan qashar shalat ketika bepergian dan kebolehan menjamaknya, kebolehan tidak puasa bagi wanita haid, menyusui, dan sakit di bulan Ramadhan, hilangnya kewajiban shalat bagi wanita haid dan nifas, dan lain-lain.


Semua kebolehan dalam beberapa contoh ini masuk dalam kategori maslahah al-hajiyyât, yaitu kebutuhan manusia untuk menghilangkan kesulitannya, hanya saja tidak berpengaruh pada keberlangsungan hidupnya. Maslahah yang satu ini juga menjadi dalil dan ketetapan dalam syariat untuk memberi kemudahan bagi manusia,


وَهَذِهِ كُلُّهَا أَوْصَافٌ مُنَاسبَةٌ لِلْأَحْكَامِ الْمُقَرَّرَةِ لَهَا


Artinya, “Semua ini merupakan gambaran yang sesuai dengan hukum-hukum yang sudah ditetapkan baginya.”


3. Maslahah at-Tahsinât 

Maslahah at-tahsinat merupakan pelengkap hidup manusia atau kebutuhan yang tidak sampai pada taraf dharuri (mendesak) ataupun kebutuhan pokok. Contoh dalam konteks maslahah ini adalah seperti mandi sebelum shalat, menggunakan pakaian-pakaian bagus, berbuat baik, dan lainnya. Semua ini juga menjadi salah satu maslahah yang dijadikan dalil dalam Islam untuk mendukung kesempurnaan hidup manusia, baik dalam beragama maupun bersosial.


Itulah tiga maslahah pokok yang menjadi dalil para ulama ketika mencetuskan sebuah hukum, yang diambil dari kitab karangan Syekh Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, yaitu al-Wajiz fi Ushulil Fiqh, cetakan Darul Fikr, tahun 1995, halaman 92-93.


Selain tiga maslahah ini, masih ada lagi satu maslahah yang jarang dimasukkan dalam konsep maslahah secara umum oleh para ulama ushul fiqih, namun menjadikannya bab secara khusus, karena perbedaan pandangan ulama perihal boleh dan tidaknya menerapkan maslahah yang ini. Maslahah tersebut adalah maslahah mursalah.


Syekh Musthafa Dib al-Bugha dalam salah satu karyanya mendefinisikan maslahah mursalah sebagai kemaslahatan keberadaannya tidak didukung oleh syariat, juga tidak ditolak oleh syariat melalui dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan pemberlakuan maslahah sebagai sandaran dalam menentukan sebuah hukum hanya terbatas pada persoalan-persoalan muamalat saja yang kebanyakan hukumnya bersifat ta’aqquli. (Syekh Musthafa Dib, Atsarul Adillah al-Mukhtalaf Fiha fil Fiqh al-Islami, [Damaskus: Darul Qalam, 2007], halaman 40).


Merujuk pendapat Syekh Wahbah Zuhaili, para ulama berbeda pendapat perihal boleh dan tidaknya menjadikan maslahah mursalah sebagai dalil. Ada dua bagian yakni pendapat pertama yang tidak memperbolehkan, yaitu mayoritas ulama mazhab Syafi’iyah. Sedangkan pendapat kedua adalah ulama yang membolehkan, yaitu ulama kalangan mazhab Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah. (Syekh Wahbah, 93-94).


Demikian penjelasan perihal tiga maslahah pokok dalam ilmu ushul fiqih yang bisa digunakan untuk menerapkan sebuah hukum. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.


Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.