Tuti Lutfiah Hidayah
Kolomnis
Egg freezing atau pembekuan sel telur merupakan salah satu teknologi reproduksi dalam bidang obstetri dan ginekologi. Prosedurnya melibatkan pengambilan sel telur dari ovarium perempuan, kemudian sel telur tersebut dibekukan dalam suhu sangat rendah untuk disimpan di laboratorium dalam jangka waktu tertentu. Tujuannya adalah agar sel telur tersebut tetap dapat digunakan di masa mendatang ketika perempuan siap untuk hamil. Hal ini dilakukan terutama jika saat itu fungsi ovarium sudah menurun karena faktor usia atau penyakit.
Namun, perlu dicatat bahwa egg freezing tidak secara otomatis menyebabkan kehamilan. Sel telur yang dibekukan harus melalui proses pencairan terlebih dahulu, baru kemudian dapat dibuahi dengan sperma dalam laboratorium melalui metode in vitro fertilization (IVF), dan hasil pembuahan (embrio) kemudian ditanamkan kembali ke rahim.
Bagaimana Tinjauan Hukum Egg Freezing?
Pertama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum secara spesifik membahas hukum egg freezing sebelum menikah. Namun, dalam Fatwa tahun 1979 tentang Bayi Tabung, disebutkan bahwa proses pembuahan hanya dibolehkan jika melibatkan suami istri yang sah, dan dilakukan dalam masa pernikahan mereka.
Dengan demikian, sel telur boleh dibekukan, dengan syarat:
- Sel telur yang dibekukan berasal dari perempuan itu sendiri.
- Nantinya, proses pembuahan (fertilisasi) dan transfer embrio hanya boleh dilakukan dengan sperma suami yang sah dalam ikatan pernikahan.
Jika sel telur dibekukan sebelum menikah, maka diperbolehkan selama tidak digunakan hingga ia menikah. Namun, apabila digunakan untuk kehamilan tanpa melalui pernikahan yang sah, maka hukumnya haram karena bertentangan dengan hukum syariat.
Kedua. Hasil keputusan Munas Alim ‘Ulama NU tahun 1981, diputuskan bahwa segala bentuk proses bayi tabung hanya diperbolehkan jika sperma dan ovum berasal dari pasangan suami istri yang sah, dan dilakukan selama masa pernikahan masih berlangsung. Putusan ini didasarkan hukum fiqih dan hadits Nabi Muhammad SAW, yang berbunyi:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ: مَا مِنْ ذَنْبٍ بَعْدَ الشِّرْكِ أَعْظَمُ مِنْ نُطْفَةٍ وَضَعَهَا رَجُلٌ فِيْ رَحِمٍ لَا يَحِلُّ لَهُ
Artinya, “Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik daripada mani yang ditempatkan seorang laki-laki di dalam rahim perempuan yang tidak halal baginya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Ibnu Katsir, Juz III, hlm. 50)
Di sisi lain, hukum fiqih yang menjadi argumentasinya diambil dari kitab Kanzur Raghibin Syarh Minhajuth Thalibin, yang berbunyi:
(وَلَوْ أَتَتْ بِوَلَدٍ عَلِمَ أَنَّهُ لَيْسَ مِنْهُ) مَعَ إمْكَان كَوْنِهِ مِنْهُ (لَزِمَهُ نَفْيُهُ) لِأَنَّ تَرْكَ النفْي يَتَضَمَّنُ اسْتِلْحَاقهُ وَاسْتِلْحَاقُ مَنْ لَيْسَ مِنْهُ حَرَامٌ
Artinya "Seandainya ada wanita melahirkan seorang anak yang diketahui bukan berasal dari suaminya, meskipun ada kemungkinan berasal darinya, maka si suami harus menafikannya, karena tidak adanya penafian itu mengandung unsur menetapkan nasab anak itu kepadanya. Sementara menetapkan nasab anak yang tidak berasal darinya itu haram." (Jalaluddin al-Mahalli, Kanzur Raghibin Syarh Minhajuth Thalibin pada Hasyiyata Qalyubi wa ‘Umairah, [Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah], Juz 4, halaman 32).
Ketiga. Hal ini difatwakan juga oleh Darul Ifta Mesir (Keputusan No. 248 (Sidang ke-17 Tahun 2017) tentang Hukum Pembekuan Sel Telur, yang menyatakan bahwa pembekuan sel telur dibolehkan selama memenuhi empat syarat berikut ini:
- Telur harus dibuahi oleh sperma suami saat pasangan tersebut masih menikah, dan tidak setelah pernikahan berakhir, seperti dalam kasus perceraian, atau kematian;
- Telur yang telah dibuahi harus dijaga keamanannya sepenuhnya dan di bawah pengawasan ketat, mencegah terjadinya pencampuran secara sengaja maupun tidak sengaja dengan telur lain yang telah diawetkan;
- Telur yang telah dibuahi tidak boleh ditempatkan di dalam rahim wanita yang awalnya tidak memproduksi sel telur tersebut, dan sel telur tidak boleh disumbangkan;
- Pembekuan sel telur tidak boleh menimbulkan efek samping negatif pada janin karena dampak berbagai faktor yang mungkin mereka alami selama proses berlangsung, seperti faktor-faktor yang dapat menyebabkan cacat lahir atau keterbelakangan mental di kemudian hari.
Keempat. Hukum di Indonesia, praktik fertilisasi in vitro diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pasal 127 ayat (2) menyatakan: “Pelayanan fertilisasi in vitro hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah.”
Dengan demikian, Islam memandang egg freezing boleh dilakukan sebagai bentuk ikhtiar menjaga kesuburan dan nasab, karena alasan medis atau usia, dengan syarat: sel telur berasal dari diri sendiri, pembuahan dilakukan oleh suami yang sah dalam masa pernikahan, dan proses medis diawasi agar tidak terjadi penyimpangan atau pencampuran biologis. Tidak diperbolehkan menggunakan sperma donor atau melakukan pembuahan di luar pernikahan yang sah, karena akan merusak jalan nasab. Sejalan dengan prinsip maslahah (kemanfaatan) dan hifzun nasl (menjaga keturunan) dalam maqashid syari’ah. Wallahu A’lam.
Ustadzah Tuti Lutfiah Hidayah, Alumnus Farmasi UIN Jakarta, dan Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah Ciputat.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menggali Hikmah Ibadah Haji dan Kurban
2
Khutbah Jumat: Menggapai Pahala Haji Meskipun Belum Berkesempatan ke Tanah Suci
3
Idul Adha Berpotensi Tak Sama, Ketinggian Hilal Dzulhijjah 1446 H di Indonesia dan Arab Berbeda
4
Pemerintah Tetapkan Idul Adha 1446 H Jatuh pada Jumat, 6 Juni 2025 M
5
Hilal Terlihat, PBNU Ikhbarkan Idul Adha 1446 H Jatuh pada Jumat, 6 Juni 2025
6
Niat Puasa Dzulhijjah, Raih Keutamaannya
Terkini
Lihat Semua