Gelar Hajatan tapi Makan Badan Jalan, Memangnya Boleh?
NU Online · Rabu, 28 Mei 2025 | 17:00 WIB
Muhamad Hanif Rahman
Kolomnis
Jalan raya adalah salah satu fasilitas umum yang memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Ia bukan sekadar tempat berlalu-lalang kendaraan, tetapi menjadi urat nadi mobilitas masyarakat, baik untuk keperluan ekonomi, sosial, hingga situasi darurat yang menyangkut nyawa. Karena itu, keberadaan jalan yang baik, lancar, dan nyaman menjadi kebutuhan bersama yang harus dijaga.
Namun dalam praktiknya, tidak jarang kita temui kondisi di mana sebagian bahkan seluruh badan jalan digunakan untuk kegiatan hajatan. Biasanya, hal ini dilakukan karena lokasi rumah berada persis di pinggir jalan dan tidak memiliki cukup ruang untuk menampung tamu yang hadir.
Walaupun niatnya adalah untuk menjamu dan menghormati para tamu, penggunaan jalan umum untuk kepentingan pribadi ini sering menimbulkan persoalan. Kemacetan, pengalihan arus, hingga terganggunya ketepatan waktu bagi pengguna jalan lain menjadi dampak nyata yang tidak bisa diabaikan.
Lantas bagaimana hukum menggunakan jalan raya untuk keperluan pribadi seperti hajatan?
Penggunaan jalan selain untuk kegiatan lalu lintas untuk kepentingan pribadi menurut Perkapolri Nomor 10 Tahun 2012 adalah diperbolehkan sebagaimana diterangkan dalam Pasal 17 dengan cara penyelenggara kegiatan mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kapolres/Kapolresta setempat, untuk kegiatan yang menggunakan Jalan
kabupaten/kota, kepada Kapolsek/Kapolsekta untuk kegiatan yang menggunakan Jalan desa.
Penggunaan jalan yang diperbolehkan untuk kepentingan pribadi hanya jalan kabupaten, jalan kota dan jalan desa bukan jalan Nasional sebagaimana tertuang dalam Pasal 15 ayat (2) Perkapolri 10/2012 pada ayat (3) dijelaskan bahwa penutupan Jalan dapat diizinkan, jika ada Jalan alternatif.
Menurut pandangan fiqih islam menggunakan jalan raya untuk kepentingan pribadi pada prinsipnya tidak diperbolehkan sebab berakibat mengganggu pengguna jalan. Syekh Zakariya al-Anshori menjelaskan:
لَا يُتَصَرَّفُ فِيهِ " بِالْبِنَاءِ للمفعول " ببناء " كمصطبة أَوْ غَيْرِهَا " أَوْ غَرْسٍ " لِشَجَرَةٍ وَإِنْ لَمْ يَضُرَّ ذَلِكَ لِأَنَّ شُغْلَ الْمَكَانِ بِذَلِكَ مَانِعٌ مِنْ الطُّرُوقِ
Artinya, "Seseorang tidak diperbolehkan melakukan tindakan di jalan raya, seperti membangun bangunan misalnya, teras atau selainnya, atau menanam pohon, meskipun hal itu tidak membahayakan, karena penggunaan tempat tersebut dapat menghalangi jalan." (Fathul Wahab, [Beirut, Darul Fikr: 1994], juz I, hlm. 246).
Imam Bujairimi (wafat 1221 H] dalam kitabnya Hasyiyatul Bujairimi Ala Syarhi al-Minhaj menjelaskan bahwa kebolehan menggunakan jalan raya untuk kepentingan pribadi dengan beberapa ketentuan dharar (bahaya) yang ditimbulkan masih dapat ditoleransi semisal tidak ditutup total dan tidak permanen. Berikut selengkapnya:
نَعَمْ يُغْتَفَرُ ضَرَرٌ مُحْتَمَلٌ عَادَةً كَعَجْنِ طِينٍ إذَا بَقِيَ قَدْرُ الْمُرُورِ لِلنَّاسِ وَإِلْقَاءِ الْحِجَارَةِ لِلْعِمَارَةِ فِيهِ إذَا تُرِكَتْ بِقَدْرِ مُدَّةِ نَقْلِهَا وَرَبْطِ الدَّوَابِّ فِيهِ بِقَدْرِ حَاجَةِ النُّزُولِ وَالرُّكُوبِ أَيْ: وَمَعَ جَوَازِ ذَلِكَ فَالْأَقْرَبُ أَنَّهُ يَضْمَنُ مَا تَلِفَ بِهِ؛ لِأَنَّ الِارْتِفَاقَ بِالشَّارِعِ مَشْرُوطَةٌ بِسَلَامَةِ الْعَاقِبَةِ
Artinya, "Ya, dimaafkan adanya dharar (gangguan) yang umumnya dapat ditolerir, seperti mengadon tanah liat jika masih tersisa ruang bagi orang untuk lewat, dan meletakkan batu-batu untuk pembangunan di jalan sekedar waktu yang cukup untuk mengangkutnya. Demikian pula, mengikat hewan di jalan sekedar waktu yang dibutuhkan untuk turun dan naik (penumpang), itu dimaafkan. Namun, meskipun hal itu dibolehkan, yang lebih kuat adalah bahwa ia tetap menanggung ganti rugi jika terpadap dharar karenanya; karena menggunakan jalan umum itu disyaratkan tidak membahayakan." (Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairami, Hasyiyatul Bujairimi Ala Syarhi al-Minhaj, [Beirut, Mathba'ah Al-Halabi], juz III halaman 8).
Walhasil, penggunaan jalan raya kabupaten, jalan kota, maupun jalan desa untuk kepentingan pribadi seperti hajatan menurut hukum positif diperbolehkan selama telah mendapatkan izin dari pihak yang berwenang di masing-masing tingkatannya.
Menurut perspektif fiqih sendiri, penggunaan jalan raya untuk kepentingan pribadi diperbolehkan dengan syarat bahwa dampak negatif (dharar) yang ditimbulkan masih dalam batas yang dapat ditoleransi secara umum, seperti tidak menutup jalan secara total, menyisakan sebagian ruas jalan untuk dilalui pengguna jalan, dan memastikan penutupan jalan tidak berlangsung terlalu lama. Hal ini harus mencakup jaminan terhadap keselamatan pengguna jalan. Wallahu a'lam.
Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo.
Terpopuler
1
Idul Adha Berpotensi Tak Sama, Ketinggian Hilal Dzulhijjah 1446 H di Indonesia dan Arab Berbeda
2
Pemerintah Tetapkan Idul Adha 1446 H Jatuh pada Jumat, 6 Juni 2025 M
3
Hilal Terlihat, PBNU Ikhbarkan Idul Adha 1446 H Jatuh pada Jumat, 6 Juni 2025
4
Niat Puasa Dzulhijjah, Raih Keutamaannya
5
Pengrajin Asal Cianjur Sulap Tenda Mina Jadi Pondok Teduh dan Hijau
6
Khutbah Jumat: Menggali Hikmah Ibadah Haji dan Kurban
Terkini
Lihat Semua