Syariah

Hukum Haji atau Umrah Pakai Uang Korupsi 

Ahad, 19 Mei 2024 | 07:00 WIB

Hukum Haji atau Umrah Pakai Uang Korupsi 

Ilustrasi haji. (Foto: MCH)

Ibadah haji atau umrah merupakan ibadah badaniyah dan mâliyah. Artinya, umat Islam yang berkewajiban melaksanakan ibadah haji atau umrah itu selain memenuhi syarat secara fisik, juga disyaratkan mampu secara finansial untuk mengadakan perjalanan pulang pergi (istithaah). Namun, bagaimana jadinya kalau biaya haji atau umrahnya dari hasil korupsi? 

 

Secara fiqih, haji dan umrah sebagai suatu ibadah harus dipisahkan dengan harta haram sebagai sarana untuk melaksanakan ibadah tersebut. Pasalnya, dalam fiqih yang dihukumi adalah zahirnya suatu ibadah. Artinya, suatu ibadah jika dikerjakan secara sempurna dengan memenuhi syarat dan rukun tertentu maka ibadahnya dinilai sah. 

 

Demikian juga haji dan umrah dengan biaya harta haram asalkan dikerjakan secara sempurna, memenuhi syarat dan rukunnya maka dinilai sah dan telah menggugurkan kewajiban. 

 

Adapun harta hasil korupsi hukumnya jelas haram dan berdosa digunakan untuk haji dan umrah. Namun, itu adalah faktor eksternal dari ibadah haji dan umrah yang tidak mempengaruhi keabsahan haji dan umrah. 

 

Berikut penjelasan Imam An-Nawawi dalam Majmu' Syarah Muhadzab:

 

إذَا حَجَّ بِمَالٍ حَرَامٍ أَوْ رَاكِبًا دَابَّةً مَغْصُوبَةً أَثِمَ وَصَحَّ حَجُّهُ وَأَجْزَأَهُ عندنا وبه قال أبو حنيفة ومالك والعبدرى وَبِهِ قَالَ أَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ. وَقَالَ أَحْمَدُ لَا يُجْزِئُهُ. وَدَلِيلُنَا أَنَّ الْحَجَّ افعال مخصوصة والتحريم لمعنى خارج عنها

 

Artinya, "Apabila seseorang beribadah haji dengan harta haram atau dengan menaiki binatang tunggangan (kendaraan) hasil ghasab maka ia berdosa, hajinya dinilai sah dan telah mencukupi kewajiban hajinya, menurut pendapat kami, Madzhab Syafi'i. Imam Abu Hanifah, Malik, al-'Abdari dan mayoritas ulama fiqih berpendapat sama. Imam Ahmad berkata: 'Haji dengan harta haram tidak mencukupi kewajiban hajinya.' Adapun dalil kami adalah bahwa haji merupakan mengerjakan perkara-perkara khusus, sedangkan yang dilarang terkait perkara di luarnya." (Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmû' Syarh al-Muhadzdzab, [Bairut: Darul Fikr: t.th], Juz VII, halaman 62).

 

Syekh Nawawi Banten dalam Nihayatuz Zain juga mengatakan demikian: 

 

وَلَو حج أَو اعْتَمر بِمَال حرَام عصى وَسقط فَرْضه

 

Artinya, "Jika seseorang melaksanakan haji atau umrah dengan harta haram maka ia telah bermaksiat, dan kewajiban hajinya telah gugur." (Muhammad Nawawi Al-Jawi, Nihayatuz Zain, [Beirut, Darul Fikr: t.t], halaman 202). 

 

Imam Zakariya al-Anshari menyamakan haji dan umrahnya seseorang dengan harta haram itu seperti orang shalat di tempat ghasab atau mengenakan pakaian berbahan sutra bagi laki-laki.  

 

(وَيَسْقُطُ فَرْضُ مَنْ حَجَّ بِمَالٍ حَرَامٍ) كَمَغْصُوبٍ وَإِنْ كَانَ عَاصِيًا كَمَا فِي الصَّلَاةِ فِي مَغْصُوبٍ أَوْ ثَوْبِ حَرِير

 

Artinya, “(Dan gugur kewajiban orang yang haji dengan harta haram) seperti harta ghasab sekalipun ia bermaksiat, seperti shalat di tempat ghasab atau mengenakan pakaian terbuat dari sutra.” (Abu Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib, [Beirut: Darul Kutub Islamiyah: t.t],juz I, halaman 458). 

 

Dengan demikian haji atau umrah yang dikerjakan dengan biaya harta haram seperti korupsi menurut mayoritas ulama dinilai sah, mencukupi dan telah menggugurkan kewajiban haji atau umrah seperti halnya shalat di tempat ghasab atau shalat dengan mengenakan baju sutra bagi laki-laki, shalatnya sah tapi haram dikerjakan dan pelakunya adalah pelaku maksiat.

 

Syarat Haji Mabrur

Harapan utama melaksanakan ibadah haji dan umrah adalah diterimanya ibadah di sisi Allah dan mendapatkan derajat haji mabrur, yaitu haji yang diterima oleh Allah dan memberikan dampak positif, tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi orang lain, tidak hanya untuk menggugurkan kewajibannya atau faktor lain selain ibadah. 

 

Di antara syarat diterimanya haji dan mendapatkan haji mabrur adalah biaya yang digunakan untuk haji dan umrah berasal dari harta yang murni halal, tidak bercampur dengan harta syubhat atau harta yang tidak jelas halal haramnya, lebih-lebih harta yang jelas haramnya seperti harta hasil korupsi. Dalam Hasyiyah Bujairimi diterangkan: 

 

يستحب أن يحرص على مال حلال لينفقه في سفره فإن الله طيب لا يقبل إِلا طيباً ؛ وفي الخبر : مَنْ حَجَّ بمال حَرَامٍ إذا لَبَّى قيل له لا لَبَّيْكَ ولا سَعْدَيْكَ وحَجُّكَ مَرْدُودٌ عَلَيْكَ 

 

Artinya, “Seseorang dianjurkan untuk betul-betul mencari harta halal, agar ia dapat menggunakannya di masa perjalanannya. Karena sungguh Allah itu maha baik, tidak akan menerima kecuali yang baik-baik. Di dalam hadits dikatakan, ‘Siapa berhaji dengan harta haram, kalau ia berkata ‘labbaik’, maka dijawab malaikat, ‘La labbaik, wala sa’daik, kedatanganmu ditolak dan amalmu tidak diterima, dan hajimu tertolak’." (Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi alal Khatib, [Beirut, Darul Fikr: t.t], juz II, halaman 243).

 

Syekh Wahbah az-Zuhaili mengatakan: 

 

كون النفقة حلالاً: ليحرص على أن تكون نفقته حلالاً خالصة من الشبهة، فإن حج بما فيه شبهة أو بمال مغصوب صح حجه عند الجمهور، لكنه ليس حجاً مبروراً. وقال أحمد: لا يجزيه الحج بمال حرام

 

Artinya, "(Termasuk adab melakukan perjalanan haji adalah) ongkos atau biaya yang digunakan adalah halal. Seseorang dianjurkan untuk betul-betul menggunakan ongkos haji dengan harta halal yang tidak bercampur syubhat. Apabila seseorang haji dengan ongkos yang terdapat harta syubhat atau dengan harta ghasab maka hajinya sah menurut jumhur ulama, akan tetapi hajinya bukan haji mabrur. Imam Ahmad berkata, 'Haji dengan harta haram tidak mencukupi kewajibannya'." (Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami Wa Adilatuh, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz III, halaman 2408).

 

Walhasil, haji atau umrah yang dikerjakan dengan harta hasil korupsi hukumnya sah dan telah menggugurkan kewajiban haji atau umrah, menurut mayoritas ulama kecuali Imam Ahmad bin Hambal yang berpendapat haji atau umrah yang dikerjakan dengan harta haram belum mencukupi kewajiban haji atau umrahnya. 

 

Namun demikian, pelakunya dinilai sebagai pelaku maksiat, haji atau umrahnya tidak diterima Allah, dan hajinya bukanlah haji mabrur. Yang ia dapatkan hanyalah lelah tanpa nilai pahala disisi Allah. Wallahu a'lam.

 

Ustadz Muhamad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo.