Syariah

Hukum Memakai Atribut Natal

Selasa, 25 Desember 2018 | 06:30 WIB

Hukum Memakai Atribut Natal

Ilustrasi (pixabay)

Bulan Desember memang bulan yang cukup kompleks dalam menerapkan soal batasan-batasan toleransi yang masih dalam ketentuan syara’. Mulai dari hukum mengucapkan selamat Natal, hukum menjaga gereja, hukum membeli barang diskon dalam rangka menyambut hari Natal, sampai pada hukum memakai atribut Natal.

Dalam kesempatan ini, penulis akan sedikit mengulas perihal memakai atribut Natal. Apakah memakai atribut Natal termasuk dalam kategori toleransi yang masih dibenarkan oleh syara’, atau justru merupakan wujud toleransi yang berlebihan?

Seorang Muslim ketika memakai atribut Natal dapat dipastikan ia menyerupai orang non-Muslim dalam hal busana yang menjadi identitas mereka. Meski hal ini di atasnamakan toleransi atau simpati terhadap hari raya mereka, namun jika diekspresikan dengan cara demikian maka hal tersebut tidak diperbolehkan dalam syara’. Sebab berbusana dengan memakai atribut Natal sudah berada di luar ranah toleransi, sebab hal ini menjadi bagian dari larangan tasyabbuh bi al-kuffar (menyerupai non-Muslim) yang diharamkan oleh syara’.

Bahkan dalam memakai atribut Natal dapat berpotensi menjadi kufur jika seandainya terdapat niatan condong terhadap agama yang merayakan hari raya-nya dengan menggunakan atribut yang ia pakai. Penjelasan di atas seperti yang dijelaskan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin:

حاصل ما ذكره العلماء في التزيي بزيّ الكفار أنه إمّا أن يتزيّا بزيّهم ميلا إلى دينهم وقاصدا التشبه بهم في شعائر الكفر أو يمشي معهم إلى متعبداتهم فيكفر بذلك فيهما وإمّا أن لا يقصد كذلك بل يقصد التشبه بهم في شعائر العيد أو التوصل إلى معاملة جائزة معهم فيأثم. وإما أن يتّفق له من غير قصد فيكره كشدّ الرداء في الصلاة.

“Kesimpulan yang telah dijelaskan oleh para ulama dalam permasalahan berbusana dengan busana orang-orang kafir, bahwa seseorang adakalanya memakai busana mereka karena condong kepada agama mereka dan bertujuan menyerupai mereka dalam syiar kekufurannya atau berangkat bersama mereka pada tempat ibadah mereka maka ia menjadi kafir dengan melakukan hal ini. Adakalanya ia tidak bertujuan seperti itu namun ia bertujuan menyerupai mereka dalam syiar hari raya atau sebagai media agar dapat berkomunikasi dengan baik dengan mereka, maka ia berdosa dengan melakukan hal demikian. Adakalanya pula ia memakai pakaian yang sama dengan orang non-Muslim tanpa adanya tujuan menyerupai mereka maka hal ini dimakruhkan, seperti mengikat selendang dalam shalat.” (Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawy, Bughyah al-Mustarsyidin, Hal. 529)
Berdasarkan referensi di atas dapat dipahami bahwa rasanya tidak perlu bagi seorang Muslim–khususnya orang awam—untuk ikut-ikut saudara sebangsa kita yang non-Muslim untuk merayakan hari raya mereka dengan cara memakai atribut-atribut yang menjadi ciri khas mereka, karena hal ini justru akan menggerus terhadap identitas umat Islam yang adaptif terhadap umat lain tapi tetap menjaga prinsip dalam segala sikapnya.

Namun permasalahan lain terjadi ketika memakai atribut Natal ini menjadi keharusan bagi setiap karyawan yang bekerja di pasar swalayan tertentu, dan telah menjadi kebijakan dari pengelola swalayan agar karyawan mengenakan atribut Natal guna menarik perhatian pelanggan yang non-Muslim. Jika perintah demikian tidak dilaksanakan maka karyawan akan dipotong gajinya bahkan dipecat. Dapatkah ketentuan ini melegalkan pemakaian atribut Natal bagi para karyawan yang Muslim, mengingat ancaman dari perusahaan yang akan memotong gaji atau bahkan memecatnya?

Dalam kasus di atas, karyawan tetap tidak diperkenankan untuk mematuhi kebijakan dari pengelola swalayan, sebab ancaman yang disebutkan tidak sampai menjadikan pemakaian atribut Natal menjadi hal yang dilegalkan oleh syara’. Mengingat tasyabbuh bil kuffar (menyerupai non-Muslim) hanya dapat dilakukan dalam keadaan dlarurat atau ikrah, sedangkan ancaman yang disebutkan di atas masih belum mencapai tahapan ini. Kecuali memang ketika dia dipecat, ia sudah tidak dapat mencari pekerjaan di tempat lain, yang akan menyebabkan dirinya menjadi kelaparan dan kebutuhan pokoknya tidak terpenuhi, maka dalam hal ini diperbolehkan. Meskipun kasus demikian sangatlah sedikit ditemukan. 

Dengan demikian, bagi karyawan muslim tetap wajib  untuk menolak memakai atribut Natal, dengan segala resiko yang ditanggungnya. Sebab hal ini sudah bukan dalam ranah toleransi yang dibenarkan oleh syara’. Dan insyaAllah nantinya ia akan mendapatkan pengganti yang lebih baik atas ketaatannya dalam menjauhi larangan syara’. Wallahu a’lam.

(Ustadz Ali Zainal Abidin)