Syariah

Hukum Membangun Masjid di Atas Tanah Non-Wakaf

Rab, 12 Desember 2018 | 15:15 WIB

Hukum Membangun Masjid di Atas Tanah Non-Wakaf

Ilustrasi (Antara)

Di sebuah desa terdapat masjid yang dibangun di atas tanah wakaf sebagaimana lazimnya. Karena jamaah di masjid tersebut semakin bertambah banyak, masjid lalu tidak mampu menampung semua jamaah. Setelah melalui rapat dari berbagai elemen, akhirnya diputuskan masjid akan dibangun di atas tanah milik pemerintah desa setempat (bondho desa). Padahal sebagaimana kita ketahui, ada sebuah aturan “Tidak ada masjid kecuali statusnya sebagai tanah wakaf” (Lâ yakûnu al-masjidu illâ waqfan). 

Pertama, bagaimana fiqih memandang kasus di atas?

Pembangunan masjid di tanah bondho desa sebagaimana dalam kasus di atas hukumnya diperbolehkan selama ada maslahah yang jelas. Sedangkan untuk pembangunan masjid di atas tanah yang bukan wakaf masjid atau tanah yang disewakan, ulama berbeda pendapat dengan penjelasan yang cukup panjang.

Perbedaan pendapat juga sangat tampak jika kita menelaah pada kitab karya Ibu Hajar al-Haitami, Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra. Namun setidaknya, untuk mempermudah kita, Al-Isnawi menilai lebih unggul pendapat yang menyatakan bahwa wakaf masjid dengan tanpa menyertakan tanahnya, atau bahkan sebaliknya adalah sah. Teks lengkapnya sebagaimana berikut:

رَجَّحَ الْإِسْنَوِيُّ قَوْلَ بَعْضِهِمْ لَوْ بَنَى فِيهِ مَسْطَبَةً وَوَقَفَهَا مَسْجِدًا صَحَّ كَمَا يَصِحُّ عَلَى سَطْحِهِ وَجُدْرَانِهِ وَقَوْلِ الزَّرْكَشِيّ يَصِحّ الى ان قال وَمِنْ هُنَا عُلِمَ أَنَّهُ يَصِحُّ وَقْفُ الْعُلْوِ دُون السُّفْلِ مَسْجِدًا كَعَكْسِهِ انْتَهَتْ

Artinya: “Al-Isnawi menganggap lebih unggul terhadap pendapat sebagian ulama yang menyatakan, jika ada tanah dibangun sebuah tempat duduk di sebuah teras dan diwakafkan sebagai masjid, hukumnya sah sebagaimana sahnya wakaf pada lantai atas dan temboknya. Dan al-Isnawi menganggap kuat pendapat az-Zarkasyi tentang keabsahan hal tersebut. Dengan demikian, sah hukumnya wakaf pada lantai atas namun bawahnya tidak diwakafkan sebagaimana sebaliknya.” (Ibnu Hajar al-Haitami, Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, [Al-Maktabah al-Iislamiyyah], juz 3, halaman 274)

Jadi, wakaf masjid di atas tanah non-masjid, sah. 

Sekarang, bagaimana jika ada masjid yang berada di atas tanah sewa? Menurut pendapat paling shahih (qaul ashah) hukumnya diperbolehkan sebagaimana dijelaskan pada kitab Tuhfatul Muhtaj sebagaimana berikut:
 
عِبَارَةُ الْمُغْنِي وَالنِّهَايَةِ وَلَا فِيمَا أَرْضُهُ مُسْتَأْجَرَةٌ وَوُقِفَ بِنَاؤُهُ مَسْجِدًا عَلَى الْقَوْلِ بِصِحَّةِ الْوَقْفِ وَهُوَ الْأَصَحُّ 

Artinya: “Redaksi dalam kitab al-Mughnî dan an-Nihâyah mengatakan, dan tidak pada tanah yang disewakan dan bangunannya diwakafkan menjadi masjid menurut pendapat yang menyatakan bahwa sah model pendirian masjid seperti demikian dihukumi sah. Keabsahan pendirian masjid seperti itu adalah menurut pendapat ini yang paling shahih. (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtâj, [Al-Maktabah at-Tijâriyah, Mesir, 1983], juz 3, halaman 464)

Kutipan Ibnu Hajar di atas senada dengan yang disebutkan dalam kitab Raudlotuth Thalibin yang sama-sama menyatakan, tanah sewa yang tidak diwakafkan namun di atasnya berdiri bangunan yang diwakafkan sebagai masjid, perwakafan bangunan saja sebagaimana di atas, hukumnya sah menurut pendapat yang paling shahih. Tidak melulu pada tanah sewa, maksudnya, yang penting tanah bukan wakaf, bisa didirikan bangunan yang diwakafkan sebagai masajid. Namun, sebagaimana logika fiqih, karena pendapat di atas adalah sesuai yang paling shahih, menurut pendapat yang berseberangan (muqabiul ashah) menyatakan wakaf bangunan masjid di atas tanah yang tidak diwakafkan, tidak sah hukumnya. 

Pendapat ini juga didikung dengan penjelasan Ibnus Shalah yang disampaikan oleh Zakariya al-Anshâri sebagai berikut: 

ـ (وَلَوْ وَقَفَ مَا لَمْ يَرَهُ ، أَوْ) وَقَفَ ( الْمُؤَجِّرُ أَرْضَهُ) الَّتِي أَجَّرَهَا (أَوْ الْوَارِثُ الْمُوصَى بِمَنْفَعَتِهِ مُدَّةً ، أَوْ الْمُسْتَأْجِرُ) لِأَرْضٍ (بِنَاءَهُ) أَوْ غِرَاسَهُ الَّذِي بَنَاهُ ، أَوْ غَرَسَهُ فِيهَا (صَحَّ) لِأَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا مَمْلُوكٌ يُمْكِنُ الِانْتِفَاعُ بِهِ فِي الْجُمْلَةِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ سَوَاءٌ أَكَانَ الْوَقْفُ فِي الْأَخِيرَةِ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ أَمْ بَعْدَهُ كَمَا صَرَّحَ بِهِ ابْنُ الصَّلَاحِ

Artinya: “Jika ada orang mewakafkan harta yang belum pernah ia lihat (missal: orang yang wakaf buta, -pen), atau orang yang menyewakan tanahnya atau ahli waris yang diberi wasiat untuk bisa menggunakannya dalam tenggang masa tertentu, atau penyewa tanah kemudian mewakafkan bangunan masjid di atasnya atau tanaman di atas bangunan yang ia dirikan, maka hukumnya sah. Sebab masing-masing bisa dimiliki dan bisa diambil manfaatnya secara global serta hartanya masih tetap ada, baik wakafnya itu dilakukan menyusul setelah ia transaksi sewa-menyewa yang penting sebelum masa sewa habis  atau bahkan sesudahnya. Demikian dijelaskan oleh Ibnus Shalah. (Zakariya al-Anshâiri, Asnal Mathâlib [Dârul Kutub al-Islâmiyyah], juz 2, halaman 458). 

Kedua, setelah masjid baru terbangun, apakah tanah bondo desa atau tanah yang disewa tersebut secara otomatis menjadi tanah wakaf?

Tidak. Tanah yang bukan wakaf sebagai masjid namun di atasnya dibangungkan masjid, tanah tersebut tidak secara otomatis menjadi tanah wakaf. 

وَعُلِمَ مِمَّا مَرَّ أَنَّ الْوَقْفَ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِلَفْظٍ وَلَا يَأْتِي فِيْهِ خِلَافُ الْمُعَاطَاةِ  فَلَوْ بَنَى بِنَاءً عَلَى هَيْئَةِ مَسْجِدٍ وَأَذِنَ فِيْ إِقَامَةِ الصَّلَاةِ فِيْهِ لَمْ يَخْرُجْ بِذَلِكَ عَنْ مِلْكِهِ كَمَا إِذَا جَعَلَ مَكَانًا َعلَى هَيْئَةِ الْمَقْبَرَةِ وَأَذِنَ فِيْ الدَّفْنِ بِخِلَافِ مَا لَوْ أَذِنَ فِي اْلِإْعتِكَافِ فِيْهِ فَإِنَّهُ يَصِيْرُ بِذَلِكَ مَسْجِدًا  

Artinya: “Sebagaimana telah diketahui, sesungguhnya wakaf itu tidak sah kecuali dengan ucapan. Pada masalah wakaf tidak berlaku perbedaan pendapat mengenai al-mu’âthah (transaksi tanpa komunikasi verbal). Jika ada orang membangun bangunan dengan model desain masjid, pemilik tanahnya memberikan izin untuk dibuat shalat di atasnya, jika tidak diwakafkan tanahnya, status tanah tersebut tidak keluar dari status kepemilikan pemilik tanah tadi. Misalnya, seumpama ada orang memberikan izin orang lain menguburkan jenazah di dalam tanah yang ia miliki, tidak otomatis tanah tersebut diwakafkan menjadi pemakaman. Berbeda kalau pemilik memberikan izin beri’tikaf, itu pasti berubah menjadi wakaf.” (Zainuddin al-Malyabari, Fathul Mu’in, [Dâr Ibn Hazm], halaman 402) 

Jika kita mencermati redaksi pada kitab ini, kalau ada orang mengizinkan shalat saja, tidak otomatis menjadi masjid, karena shalat tidak harus dilakukan di dalam masjid. Boleh di rumah, mushalla dan lain sebagainya. Berbeda apabila i'tikaf. I’tikaf tidak bisa dilaksanakan di luar masjid. Sekali saja ada orang mengizinkan orang lain melakukan i’tikaf di atas tanahnya, otomatis tanahnya berubah status menjadi wakafan masjid, bukan lagi menjadi hak miliknya. Sebab tidak ada orang bisa beri’tikaf kecuali di masjid. Apabila mengizinkan orang lain i'tikaf, secara tidak langsung mengakui sendiri, bahwa tanahnya adalah masjid. 

Jika masa sewa lahan  tanah telah berakhir dan persewaannya tidak diperpanjang, apakah bangunan tersebut masih berstatus sebagai masjid dan bolehkah bangunan tersebut dibongkar?

Tanah tersebut tidak secara otomatis menjadi wakaf kecuali pemilik tanah atau pemerintah mengikrarkan wakafnya. Pemerintah, walaupun tidak perseorangan, mempunyai hak untuk mengelola (tasharuf) harta-harta milik umum sesuai kebijakan yang maslahat. 

Selanjutnya, jika bangunan masjid sudah berdiri, seumpama berdiri di atas tanah sewa, walaupun tidak di atas tanah wakaf, karena status bangunannya adalah bangunan wakaf masjid, maka bangunan masjid tidak boleh dirobohkan. Sedangkan penyewa yang membangun masjid di atas tanah sewa mempunyai kewajiban meneruskan pembayaran biaya sewa tanah tersebut. Wallâhu a’lam

(Ustadz Ahmad Mundzir)