Syariah

Hukum Mengonsumsi Kepiting Bakau, Begini Detailnya

Sen, 12 Februari 2024 | 06:00 WIB

Hukum Mengonsumsi Kepiting Bakau, Begini Detailnya

Ilustrasi: Kepiting (NU Online - Ahmad Muntaha AM)

Silang pendapat tentang hukum mengonsumsi kepiting bakau sering menjadi pertanyaan di tengah masyarakat. Ada ulama di Nusantara bermazhab Syafi’i yang menghalalkan hukum kepiting bakau, sedangkan masyarakat sering mendengar bahwa mazhab Syafi’i mengharamkannya.
 

Kebingungan ini sebenarnya tidak perlu terjadi dengan penjelasan detail melalui pengetahuan tentang ciri fisik dan pengelompokan hewan serta keamanan pangan.

 

Alasan yang biasanya diketahui oleh masyarakat terkait dengan haramnya hukum kepiting dalam mazhab Syafi’i adalah karena kemampuannya yang dapat hidup lama di dua alam.

 

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, telah terbukti bahwa kepiting bakau (Scylla) yang biasanya dikonsumsi oleh kebanyakan orang itu hanya hidup di air dan relatif tidak bertahan lama di darat.

 

Jadi, kepiting bakau (Scylla) termasuk hewan air sebagaimana rajungan (Portunidae) karena hidup dan mencari makan di air. Kemampuan mereka bertahan sebentar di darat disebabkan karena insangnya yang mampu menyimpan air untuk sementara waktu.
 

Dengan penjelasan sederhana terhadap kepiting bakau sebagaimana yang telah disebutkan itu apakah mazhab Syafi’i menjadi salah? 

 

Dalam kitab-kitab fiqih mazhab Syafi’i, kepiting yang diharamkan karena hidup di dua alam sebenarnya dikenal dengan istilah sarathan. Secara biologi, sarathan berbeda dengan kepiting bakau (Scylla) yang hanya hidup di air meskipun bentuknya mirip.
 

Namun, karena sulit mendapatkan istilah umum untuk sarathan dalam bahasa Melayu, maka di Nusantara sarathan sering disamakan dengan sebutan kepiting atau ketam.
 

Oleh karena itu, seorang ulama Nusantara yang bermazhab Syafi’i sejak awal abad ke-20 telah menjelaskan tentang perbedaan antara kepiting bakau dan sarathan dalam kitabnya. Ulama yang berasal dari daerah Batang tersebut adalah Kiai Anwar dan kitabnya dikenal dengan ‘Aisyul Bahr.

 

Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa kepiting bukan sarathan. Hukum kepiting adalah hewan air yang halal, sedangkan sarathan yang berbeda dengan kepiting adalah hewan yang dapat bertahan lama hidup di darat.

 


فَعِيْشُهُ خَارِجَهُ عِيْشُ مَذْبُوْحٍ أَوْعِيْشُ حَيٍّ لَايَدُوْمُ فَلِذَالِكَ لَااَشُكُّ فِيْ حِلِّهِ لِمَا ذُكِرَفِي التُّحْفَةِ مِنْ أَنَّ الْحَيَوَانَ الْبَحْرِي مَا يَعِيْشُ فِيْهِ بِأَنْ يَكُوْنَ عِيْشُهُ خَارِجَهُ عِيْشُ مَذْبُوْحٍ أَوْعِيْشُ حَيٍّ لَايَدُوْمُ

 

Artinya, “Hidupnya kepiting di luar air itu seperti kehidupan hewan yang disembelih atau hidup dalam tempo yang tidak lama. Berdasarkan hal tersebut, saya tidak ragu terhadap kehalalan kepiting sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Tuhfah bahwa yang dimaksud dengan hewan air adalah hewan yang hidup di air meskipun sekiranya dia hidup di luar air, maka hidupnya seperti hewan yang disembelih yaitu hidup dalam tempo yang tidak lama.” (Anwar, ‘Aisyul Bahr fi Bayanil Hayawan Alladzi La Ya’isyu illa fil Bahr walladzi Ya’isyu fil Barri wal Bahr, tanpa tahun, halaman 2-3).
 

Berdasarkan kutipan tersebut, Kiai Anwar menyebutkan bahwa kepiting dapat hidup di darat dengan kehidupan yang tidak lama. Karena itu sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tuhfah bahwa hewan air yang bisa hidup hanya sebentar di darat boleh untuk dikonsumsi.
 

Kepiting bakau memiliki sepasang kaki renang yang berbentuk pipih seperti dayung di belakang tubuhnya, sedangkan sarathan tidak memiliki kaki renang. Semua kaki sarathan berkuku tajam sehingga cocok untuk hidup, berlari, dan mencari makan di darat. Berbeda dengan kepiting bakau yang menggunakan kaki renangnya untuk bergerak dan mencari makan di air.
 

Apabila ditinjau dari ciri kakinya, hewan yang bisa dikategorikan sebagai sarathan di antaranya adalah kepiting batu atau dalam bahasa lokal disebut wideng (sesarma). Wideng juga sering hidup di sekitar hutan bakau bersama dengan kepiting bakau. Bahkan, ada yang menyebutnya kepiting mangrove. Namun, bentuk badan, warna, dan ciri kaki wideng sebagai sarathan berbeda dengan kepiting bakau yang halal.

 

Hal yang menarik ialah ulama  mazhab Syafi’i ternyata punya alasan mendetail keharaman sarathan. Karena itu, masyarakat perlu memahami pendapat mazhab Syafi’i tentang alasan hukum sarathan yang haram. Apakah pendapat tentang keharaman sarathan itu dalam mazhab Syafi’i merupakan kebenaran? Bila benar, bagaimana penjelasan untuk membuktikan kebenaran tersebut?


Ulama Mazhab Syafi’i yang mengharamkan sarathan memiliki beberapa alasan. Salah satu alasannya adalah karena dianggap menjijikkan. Imam Ar-Rafi’i menambahkan alasan yang menarik yaitu karena membahayakan (Yasin Asymuni, Tahqiqul Hayawan, [Kediri, Pesantren Hidayatut Thullab: 2007, halaman 129).
 

Kotornya daging sarathan bisa dikaitkan dengan masuknya sarathan pada jenis binatang yang menjijikkan.Karena itu semua, hukum sarathan menjadi haram.

 

Sifat sarathan yang membahayakan itu telah dirasakan oleh orang yang memakannya. Kasus-kasus keracunan sering terjadi pada orang yang memakan wideng. Karena itu, penduduk di sekitar pesisir atau hutan bakau mengetahui bahwa wideng tidak dapat dikonsumsi. Hal ini sesuai dengan penjelasan ulama tentang aspek bahaya sarathan yaitu karena kandungan dagingnya yang kotor atau tidak enak.

 

Berdasarkan sebab adanya bahaya itulah, sarathan masih perlu dikenalkan dengan contoh-contoh nyata. Jenis “kepiting” yang dikenal di Nusantara cukup banyak, termasuk yang disebut sarathan itu. Masih ada juga orang yang mengonsumsi sarathan karena dikira kepiting, padahal keduanya berbeda. Akibatnya, ada kasus-kasus keracunan setelah masyarakat mengonsumsi “kepiting” yang ternyata adalah sarathan.

 

Contoh paling ekstrim dari sarathan ini adalah “kepiting” kelapa atau yang dikenal juga dengan ketam kenari. Nama latin ketam kenari adalah Birgus Latro yang mampu membelah buah kelapa, makan bangkai, dan bisa memangsa burung yang sedang tidur di pohon. Saat telah dewasa, ia tidak memerlukan air untuk hidupnya. Satu-satunya waktu hidupnya yang memerlukan air adalah ketika berada dalam kondisi telur dan baru menetas. Jadi, ketam kenari lebih banyak berada di darat dalam waktu hidupnya.

 

Menarik untuk dicermati bahwa ketam kenari ini termasuk pemakan segala atau omnivora. Selain makan tumbuhan, ketam kenari ini juga bisa makan daging hewan lainnya. Bahkan, tikus maupun mamalia kecil lainnya dapat dimangsa oleh sarathan jenis ini. Hal itu disebabkan karena ketam kenari memiliki capit yang kuat dan kuku-kuku yang tajam. Bobotnya bisa mencapai 4 kg dan berusia panjang hingga menghabiskan waktu hidupnya yang bertahun-tahun itu di daratan tanpa kembali ke air. 
 

Adanya bukti keracunan pada konsumsi ketam kenari membuktikan bahwa dagingnya kotor dan relevan dengan pendapat mazhab Syafi’i terhadap sarathan. Kasus keracunan ketam kenari di Jepang ditandai dengan munculnya rasa pahit pada dagingnya meskipun sudah dimasak (Bagnis,1970,Sy Kasus Keracunan Kepiting Kelapa, Clin.Toxicol., 3(4), halaman 585-588). 

 

Hal ini perlu menjadi perhatian bagi masyarakat muslim karena ada restoran seafood di Indonesia yang menyediakan ketam kenari sebagai salah satu menunya dan menganggapnya sama dengan kepiting. Memang tidak semua ketam kenari menimbulkan keracunan. Namun, adanya ketam kenari yang beracun bagi manusia membuktikan kebenaran pendapat ulama mazhab Syafi’i.

 

Berbeda dengan sarathan, kepiting yang halal hanya hidup di air dan mencari makan di air. Contoh jenis kepiting yang halal ini adalah rajungan dan kepiting bakau. Daging kedua kepiting yang hanya hidup di air itu relatif lebih aman untuk dikonsumsi karena mirip dengan ikan. Sebagai salah satu bukti, rasa daging rajungan mirip dengan jenis ikan tertentu yang diketahui oleh masyarakat pesisir.
 

Masyarakat di daerah pesisir yang menjual kepiting hendaknya tahu tentang kepiting yang halal dikonsumsi. Kecuali karena adanya kecurangan, maka konsumen aman-aman saja mengonsumsi kepiting yang halal itu.
 

Meskipun dapat memilih, bagi konsumen yang mungkin tidak mengerti jenis-jenis kepiting dapat mempercayai penjual seafood yang menjajakan produk kepitingnya apabila penjual itu mengetahui kepiting yang halal.

 

Bagi konsumen muslim dan pedagang yang belum mengetahui jenis-jenis kepiting yang aman untuk dikonsumsi disarankan untuk meningkatkan literasinya. Termasuk yang penting untuk dibaca adalah karya-karya ulama Nusantara seperti kitab Kiai Anwar yang menjelaskan hukum tentang kepiting dan sarathan

 

Dengan pemahaman yang komprehensif, mazhab Syafi’i memiliki aspek bukti kebenaran yang rinci dalam menetapkan hukum sarathan. Namun, mazhab lain yang menyebutkan kehalalan sarathan juga tetap harus dihormati karena mereka juga memiliki landasan ilmiah berdasarkan penelitian para ulamanya.

 

Ustadz Fauzi Yunus, Pendamping Proses Produk Halal LP3H UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta