Syariah

Hukum Wadh’i, Situasi Penentu Hukum Syariat

Sab, 31 Maret 2018 | 13:00 WIB

Hukum Wadh’i, Situasi Penentu Hukum Syariat

(Foto: pinterest)

Sebagaimana diketahui, kita mengenal hukum taklifi dan hukum wadh’i. Jika hukum taklifi ialah seperangkat hukum yang berisikan tuntutan, larangan, atau pembolehan, maka hukum wadh’i lebih bersifat penjelasan tentang situasi bagaimana tuntutan dan lainnya tersebut diberlakukan.

Syekh Abdul Wahab Khallaf dalam ‘Ilmu Ushulil Fiqh menjelaskan hukum wadh’i sebagai berikut:

وأما الحكم الوضعي: فهو ما اقتضى وضع شيء سببًا لشيء، أو شرطًا له، أو مانعًا منه

Artinya: “Hukum wadh’i ialah tuntunan meletakkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau pencegah bagi lainnya (terciptanya hukum),” (Lihat Khallaf, Ilmu Ushulil Fiqh, [Kairo: Al-Madani, 2001], halaman 99).

Sebagai contoh. Hukum shalat shubuh adalah wajib. Wajib adalah hukum taklifi karena dalam hal ini kita “dituntut” oleh kewajiban untuk menunaikan shalat shubuh tersebut. Tentang bagaimana “situasi” shalat shubuh tersebut dapat terlaksana, maka kita menengok hukum wadh’i untuk mengetahui apa saja sebab, syarat, serta penghalang dari terciptanya kewajiban shalat zhuhur tersebut.

Hukum wadh’i yang pertama ialah sebab. Syekh Wahbah Az-Zuhaily mendefinisikan sebab hukum sebagai:

السبب هو وصف ظاهر منضبط دل الدليل السمعي على كونه معرفا للحكم

Artinya, “Sebab hukum ialah sifat yang jelas dan memberikan pembatasan, di mana dalil sam’i menyebut keberadaannya sebagai pemberitahu adanya hukum taklifi,” (Lihat Az-Zuhaily, Ushulul Fiqh Al-Islamy, [Damaskus: Darul Fikr, 2005], juz I, halaman 99).

Secara sederhana, sebab hukum ini bisa diartikan sebagai kondisi pasti yang memberikan batasan tertentu, di mana teks syariat menganggap hal tersebut sebagai penanda keberlangsungan hukum.

Contohnya, terbit fajar shidiq sebagai penanda waktu shubuh. Terbitnya fajar shidiq merupakan sebuah kondisi yang jelas, atau tampak di ufuk langit, di mana ia bisa menjadi pembatas sekaligus teks syariat menyatakan hal tersebut sebagai penanda masuknya waktu shubuh. Ketika fajar shidiq tersebut terbit, maka kewajiban menunaikan shalat shubuh dimulai.

Masih dari kitab yang sama, dalam bahasa lain, sebab hukum dinyatakan sebagai:

ما يلزم من وجوده الوجود ومن عدمه العدم

Artinya, “Sebab hukum ialah sesuatu yang keberadaannya menetapkan keberadaan, dan ketiadaannya menetapkan ketiadaan.”

Mengacu pada contoh di atas, berarti adanya fajar shidiq menetapkan adanya kewajiban shalat shubuh, dan ketiadan fajar shidiq meniadakan ketiadaan kewajiban shalat shubuh.

Mayoritas ulama menyatakan bahwa sebab hukum adalah:

ما يوجد عنده الحكم لا به

Artinya, “Sebab hukum adalah sesuatu yang dengan keberadaannya, hukum taklif bisa ditemukan, meski sebab hukum itu bukan merupakan bagian dari hukum taklif itu sendiri.

Sebagian ulama ada yang memperjelas bahwa sebab hukum berlaku juga secara umum pada hal-hal yang tidak selaras dengan hukum. Sementara jika selaras dengan hukum, sebab itu disebut sebagai 'illat hukum.

Sekarang, kita akan masuk pada beberapa contohnya agar bisa memperjelas pemahaman kita.

"Sedang berpergian" merupakan sebab diperbolehkannya tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Hal ini selaras dengan pensyariatan hukum dengan pertimbangan adanya rasa payah yang bisa menimbulkan kemurahan.

"Memabukkan" merupakan sebab diharamkannya arak. Memabukkan ini merupakan sifat yang selaras atau relevan karena bisa mengakibatkan hilangnya akal.
Tapi di sisi lain, akal kita tidak bisa menemukan keselarasan antara tergelincirnya matahari dan masuknya waktu zhuhur, dan lainnya.

Berpijak dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa “sebab hukum lebih umum dari 'illat”. Tiap ‘illat adalah sebab meski tak semua sebab adalah ‘illat. Pada akad jual beli, yang ditunjukkan dengan kerelaan keberpindahan hak milik, kita bisa menyebutnya sebagai sebab dan ‘illat, namun pada tergelincirnya waktu zhuhur sebagai penanda shalat zhuhur, kita hanya menyebutnya sebagai sebab hukum, bukan ‘illat hukum. Illat hukum ini bisa didefinisikan sebagai:

الوصف الظاهر المنضبط الذي جعل مناطا لحكم يناسبه

Artinya, “Sebuah sifat yang tampak dan terdefinisikan yang dijadikan sebagai pijakan bagi hukum yang menyelarasinya.”

Tentu saja hal tersebut berbeda dengan hikmah, di mana hikmah merupakan kemaslahatan yang ditimbulkan dari pemberlakuan sebuah hukum atau kerusakan yang bisa timbul dari peniadaan hukum tersebut.

Sebab hukum dan ‘illat hukum bisa menjadi pertimbangan hukum, sementara hikmah tidak bisa. Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. (Muhammad Ibnu Sahroji)