Syariah

Jual-Beli Tanpa Ada Kesepakatan Dahulu

Sen, 1 Juli 2013 | 12:00 WIB

Aqad (kontrak kesepakatan) merupakan salah satu hal terpenting dalam muamalah. Karena tanpa aqad, sebuah jual-beli ataupun pernikahan tidak dianggap sah. Tanpa aqad nikah seorang perempuan tidak akan sah menjadi istri bagi suaminya. Dan tanpa aqad jual-beli sebuah sepeda motor tidak bisa pindah hak kepemilikan, dan demikianlah seterusnya.<>
Akan tetapi pergeseran zaman dan perkembangan teknologi membuat aqad dinomer duakan karena adanya kesepahaman tata nilai, seperti halnya yang terjadi di minimarket maupun pasar swalayan modern yang lain. Dimana seorang calon pembeli tidak perlu lagi bertransaksi dan melakukan aqad jual beli dengan si penjual. Karena harga barang telah dipastikan dan diinformasikan kepada pembeli, baik dengan ditempel maupun ditulis. Sehingga pebeli hanya menyerahkan uang kepada kasir selaku petugas penerima pembayaran. 

Begitu pula dengan kelaziman yang terjadi dalam jual-beli di warung makan. Pembeli biasa memesan makanan terlebih dahulu, lalu memakannya tanpa bertanya harga barang pesanan itu, baru kemudian membayarnya.  

Bahkan lebih canggih dari itu, di beberapa tempat telah berlaku penjualan minuman mekanik. Hanya dengan memasukkan koin atau uang dengan besaran tertentu ke dalam kotak, kemudian muncullah minuman yang diinginkan. Cara transaksi tanpa shigat aqad seperti ini dalam fiqih dikenal dengan sebutan mu’athah, yang para ulama masih berbeda pendapat.

Kelompok pertama,termasuk di dalamnya adalah Al-Bajuri dan Shahibul Muhadzzab menggap transaksi model mu’athah tidak sah, karena menghilangkan salah satu rukun aqad yaitu shighah.  Dalam al-Muhadzzab dijelaskan.


 ÙˆÙ„اينعقد البيع إلا بالإيجاب والقبول, فأماالمعاطاة فلاينعقد بها البيع لأن اسم البيع لا يقع عليه

Akad jual-beli tidak sah kecuali dengan ijab-qabul sedangkan transaksi model mu’athah tidaklah sah karena komponen jual-beli tidak terdapat di dalamnya.

Kelompok kedua menganggap transaksi model mu’athah sah secara mutlak. Pendapat ini didukung oleh Imam Malik dan sebagian ulama Syafi’iyah. Mereka menganggap bahwa hal terpenting dalam jual-beli tidak terdapat pada ijab-qabul tetapi pada kerelaan antar keduanya (penjual dan pembeli). Dengan demikian maka yang dijadikan patokan adalah adat kebiasaan masyarakat setempat. Jika satu masyarakat telah menganggapnya sebagai kebiasaan maka hukumnya sah-sah saja. Keterangan ini dinukil oleh al-Bajuri dari an-Nawawi



واختار النووى وجماعة صحة البيع بها (أى المعاطاة فى كل مايعده الناس بيعا, لأن Ø§Ù„مدار فيه على رضا المتعاقدين ولم يثبت اشتراط لفظ رفيرجع فيه الى العرف

An-nawawi dan sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat syahnya transaksi dengan menggunakan model mu’athah terhadap transaksi yang oleh kebanyakn orang dianggap sebagai jual-beli. Karena yang diperhitungkan dalam jual beli adalah kerelaan antara penjual dan pembeli. Dan lagi tidak terdapat ketentuan secara eksplisit yang menyatakan harus mempergunakan lafaldz, oleh karenanya dalam hal ini dikembalikan pada adat kebiasaan (al-urf)

Adapun pendapat ketiga mensyahkan mu’athah dengan syarat adanya obyek jual-beli merupakan sesuatu yang tidak besar dan dianggap remeh. Misalnya kebutuhan sehari-hari, makanan di warung makan, minuman dan lain sebagainya. Pendapat didukung oleh Sayyid Sabiq dan sebagian uama Syafi’iyyah sekaligus juga merupakan jalan tengah yang menjembatani kedua pendapat sebelumnya. Hal ini disebutkan oleh Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah 


وينعقد بالايجاب والقبول ويستثنى من ذلك الشيئ الحقير فلايلزم فيه إيجاب والقبول وإنمايكتفى فيه بالمعاطاة ة ويرجع فى ذلك الى العرف وما جرت به عادات الناس غالبا

Akad jual-beli menjadi sah dengan ijab dan qabul, kecuali pada hal-hal yang remeh, maka dalam hal ini tidak wajib mempergunakan ijab-qabul tapi jukup dengan aqad mu’athah, dalam hal ini cukup dikembalikan pada adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat.

Mengenai barang yang dianggap remeh dan bersifat keseharian dijelaskan dalam Kifayatul Akhyar

والمحقر كرطل خبز ونحوه ممايعتاد فيه المعاطاة   

Sesuatu yang remeh ini misalkan satu rithl (satuan timbangan masyarakat arab) roti dan yang semacamnya, yang biasa dijualbelikan dengan cara mu’athah.

Demikianlah tiga pendapat mengenai hukum jual-beli tanpa kesempurnaan aqad karena tidak adanya ijab-qabul. Bagi masyarakat awam diberikan hak memilih salah satu dari ketiganya. Karena ikhtilaful aimmah rahmatul ummah. (red.Ulil H)