Syariah

Kedudukan dan Nilai Hak Asasi Manusia dalam Islam

Ahad, 12 Januari 2025 | 08:00 WIB

Kedudukan dan Nilai Hak Asasi Manusia dalam Islam

Ilustrasi HAM. (Foto: NU Online/Canva)

Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Islam merupakan konsep yang erat kaitannya dengan prinsip keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap martabat setiap individu. Dalam pandangan Islam, setiap manusia, tanpa memandang ras, suku, atau status sosial, dilihat sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dengan hak-hak dasar yang harus dihormati dan dilindungi. 

 

Nurliah Nurdin dan Astika Ummy Athahira dalam “HAM, Gender, dan Demokrasi: Sebuah Tinjauan Teoritis dan Praktis” (2002: 1) menjelaskan, Hak Asasi Manusia (HAM) dapat diartikan sebagai serangkaian prinsip yang muncul dari nilai-nilai kemanusiaan dan dijadikan pedoman yang mengatur perilaku manusia dalam berinteraksi dengan sesama. 

 

Dalam buku tersebut (hlm. 3) disebutkan, sumber konsep HAM dalam Islam adalah Al-Qur’an dan hadits. Di antara ayat-ayat tentang HAM yang dikutip adalah At-Tin ayat 4 yang menyoal bahwa manusia diciptakan dengan sesempurna mungkin. Allah berfirman:

 

لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ ۝٤

 

laqad khalaqnal-insâna fî aḫsani taqwîm

 

Artinya, “sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”

 

Selain itu, dalam ayat Al-Isra’ ayat 70, Allah juga berfirman mengenai manusia sebagai makhluk yang dimuliakan oleh-Nya:

 

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًاࣖ ۝٧٠

 

wa laqad karramnâ banî âdama wa ḫamalnâhum fil-barri wal-baḫri wa razaqnâhum minath-thayyibâti wa fadldlalnâhum ‘alâ katsîrim mim man khalaqnâ tafdlîlâ

 

Artinya, “Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”

 

Beberapa ayat di atas jika dikorelasikan dengan konsep HAM maka meniscayakan alur berpikir seperti ini kira-kira: “Jika Allah sebagai Tuhan kita telah menciptakan manusia dengan kesempurnaan dan memuliakannya, maka sebagai hamba-Nya, kita juga wajib memuliakan dan menjaga hak asasi setiap individu.”

 

Merujuk pada penjelasan Syekh Wahbah Zuhaili dalam At-Tafsirul Munir Jilid XV halaman 124, beliau mengatakan:

 

أي جعلنا لهم كرما أي شرفا وفضلا، بخلقهم على أحسن صورة وهيئة، ومنحناهم السمع والبصر والفؤاد للفقه والفهم، وجمّلناهم وميزناهم بالعقل الذي يدركون به حقائق الأشياء، ويهتدون به إلى الصناعات والزراعات والتجارات، ومعرفة اللغات، ويفكرون في اكتشاف خيرات الأرض، والإفادة من الطاقات، وتسخير ما في العالم العلوي والسفلي، وما في الكون من وسائل النقل وأسباب الحياة والمعيشة، والتمييز بين الأشياء وخواصها ومضارها في الأمور الدينية والدنيوية

 

Artinya, “Yaitu Kami memberikan mereka kemuliaan, kehormatan dan keutamaan, dengan menciptakan mereka dalam bentuk dan kondisi yang paling sempurna, dan Kami memberikan mereka pendengaran, penglihatan, dan hati untuk memahami dan berfikir. Kami memperindah dan membedakan mereka dengan akal, yang dengannya mereka dapat memahami hakikat segala sesuatu, dan dengan akal itu pula mereka dapat memanfaatkan industri, pertanian, perdagangan, serta memahami bahasa-bahasa. Mereka juga berpikir untuk menemukan kekayaan bumi, memanfaatkan energi, dan menguasai apa yang ada di langit dan bumi, serta segala sarana transportasi dan penyebab kehidupan dan penghidupan. Mereka juga mampu membedakan antara berbagai benda, sifatnya, dan dampak baik atau buruknya, baik dalam hal-hal agama maupun duniawi.”

 

Dalam tafsiran tersebut, HAM mewujud pada keberadaan dan hak-hak yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk yang diciptakan dengan keutamaan dan kehormatan. Hal ini mengacu pada pemberian akal, panca indera, dan kemampuan untuk berpikir serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.

 

Dengan akal dan budi pekerti yang diberikan oleh Allah, manusia tidak hanya memiliki hak untuk hidup dan berkembang, tetapi juga untuk mengeksplorasi potensi alam semesta serta memanfaatkannya untuk kebaikan bersama.

 

Adapun dalam hadits, biasanya HAM diidentikkan dengan kesetaraan manusia seluruhnya, tanpa memandang ras dan suku. Kesetaraan itu tentu saja meniscayakan agar setiap orang menghormati hak asasi orang lain. Rasulullah SAW pernah bersabda dalam sebuah hadits riwayat Imam Ahmad:

 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى

 

Artinya, “Wahai sekalian umat manusia, ketahuilah sesungguhnya Tuhanmu satu (esa). Nenek moyangmu juga satu. Ketahuilah, tidak ada kelebihan bangsa Arab terhadap bangsa selain Arab (Ajam), dan tidak ada kelebihan bangsa lain (Ajam) terhadap bangsa Arab. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit merah (baca: putih) terhadap yang berkulit hitam, tidak ada kelebihan yang berkulit hitam dengan yang berkulit merah (putih), kecuali dengan takwanya.” (HR. Ahmad).

 

Berdasarkan hadits di atas, Abdullah Saeed, cendekiawan Muslim yang terkenal atas kontribusinya dalam studi Islam, menggunakan hadits tersebut sebagai dasar untuk membangun konsep hak asasi manusia (HAM) dalam dunia internasional. Meskipun demikian, menurutnya, karena hadits tidak memiliki tingkat keotentikan yang sama dengan Al-Qur'an, validitasnya bisa saja dipertanyakan.

 

Selain itu, karena hadits merupakan produk dari konteks yang berlaku pada masa Nabi, hadits-hadits yang secara tekstual tampak sejalan dengan konsep HAM dalam dunia internasional sebenarnya bisa jadi tidak relevan dengan konteks yang ada pada masa Nabi. Bahkan, beberapa hadits mungkin bertentangan dengan definisi HAM dalam perspektif dunia internasional saat ini, seperti yang diungkapkan Abdullah Saeed dalam bukunya Human Rights and Islam: An Introduction to Key Debates between Islamic Law and International Human Rights Law (2018: 12).

 

Dengan adanya dalil-dalil yang menunjukkan keselarasan antara teks-teks yang menyuarakan HAM dan konsep HAM internasional itu sendiri, menurut Saeed, masih terdapat pertanyaan yang perlu dijawab, yaitu apakah Islam sebenarnya memiliki instrumen khusus mengenai konsep HAM?

 

Pertanyaan ini merujuk pada konsep HAM dalam konteks internasional yang dipertanyakan universalitasnya, sehingga terdapat hambatan yang membuat penerimaan standar hak asasi manusia internasional bermasalah dalam konteks Islam.

 

Saeed (hlm. 56) menyatakan bahwa meskipun teks-teks dalam Islam (Al-Qur’an dan hadits) tidak dapat dikatakan secara langsung membahas konsep HAM menurut standar internasional saat ini, pengutipan dan pembahasan oleh masyarakat Muslim terhadap teks-teks tersebut merupakan upaya serius umat Islam untuk mengembangkan wacana hak asasi manusia.

 

Instrumen hak asasi manusia dalam Islam, meskipun tidak selalu menjamin hak-hak yang ditentukan dalam instrumen internasional, memiliki kegunaan lain, yaitu untuk menormalkan pembicaraan tentang hak asasi manusia di negara dan masyarakat mayoritas Muslim.

 

Kemudian, jika merujuk kepada hasil MUNAS Alim Ulama NU tahun 1997 tentang HAM, para ulama NU merumuskan HAM melalui lima prinsip dasar (al-huquq al-insaniyyah), yaitu hifzh al-din (menjaga agama), hifzh al-nafs wa al-‘irdh (menjaga jiwa dan kehormatan), hifzh al-aql (menjaga akal), hifzh al-nasl (menjaga keturunan), dan hifzh al-mal (menjaga harta). Selain itu, secara universal, Rasulullah memiliki misi rahmatan lil ‘alamin, di mana kemaslahatan/kesejahteraan merupakan tawaran untuk seluruh umat manusia dan alam semesta. Penting untuk diketahui bahwa secara konseptual, HAM dalam pandangan MUNAS NU tidak berarti menghalalkan segala hal yang secara mutlak dilarang dalam Islam (Lihat Ahkamul Fuqaha halaman 777).

 

Walhasil, upaya untuk menghidupkan semangat yang terkandung dalam nilai-nilai HAM harus terus kita lakukan. Al-Qur’an dan hadits yang secara tekstual mendorong kita untuk menghormati martabat manusia, mengakui kesetaraan semua manusia, menjunjung kebebasan, keadilan, serta menghindari tindakan diskriminatif, harus kita amalkan sebagai muslim yang baik. Wallahu a'lam.

 

Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Universitas PTIQ Jakarta