Syariah

Kewajiban Shalat bagi ODGJ dan Penyandang Disabilitas Intelektual

NU Online  ยท  Rabu, 7 Juli 2021 | 06:15 WIB

Kewajiban Shalat bagi ODGJ dan Penyandang Disabilitas Intelektual

Shalat bagi penyangdang disabilitas

Kita hidup berdampingan dengan penyandang disabilitas mental dan intelektual. Mereka kerapkali menjadi rekan dalam kehidupan sosial. Mereka berhak atas berbagai hak hidup, tak terkecuali hak beragama.

ย 

Dalam konteks hak beragama, orang dengan gangguan jiwa dan penyandang disabilitas mental juga perlu mengenal dan mengamalkan kewajiban syariat sesuai kapasitasnya, tak terkecuali berkaitan dengan ibadah shalat. Nah, bagaimana kewajiban shalat untuk ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) dan penyandang disabilitas intelektual?

ย 

Shalat yang bersifat fardlu โ€˜ain diwajibkan atas pribadi mukallaf. Syarat yang membuat seseorang wajib menunaikan shalat secara umum dinyatakan Syekh Abu Syujaโ€™ dalam Matnut Taqrรฎb:

ย 

ูˆูŽุดูŽุฑูŽุงุฆูุทู ูˆูุฌููˆุจู ุงู„ุตู‘ูŽู„ูŽุงุฉู ุซูŽู„ูŽุงุซูŽุฉู ุฃูŽุดู’ูŠูŽุงุกูŽ: ุงูŽู„ู’ุฅูุณู’ู„ูŽุงู…ู ูˆูŽุงู„ู’ุจูู„ููˆุบู ูˆูŽุงู„ู’ุนูŽู‚ู’ู„ูุŒ ูˆูŽู‡ููˆูŽ ุญูŽุฏู‘ู ุงู„ุชู‘ูŽูƒู’ู„ููŠููย 

Artinya, โ€œDan syarat wajib shalat ada tiga (3): beragama Islam, baligh, dan berakal, dan itulah batasan taklif. (Abu Syujaโ€™ Ahmad bin Husain, Matn Abi Syujaโ€™ Al-Ghรขyah wat Taqrรฎb, halaman 8).

ย 

Diskusi seputar disabilitas mental dan intelektual berada dalam domain syarat โ€œberakalโ€ dalam ibadah tersebut. Namun, apa tolok ukur โ€œberakalโ€ dalam syariat?ย 

ย 

Pendapat Imam Al-Amidi berikut bisa dirujuk:ย 

ย 

ุงุชู‘ูŽููŽู‚ูŽ ุงู„ู’ุนูู‚ูŽู„ูŽุงุกู ุนูŽู„ูŽู‰ ุฃูŽู†ู‘ูŽ ุดูŽุฑู’ุทูŽ ุงู„ู’ู…ููƒูŽู„ู‘ูŽูู ุฃูŽู†ู’ ูŠูŽูƒููˆู†ูŽ ุนูŽุงู‚ูู„ู‹ุง ููŽุงู‡ูู…ู‹ุง ู„ูู„ุชู‘ูŽูƒู’ู„ููŠููุŒ ู„ูุฃูŽู†ู‘ูŽ ุงู„ุชู‘ูŽูƒู’ู„ููŠููŽ ูˆูŽุฎูุทูŽุงุจูŽ ู…ูŽู†ู’ ู„ูŽุง ุนูŽู‚ู’ู„ูŽ ู„ูŽู‡ู ูˆูŽู„ูŽุง ููŽู‡ู’ู…ูŽ ู…ูุญูŽุงู„ูŒ

Artinya, โ€œUlama bersepakat bahwa syarat mukallaf adalah ia berakal (mampu secara intelektual) dan memahami taklif syariat, karena taklif dan berbicara kepada orang yang tidak berakal (terganggu intelektualnya) dan tidak mampu memahami pembicaraan itu mustahil.โ€ (Syekh Ali Al-ร‚midi, Al-Ihkรขm fรฎ Ushรปlil Ahkรขm, [Beirut, Al-Maktabul Islรขmi, juz I, halaman 150).

ย 

Untuk dapat terkena taklif , seseorang harus โ€œberakalโ€ dalam artian mampu secara intelektual, mampu memahami kewajiban ibadah, dan mampu memahami serta mengamalkan syarat dan rukunnya.ย 

ย 

Definisi fiqih klasik perihal disabilitas mental dan intelektual, antara lain adalah junun atau gila; sakran atau mabuk; ighmaโ€™ atau ayan/epilepsi; serta ahmaq atau โ€œsangat bodohโ€. ODGJ dapat diserupakan dengan kasus yang ada dalam kitab-kitab fiqih klasik tersebut. Baik diserupakan dengan majnun atau gila, baik yang sifatnya menetap ataupun sesaat.
ย ย 

Dalam referensi kontemporerโ€“yang menurut penulis cukup mewakiliโ€“ada istilah al-maโ€™tรปh yang dijelaskan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaili:

ย 

ุงูŽู„ู’ู…ูŽุนู’ุชููˆู‡ู: ู‡ููˆูŽ ู…ูŽู†ู’ ูƒูŽุงู†ูŽ ู‚ูŽู„ููŠู„ู ุงู„ู’ููŽู‡ู’ู…ูุŒ ู…ูุฎู’ุชูŽู„ูุทู ุงู„ู’ูƒูŽู„ูŽุงู…ูุŒ ููŽุงุณูุฏู ุงู„ุชู‘ูŽุฏู’ุจููŠุฑู ู„ูุงุถู’ุทูุฑูŽุงุจู ุนูŽู‚ู’ู„ูู‡ูุŒ ุณูŽูˆูŽุงุกูŒ ู…ูู†ู’ ุฃูŽุตู’ู„ู ุงู„ู’ุฎูู„ู’ู‚ูŽุฉู ุฃูŽูˆู’ ู„ูู…ูŽุฑูŽุถู ุทูŽุงุฑูุฆู

Artinya, โ€œAl-Maโ€™tรปh adalah orang yang kemampuan pemahamannya sedikit, pembicaraannya kacau, susah mengatur diri karena gangguan akalnya. Baik itu dari lahir atau karena penyakit yang datang.โ€ (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islรขmi wa Adillatuh, juz I, halaman 304).

ย 

Istilah al-maโ€™tรปh mencakup pemahaman bahwa adanya gangguan mental dan intelektual itu ada yang akibat penyakit baik organik atau tidak, dan juga ada yang secara genetic, seperti contoh pada down syndrome dan bentuk retardasi mental lainnya.

ย 

Merujuk kitab fiqih klasik, jika memahami ODGJ sebagai majnun, mereka pun pada dasarnya tidak wajib menjalankan shalat, seperti dinyatakan dalam Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari:

ย 

ููŽู„ูŽุง ุชูŽุฌูุจู ุนูŽู„ูŽู‰ ูƒูŽุงููุฑู ุฃูŽุตู’ู„ููŠู‘ู ูˆูŽุตูŽุจููŠู‘ู ูˆูŽู…ูŽุฌู’ู†ููˆู†ู ูˆูŽู…ูุบู’ู…ูŽู‰ ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽูƒู’ุฑูŽุงู†ูŽ ุจูู„ูŽุง ุชูŽุนูŽุฏู‘ู ู„ูุนูŽุฏูŽู…ู ุชูŽูƒู’ู„ููŠููู‡ูู…ู’

Artinya, โ€œShalat tidak wajib dilakukan oleh orang kafir asli, anak-anak, orang gila, ayan, dan mabuk yang tak disengaja, karena hilangnya sifat taklif dari mereka.โ€ (Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, Fathul Muโ€™รฎn pada Hรขsyiyyah Iโ€™รขnatut Thรขlibรฎn, Juz I, halaman 21).ย 

ย 

Sementara ODGJ dan penyandang disabilitas intelektual yang belum masuk kategori tamyiz dan belum terkena taklif adalah yang kesulitan melakukan perawatan dasar diri sendiri, seperti makan, minum, mandi, berpakaian, atau kegiatan sederhana lainnya. Golongan inilah yang tidak mendapat beban wajib ibadah, sehingga taklif mereka hanya sejauh kemampuan mereka memahami kewajiban shalat dan mampu melaksanakannya.

ย 

Namun untuk ODGJ dan penyandang disabilitas intelektual ini perlu diperinci. Seorang dengan diagnosis gangguan jiwa tertentu, belum tentu tidak dapat memahami perintah dan kewajiban ibadah. Misalnya orang dengan psikosis atau skizofrenia, dengan gangguan waham maupun halusinasi yang telah terkontrol dalam perawatan obat, memiliki kecakapan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Begitupun orang dengan disabilitas intelektual, perlu ditinjau dulu sejauh mana kemampuan mereka dapat memahami kewajiban ibadah shalat.

ย 

ODGJ dalam UU nomor 18 tahun 2014 adalah "orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia." Sehingga seseorang dapat disebut mengidap gangguan jiwa, adalah jika terdapat โ€œgejala dan/atau perubahan perilaku yang bermaknaโ€, dan โ€œterhambat dalam menjalankan fungsi sebagai manusiaโ€.

ย 

Untuk menilai gejala dan perubahan perilaku yang bermakna seperti itu diperlukan diagnosis dari tenaga kesehatan jiwa profesional, baik oleh dokter maupun psikolog. Perlu diketahui, pedoman diagnosis kejiwaan yang dipakai luas di Indonesia adalah PPDGJ III atau DSM IV, dan ada ragam jenis gangguan jiwa antara lain: akibat penggunaan zat, akibat gangguan fisik, kecanduan, gangguan perasaan, gangguan perilaku, sampai retardasi mental. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang disebut โ€œgilaโ€ oleh masyarakat umum tidak satu sebab dan satu dimensi. Sedangkan untuk disabilitas intelektual, perlu dirinci apakah kategori disabilitas intelektual mereka itu ringan, sedang, atau berat, yang tidak sama dengan apa yang biasa dinilai masyarakat sebagai โ€œgilaโ€.

ย 

Untuk itu, berkaitan shalat bagi disabilitas mental maupun intelektual, hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut.ย 

ย 

Pertama, memastikan sejauh mana kemampuan ODGJ ini untuk memahami dan menunaikan taklif ibadah shalatnya. Diagnosis dari tenaga kesehatan dapat sangat dibutuhkan di sini, termasuk tindakan terapi yang dibutuhkan.ย 

ย 

Kedua, melakukan pendampingan untuk ibadah sesuai kapasitas mereka. ODGJ dan pengidap disabilitas intelektual dibimbing oleh keluarga dan caregiver sesuai kapasitas mereka.ย 

ย 

Ketiga, memberikan kesempatan ODGJ dan penyandang disabilitas intelektual untuk terlibat dalam kegiatan keagamaan sesuai kemampuan. Mereka yang dinilai tidak dapat menjalankan shalat dengan syarat dan rukun yang lengkap, tidak memiliki kewajiban qadhaโ€™ shalat.ย 

ย 

Sedangkan untuk gangguan jiwa non-psikosis, seperti pada depresi, kecemasan, atau gangguan perilaku lain, kiranya lebih utama untuk fokus mendampingi mereka dalam proses pemulihan diri secara mental, dan tidak menekan mereka untuk beribadah apalagi menstigma gangguan yang mereka alami akibat โ€œkurang ibadahโ€.

ย 

ODGJ maupun penyandang disabilitas intelektual memiliki hambatan yang nyata dalam kehidupan sosialnya, sehingga proses pendampingan maupun pemulihannya ditujukan agar ia dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari, termasuk aktivitas sebagai muslim di masyarakat. Penyandang gangguan jiwa pun bukan karena kurangnya ibadah, sehingga semata mengatakan โ€œorang yang terkena gangguan jiwa karena kurang ibadahโ€ juga tidak relevan, di mana penderitanya justru memerlukan penanganan medis maupun psikologis secara profesional. Hal ini demi menghapus stigma dan mewujudkan masyarakat yang inklusif terhadap disabilitas. Wallahu aโ€™lam.ย 

ย 

Ustadz Muhammad Iqbal Syauqi, Pegiat Kajian Al-Qurโ€™an dan Hadits.
ย