Syariah

Konsekuensi Sumpah KPPS Perspektif Hukum Islam

Sel, 13 Februari 2024 | 19:00 WIB

Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) sempat menjadi pembicaraan di media sosial pasca pelantikan serentak pada tanggal 25 Januari 2024. Pasalnya gaji yang mereka terima mengalami kenaikan dari pemilu sebelumnya dan mencapai angka 1,1 juta. Mereka juga disumpah sebagaimana sumpah pelantikan jabatan negara lainnya atas dasar integritas untuk menjalankan tugas.
 

 

Lantas bagaimana tentang sumpah yang dilakukan oleh anggota KPPS, apakah terdapat konsekuensi hukum dalam sudut pandang fiqih Islam?

 

Perlu dicermati terlebih dahulu teks sumpah KPPS sesuai yang diterbitkan oleh KPU di lamannya sebagai berikut:

 

“Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji:

 

Bahwa saya akan memenuhi tugas dan kewajiban saya sebagai anggota KPPS dengan sebaik-baiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 

Bahwa saya dalam menjalankan tugas dan wewenang akan bekerja dengan sungguh-sungguh, jujur, adil dan cermat, demi suksesnya Pemilu Presiden, Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD dan DPRD, tegaknya demokrasi dan keadilan, serta mengutamakan kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia daripada kepentingan pribadi atau golongan." (www.kpu.go.id) 

 

Teks sumpah tersebut jelas mencantumkan kata “Demi Allah , saya bersumpah/berjanji” dalam sudut pandang fiqih sudah masuk kategori sumpah yang menimbulkan konsekuensi kafarat (hukuman atas pelanggaran), sebagaimana dalam I’anatut Thalibin sebagai berikut:

 


لَا يَنْعَقِدُ اليَمِيْنُ إِلَّا بِاسْمٍ خَاصٍ بِاللهِ تَعَالَى أَوْ صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ إِنْعِقَادُهَا بِهَذَيْنِ النَّوْعَيْنِ مِنْ حَيْثُ الحَنَثُ المَرَتَّبُ عَلَيْهِ الكَفَارَةُ

Artinya: “Tidak sah sumpah kecuali dengan nama yang khusus hanya disematkan kepada Allah ta’ala atau dengan salah satu sifat dari sifat-sifat-Nya), yakni sah dengan dua hal tersebut, dalam arti terdapat konsekuensi kafarat ketika dilanggar”. (Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, [Beirut: Darul Faiha, 2020], juz V, halaman 554).
 


Pertimbangan lain mengenai sahnya sumpah yang dilakukan anggota KPPS adalah mereka yang disumpah dalam keadaan sadar dan bersedia untuk disumpah tanpa paksaan, sebagaimana dalam Yaqutun Nafis sebagai berikut:

 


شُرُوْطُ الحَالِفِ أَرْبَعَةٌ التَّكْلِيْفُ وَالاِخْتِيَارُ وَالنُّطْقُ وَالقَصْدُ

Artinya: “Syarat sah orang sumpah ada empat, yaitu: mukallaf, tidak terpaksa, mengucapkan sumpah, dan sengaja untuk bersumpah.” (Ahmad bin Umar Al-Syathiri, Syarh Yaqutun Nafis, [Beirut, Darul Minhaj: 2011], halaman 857).
 


Karena itu jika anggota KPPS melakukan pelanggaran terhadap sumpahnya seperti memihak kepada salah satu kontestan pemilu atau menjadi tim sukses calon legislatif atau capres tertentu, maka dalam kajian fiqih dia telah melanggar sumpah jabatan yang telah dibebankan kepadanya, dan dia berkonsekuensi terkena konsekuensi kafarat

 

Kafarat dalam pelanggaran sumpah bersifat mukhayyar atau opsional; dan tidak bersifat murattab atau berurutan, dalam arti boleh untuk memilih salah satu dari tiga bentuk kafarat sebagaimana berikut: 
 

 
  1.  Memerdekakan budak perempuan muslimah yang menderita tidak cacat kerja
  2.  Memberi makan 10 orang miskin, masing-masing 1 mud kurang lebih 7 ons beras; atau memberi pakaian kepada masing-masing dari mereka dengan pakaian yang layak pakai.
  3. Berpuasa selama tiga hari. (Ibnu Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib Hamisy Hasyiyah Al-Bajuri, [Jakarta, Darul Kutub al-Islamiyah, tt], juz II, halaman 316-318).


 

Karena itu, demi mewujudkan pemilu yang “Luber Jurdil” yakni Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia serta Jujur dan Adil, petugas KPPS seharusnya tidak melanggar sumpah dan amanat yang telah dibebankan sejak awal pelantikan. Wallahu a’lam bisshawab.

 

Ustadz Muh Fiqih Shofiyul Am, Tim LBM MWC NU Tannggulangin dan Tim Aswaja Center PCNU Sidoarjo