Syariah

Larangan Nabi terhadap Pencemaran Lingkungan

Ahad, 3 Desember 2023 | 18:00 WIB

Larangan Nabi terhadap Pencemaran Lingkungan

Pencemaran udara. (Foto: NU Online/Freepik)

Tanggal 2 Desember diperingati sebagai Hari Pencegahan Polusi Sedunia yang bertujuan meningkatkan kesadaran mengenai bahayanya pencemaran lingkungan. Pada tahun lalu, Indonesia menduduki peringkat ke-17 sebagai negara dengan tingkat polusi udara tertinggi di dunia, dengan konsentrasi PM2,5 mencapai  34,3 μg per meter kubik.


Tentunya hal ini patut menjadi perhatian kita sebagai warga Indonesia, untuk mulai sadar akan pentingnya meminimalisasi penggunaan produk yang menghasilkan polusi, dan mulai beralih kepada transportasi publik, alih-alih menggunakan kendaraan pribadi.


Polusi udara sendiri digolongkan kepada pencemaran lingkungan, khususnya udara, baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan. 


WHO menyebutkan, polusi udara dapat disebabkan oleh bahan kimia fisik ataupun biologis, misal kendaraan, industri, alat rumah tangga dan kebakaran hutan adalah sumber utama polusi udara di dunia.


Dalam Islam, tindakan merusak atau mencemari alam termasuk perbuatan yang dilarang, misalnya dalam Al-Quran surat Al-A’raf ayat 56, Allah berfirman:


وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ


Artinya: "Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik." (QS Al A'raf: 56).


Selain itu, Nabi saw adalah sosok yang anti terhadap kerusakan dan pencemaran alam, apalagi yang berkaitan dengan perusakan pohon tanpa alasan, membuat ketidaknyamanan di tempat publik dengan mengotorinya, dan lain-lain. Nabi saw pernah bersabda:


اتَّقُوا الْمَلَاعِنَ الثَّلَاثَةَ الْبَرَازَ فِي الْمَوَارِدِ وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ وَالظِّلِّ


Artinya, “Takutlah kalian terhadap tiga hal yang terlaknat; buang air besar di sumber air, tengah jalanan, dan tempat berteduh” (HR Abu Dawud).


Dalam hadits ini, secara spesifik Nabi saw menyebutkan larangan untuk buang air besar di sumber air. Sebagaimana kita ketahui apabila air pada sumbernya tercemar dengan kotoran, maka akan mengancam kehidupan banyak orang. Sementara air adalah kebutuhan utama manusia.


Kemudian, Nabi saw juga melarang buang air besar di jalan dan di bawah tempat berteduh. Dalam konteks sekarang, jalan dan tempat berteduh dapat dimaknai sebagai tempat dan fasilitas publik, semisal jalan raya, terminal, jembatan penyeberangan, halte dan lain sebagainya. 


Al-Munawi menjabarkan hadits ini secara mendetail, dengan menyebutkan maksud dari ‘jalanan’ dan ‘tempat berteduh’ adalah tempat publik, di mana orang-orang berkumpul dan berlalu lalang. Beliau berkata:


الذي يجتمع فيه الناس لمباح ومثله كل موضع اتخذوه لمصالحهم ومعايشهم المباحة


Artinya, “Suatu tempat di mana orang-orang berkumpul untuk sesuatu yang mubah, demikian pula setiap tempat yang mereka datangi untuk kepentingan dan penghidupan yang mubah.” (Al-Munawi, Faydhul Qadir, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994], jilid 5, hal. 349).


Hadits di atas, menjadi landasan bagi kita bahwa Rasulullah melarang pencemaran terhadap lingkungan, sebagaimana keterangan Al-Munawi:


واستدل به على أنه لا يجوز قضاء الحاجة في المواضع التي يردها الناس للاستسقاء منها لإيذاء الناس بتنجيسهم وتقذيرهم


Artinya, “Hadits tersebut menunjukkan tidak bolehnya buang air di tempat-tempat yang sering dikunjungi orang untuk mengambil air, karena dapat mencelakakan orang lain dengan membuatnya najis dan mengotorinya.” (Al-Munawi, Faydhul Qadir, jilid 5, hal. 349).


Selanjutnya, hukum pencemaran lingkungan dan tempat publik menurut mayoritas ahli fikih adalah makruh. Sedangkan menurut Ibnu Qudamah, sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah menyatakannya sebagai keharaman. Hal ini didukung keterangan Al-Munawi dalam Faydhul Qadir:


وبه صرح ابن قدامة الحنبلي وبعض المالكية والشافعية لكن اقتصر جمهورهم على عده من الآداب وحملوا الأحاديث على الكراهة


Artinya, “Hal ini [keharamannya] dikemukakan oleh Ibnu Qudamah al-Hanbali, sebagian Ulama Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi'i, namun mayoritas fuqaha memandang persoalan ini berkaitan hanya berkaitan dengan etika saja.” (Al-Munawi, Faydhul Qadir, jilid 5, hal. 349).


Dengan demikian, kesimpulannya Nabi saw melarang kita untuk melakukan pencemaran lingkungan, salah satunya adalah menghasilkan polusi udara secara berlebih sehingga mengganggu kenyamanan masyarakat di tempat publik, bahkan membahayakan mereka dengan infeksi saluran pernafasan akibat polusi.


Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Ilmu Hadits Darus-Sunnah