Masa Iddah untuk Wanita yang Suaminya Hilang Tanpa Jejak
NU Online · Jumat, 25 Juli 2025 | 13:00 WIB
Muhammad Zainul Mujahid
Kolomnis
Kehidupan rumah tangga tak selalu berjalan mulus. Dalam beberapa kasus, ada suami yang pergi jauh dari rumah dan tak pernah kembali, bahkan tak diketahui apakah ia masih hidup atau telah wafat. Situasi semacam ini menimbulkan problem hukum dan sosial yang tidak ringan. Terutama bagi istri yang ditinggalkan dalam keadaan tak pasti, antara menjadi istri yang sah atau janda yang terikat masa iddah.
Pertanyaan yang kerap muncul dalam kondisi seperti ini adalah: Apakah perempuan tersebut tetap wajib menjalani iddah? Jika iya, berapa lama masa iddahnya dan kapan ia boleh menikah kembali?
Dalam diskursus fiqih, kasus semacam ini disebut sebagai zaujatul mafqud atau imro’atul mafqud, istrinya orang yang hilang. Meski para ulama memiliki klasifikasi yang berbeda, tetapi secara umum mafqud dapat diartikan sebagai orang yang hilang dan tidak ada kabar mengenai hidup atau tidaknya.
المفقود: هو الغائب الذي انقطع خبره، فلم تعرف حياته أوموته
Artinya: “Mafqud adalah orang hilang tanpa kabar, sehingga masih belum diketahui apakah dia masih hidup atau sudah mati.” (Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Damaskus, Darul Fikr, t.th], juz X, hal. 7892).
Perlu diketahui, para ulama sepakat bahwa istri dari seseorang yang hilang tanpa kabar masih berstatus sebagai istri sah orang tersebut. Hal ini karena ketika ia ditinggal suaminya, ikatan pernikahan yang mereka miliki masih terjalin sehingga ia tidak boleh menikah dengan lelaki lain. Namun demikian, sampai kapan kondisi seperti itu berlangsung? Di sinilah ulama berbeda pendapat dan setidaknya ada dua pendapat terkait hal ini.
1. Menunggu sampai ada kejelasan kabar
Menurut Mazhab Imam Abu Hanifah dan Imam al-Syafi’i dalam Qaul Jadid-nya, perempuan yang suaminya pergi dan hilang kabar tetap berstatus sebagai istrinya. Ia tidak boleh menikah dengan lelaki lain sampai ada kejelasan kabar bahwa ia sudah diceraikan atau suaminya tersebut telah wafat. Hal ini sejalan dengan prinsip istishhab, yakni dengan melestarikan suatu keputusan atau status hukum sampai ada yang mengubahnya.
Dalam kitab Asnal Mathalib, Syaikh Zakariya al-Anshari menjelaskan,
فصل زوجة المفقود المتوهم موته لا تتزوج) غيره (حتى يتحقق) أي يثبت بعدلين (موته أو طلاقه وتعتد) ؛ لأنه لا يحكم بموته في قسمة ماله وعتق أم ولده فكذا في فراق زوجته؛ ولأن النكاح معلوم بيقين فلا يزال إلا بيقين
Artinya: “Pasal. Istrinya orang hilang yang diperkirakan sudah meninggal tidak boleh dinikahi oleh orang lain sampai terbukti kabar mengenai kematiannya dengan informasi dari dua orang adil atau terbukti talak (jika suaminya masih hidup) dan menjalani iddah. Hal ini karena ketika kematian tidak bisa dijadikan acuan untuk membagi-bagikan harta warisan dan status kemerdekaan budak ummul waladnya, maka ia juga tidak bisa dijadikan acuan untuk menetapkan status perpisahan dengan istrinya. Selain itu, nikah juga sudah terjalin dengan dasar keyakinan, sehingga tidak dapat hilang kecuali sebab keyakinan pula”. (Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari, Asnal Mathalib, [Darul Kitab al-Islami, t.th.], juz III, hal. 400)
Dalil yang menjelaskan terkait ketentuannya terdapat dalam hadis riwayat al-Daraquthni, Rasulullah saw bersabda,
امْرَأَةُ الْمَفْقُودِ امْرَأَتُهُ حَتَّى يَأْتِيَهَا الْخَبَرُ
Artinya: “Istrinya orang yang hilang adalah (masih menjadi) istrinya sampai datangnya kabar”. (HR. Al-Daraquthni).
2. Menunggu 4 tahun ditambah iddah wafat
Sementara itu, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal dalam satu riwayat dan Imam Syafi’i dalam Qaul Qadim-nya berpendapat bahwa perempuan yang suaminya hilang dan belum jelas terkait status kematiannya boleh menikah lagi setelah empat tahun lamanya. Setelah itu, ia harus menjalani iddah wafat karena dalam kondisi tersebut suami yang hilang kabar tadi sudah dihukumi meninggal.
Pendapat ini didasarkan pada keputusan Sahabat Umar bin Khattab yang pernah memberlakukan hal serupa. Ada seorang perempuan yang mendatangi beliau dan mengadu terkait kabar kehilangan suaminya. Kemudian, Umar bin Khattab memerintahkannya untuk menunggu selama empat tahun.
Setelah empat tahun lamanya, perempuan tersebut datang lagi menghadap kepada sahabat Umar bin Khattab. Beliau akhirnya memanggil mertua perempuan tadi dan memerintahkannya untuk menjatuhkan talak. Setelah itu, perempuan tadi diperbolehkan menikah lagi setelah selesai menjalani iddah wafat selama empat bulan sepuluh hari. (Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Damaskus, Darul Fikr, t.th], juz IX, hal. 7187).
Sahabat Umar bin Khattab berkata,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ فَقَدَتْ زَوْجَهَا فَلَمْ تَدْرِ أَيْنَ هُوَ فَإِنَّهَا تَنْتَظِرُ أَرْبَعَ سِنِينَ ثُمَّ تَنْتَظِرُ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Artinya: “Siapapun perempuan yang ditinggal pergi suaminya dan ia tidak tahu keberadaannya, maka ia harus menunggu selama empat tahun kemudian menjalani iddah selama 4 bulan 10 hari”. (HR Al-Baihaqi)
Selanjutnya, dalam keputusan Munas Alim Ulama tahun 2006 yang dilaksanakan di Surabaya, disebutkan bahwa ada perbedaan pendapat terkait status perempuan yang suaminya hilang tanpa jejak. Dalam hal ini, forum memutuskan ada tiga pendapat. Pertama, istri harus menunggu sampai terdapat kepastian mengenai kematian suaminya. Kedua, menunggu selama 4 tahun dan selanjutnya menjalani iddah selama 4 bulan 10 hari. Ketiga, dapat mengajukan gugatan cerai kepada hakim, baik karena fasakh maupun pelanggaran ta’liq talak.
Ketentuan mengenai pemutusan perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan dalam Bab XVI, khususnya pasal 115 dan 116. Dalam poin [b] pada pasal 116 dijelaskan bahwa salah satu alasan terjadinya perceraian adalah ketika salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin dari pihak lain atau alasan yang jelas, atau karena hal lain di luar kemampuan.
Di samping itu, alasan lain yang dapat dijadikan acuan untuk memutus ikatan perkawinan oleh pengadilan adalah karena suami melanggar ta’liq talak, sebagaimana dijelaskan dalam poin [g]. Dalam buku nikah yang diterbitkan oleh KUA, terdapat shighat ta’liq yang salah satu poinnya apabila suami meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut, si istri boleh mengajukan gugatan cerai kepada pengadilan. Dan jika pengadilan mengabulkan permohonan tersebut, sang istri wajib membayar Rp. 10.000 sebagai tebusan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perempuan yang suaminya hilang tanpa kabar masih berstatus sebagai istri sah dari suaminya tersebut. Hal ini bukan berarti Islam ingin mengekang perempuan dalam status yang tidak pasti, melainkan untuk menjaga kehormatan akad dan hak-hak suami.
Meski demikian, sang istri tetap dapat melepaskan diri dari ikatan pernikahan dengan mengajukan gugatan cerai kepada hakim jika nafkah dan hak-haknya sebagai istri tidak terpenuhi dengan baik. dalam kondisi seperti ini, jika hakim memutuskan perceraian, sang istri boleh menikah lagi setelah menjalani iddah wafat selama 4 bulan 10 hari. Wallahu a’lam.
Muhammad Zainul Mujahid, Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Jadilah Manusia yang Menebar Manfaat bagi Sesama
2
PBNU Soroti Bentrok PWI-LS dan FPI: Negara Harus Turun Tangan Jadi Penengah
3
Khutbah Jumat Hari Anak: Didiklah Anak dengan Cinta dan Iman
4
Khutbah Jumat: Ketika Malu Hilang, Perbuatan Dosa Menjadi Biasa
5
Khutbah Jumat: Menjadi Muslim Produktif, Mengelola Waktu Sebagai Amanah
6
Khutbah Jumat: Jadilah Pelopor Terselenggaranya Kebaikan
Terkini
Lihat Semua