Syariah

Memahami Dalil Rukyat Hilal Melalui Bahasa

Kam, 18 Mei 2017 | 11:00 WIB

Di Indonesia perbedaan penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan sudah sering—atau malah sangat sering—terjadi. Sejak lebih dari dua puluh lima tahun yang lalu umat Islam di Indonesia mengalami perbedaan dalam memulai dan mengakhiri ibadah puasa wajib bulan Ramadhan. Pada awalnya perbedaan ini cukup membuat resah kaum Muslim di negeri ini. Namun karena hampir setiap tahun perbedaan ini terjadi dan dalam kurun waktu yang cukup lama maka umat Islam di Indonesia sudah mulai biasa menerimanya.

Perbedaan penentuan awal dan akhir Ramadhan terus berlanjut hingga sekarang. Namun perbedaan itu tak lagi dirasa begitu meresahkan oleh masyarakat. Bila jauh-jauh hari sudah diketahui akan ada perbedaan awal Ramadhan atau hari raya masyarakat Muslim di negeri ini tinggal memilih mau ikut pendapat yang mana. Meskipun dambaan untuk bisa memulai berpuasa dan berhari raya bersama tanpa ada perbedaan masih begitu besar sebagai harapan.

Adanya perbedaan penetapan awal dan akhir Ramadhan bermula dari bagaimana memahami hadits yang menuturkan perihal tersebut. Rasulullah SAW bersabda:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ يَوْمًا

“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya. Bila penglihatan kalian tertutup mendung maka sempurnakanlah bilangan (bulan Sya’ban) menjadi tiga puluh hari.”

Dari hadits tersebut perbedaan memahaminya menjadi lebih spesifik kepada satu kalimat li ru’yatihi– karena melihat hilal. Sebagian kaum Muslim memahami kalimat itu sebagai melihat hilal secara langsung dengan mata kepala sebagaimana dipegangi oleh warga Nahdliyin dan sebagian lagi memahaminya sebagai melihat hilal cukup dengan hitungan atau hisab sebagaimana diamalkan oleh warga Muhamadiyah.

Terlepas dari perbedaan pendapat secara hukum tersebut tidak ada salahnya bila kita mencoba memahami hadits di atas dari sisi bahasa khususnya pada kalimat yang menjadi fokus perbedaan yakni kalimat li ru’yatihi. Memahami dalil melalui bahasa menjadi penting mengingat hukum-hukum Islam bersumber dari Al-Qur’an dan hadits yang notabene berbahasa Arab dan untuk memahaminya secara baik dan benar tidak bisa tidak harus melibatkan pemahaman Bahasa Arab yang memadai.

Kata Ru’yah


Kata ru’yah berasal dari kata ra’â – yarâ. Ra’â adalah kata kerja lampau atau fi’il madly, sedangkan yarâ kata kerja yang menunjukkan waktu sekarang dan atau akan datang atau dalam bahasa Arab biasa disebut fi’il mudlori’. Kata kerja ra’â – yarâ ini dalam bentuk masdarnya berubah menjadi dua kata yaitu ru’yatan atau ru’yah dan ra’yan atau ra’yun.

Bila dalam bentuk kata kerja kata ra’âyarâ berarti melihat, maka dalam bentuk masdar masing-masing memiliki arti “melihat” dengan klasifikasi tertentu. Ru’yah itu melihat dengan mata kepala. Sedangkan ra’yun melihat dengan ilmu, dengan pikiran (Lihat Ibnu Mandhur, Lisânul ‘Arab [Kairo: Darul Ma’arif, tt], jilid 3, hal. 1537). Maka orang Arab kalau ingin bertanya “apa pendapat anda?”, ia akan berkata “mâ ra’yuka?” bukan “mâ ru’yatuka?”. Karena yang namanya pendapat itu adalah melihat dengan ilmu atau pemikiran, bukan dengan mata kepala, maka digunakan “ra’yu” bukan “ru’yah”.

Dalam hal ini mungkin bisa diajukan sebuah contoh kecil sebagai berikut. Seumpama Anda pada tanggal satu awal bulan membeli beras sebanyak tiga puluh kilo dan setiap harinya istri Anda memasak satu kilo. Saat ini tanggal dua puluh dan Anda ingin tahu berapa sisa beras yang ada di rumah. Apakah untuk itu Anda mesti pulang ke rumah untuk melihat dan menimbang  beras yang masih ada? Tentu tidak perlu. Untuk mengetahui berapa sisa beras di tanggal dua puluh cukuplah Anda menghitung jumlah awal pada saat membeli dikurangi jumlah beras yang sudah dimasak selama dua puluh hari. Selesai.

Yang demikian itu namanya Anda melihat sisa berasnya dengan ra’yun, dengan ilmu, dengan pikiran. Tapi kalau Anda mesti pulang ke rumah dulu untuk melihat dan menimbang berasnya itu artinya melihat dengan ru’yatun atau ru’yah, dengan mata kepala.

Nah, dalam hadits itu Rasulullah menggunakan kata ru’yah, maknanya berpuasalah kalian karena melihat hilal dengan mata kepala. Bukan dengan ra’yun, dengan ilmu, dengan pikiran, dengan hitung-hitungan. Bukan! Kalau Rasulullah berseru shûmû li ra’yihi, baru bisa dimaknai melihat hilal cukup dengan ilmu, tak harus dengan melihat menggunakan mata kepala.

Maka kata ru’yah dalam hadits itu sudah menunjuk kepada makna spesifik yang tidak perlu dimaknai lain.

Lain lagi bila Rasulullah bersabda dengan menggunakan kata ru’yah dalam bentuk fi’il madly. Seumpama beliau mengatakan shûmû idzâ ra’aitumûhu, berpuasalah kalian bila kalian telah melihat hilal. Kalau beliau menggunakan kata kerja ini dalam sabdanya maka akan ada ihtimâl, kemungkinan, dalam memaknainya. Bisa jadi melihatnya dengan mata kepala, bisa jadi dengan ilmu atau pikiran, atau bisa jadi perpaduan keduanya. Ihtimâl ini bisa terjadi karena kata kerja ra’â memiliki dua kemungkinan makna dalam bentuk masdarnya sebagaimana dijelaskan di atas.

Kata Li


Menurut Ibnu Hisyam al-Anshari dalam kitab Mughnil Labîb, sebuah kitab bahasa, bukan kitab hukum fiqih, kata li dalam bahasa Arab memiliki dua puluh dua makna di antaranya ada istihqâq, ikhtishâsh, tamlîk, ta’lîl, ba’da, dan sebagainya. Masih menurutnya,  kata li dalam hadits yang sedang kita bahas ini memiliki makna ba’da yang berarti “setelah” (Lihat Ibnu Hisyam al-Anshari, Mughnil Labîb [Beirut: Darul Fikr, 2012], hal. 205 – 210).

Bila demikian, maka sabda Rasulullah yang menyatakan shûmû li ru’yatihi itu secara keseluruhan bisa dimaknai “berpuasalah kalian setelahmelihat hilal dengan menggunakan mata kepala”.

Atas dasar pemahaman seperti itu maka bisa dipahami bila para fuqaha dalam berbagai madzhab sepakat bahwa untuk memulai dan mengakhiri puasa di bulan Ramadhan ditentukan oleh bisa dan tidaknya hilal dilihat menggunakan mata kepala. Meskipun secara teknis mereka berbeda pendapat dalam hal tata cara penetapan hilal (Andurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘alal Madzahibil Arba’ah [Beirut: Darul Fikr, 2011], juz 1, hal. 462 – 466). (Yazid Muttaqin)


Referensi:
Lisanul Arab, Ibnu Mandhur
Mughnil Labib, Ibnu Hisyam Al-Anshari
Al-Fiqh ‘alal Madzahibil Arba’ah, Abdurrahman al-Jaziri