Syariah

Peran Pemerintah dalam Menangani Kenaikan Harga Komoditi menurut Konsep Islam

Sen, 26 Februari 2024 | 21:15 WIB

Peran Pemerintah dalam Menangani Kenaikan Harga Komoditi menurut Konsep Islam

Ilustrasi; Kenaikan Harga Komoditi (NU Online).

Setiap tahun menjelang bulan suci Ramadhan, Indonesia mengalami gejolak kenaikan harga pangan. Hal ini disebabkan oleh trend komoditas seperti beras, cabai, sayuran yang mengalami kenaikan harga.


 

Mengapa bisa begitu? Karena kebutuhan komoditas di saat Ramadhan ikut melonjak. Masyarakat akan berbondong-bondong mencari bahan pokok pangan baik jangka panjang maupun jangka pendek. 


 

Secara teori, semakin melonjaknya permintaan, maka melonjak pula harga produk. Ketika harga produk naik gila-gilaan, konsumen akan kesulitan mendapatkannya. Setidaknya beginilah gambaran buruk terjadi kenaikan harga.

 

Berbicara naiknya harga, Islam mengategorikan harga yang melambung tinggi pada ghala'. Fenomena tersebut berdasar pada hadits Nabi yang berbunyi:
 

 

غلا السعر على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم فقالوا يارسول الله لو سعرت؟ فقال: إن الله هو القابض الباسط الرازق المسعر، وإن لأرجو أن ألقى الله عز وجل ولا يطلبني أحد بمظلمة ظلمتها إياه في دم ولا مال رواه الخمسة إلا النسائي وصححه الترمذي 


 

Artinya: "Suatu ketika terjadi krisis di zaman Rasulullah saw, kemudian para sahabat meminta kepada beliau menetapkan harga-harga barang: "Andaikan tuan mau menetapkan harga barang?" Beliau menjawab: "Sesungguhnya Allah swt Dzat Yang Maha Mengendalikan, Maha membeber, Maha Pemberi Rizki dan Maha Penentu Harga. Sesungguhnya tiada suatu pengharapan pun jika Allah swt sudah menakdirkan, maka jangan ada seorangpun yang memintaku untuk melakukan suatu kezaliman yang aku perbuat atas diri seseorang terhadap darah dan juga hartanya.” (HR Imam lima selain An-Nasai. Dishahihkan oleh At-Tirmidzi).


 

Kendatipun fenomena kenaikan harga pada zaman Nabi saw berbeda dengan kenaikan harga modern, hadits tersebut bisa dijadikan pijakan bahwa dahulu pernah terjadi fenomena harga yang melambung tinggi. 


 

Sesuai dengan hadits di atas, diskursus kenaikan harga dalam Islam selalu beririsan dengan kebijakan penetapan atau pematokan harga (tas'ir) dan pandangan mayoritas ulama mengenai kebijakan penetapan harga termasuk haram. Pendapat tersebut selain berdasar pada penggalan hadits di atas, juga melihat kebijakan penetapan harga yang dilakukan pemerintah akan berdampak pada pengekangan pedagang dalam menentukan harga.
 

 

وقد استدل بالحديث وما ورد في معناه على تحريم التسعير وأنه مظلمة ووجهه أن الناس مسلطون على أموالهم، والتسعير حجر عليهم


 

Artinya, “Bahwasanya hadits tersebut (larangan menetapkan harga) menunjukkan keharaman tas'ir, dan memang yang demikian itu salah. Ada alasan larangan tersebut seseorang mempunyai hak kendali atas hartanya, akan tetapi dengan kebijakan tas’ir seseorang akan terkekang dalam mengelola hartanya”. (Muhammad Ali bin Muhammad As-Syaukani, Nailul Authar, [Darul Hadits: 1993], juz V, halaman 260).


 

Penjual akan kesulitan menentukan laba dari modal yang dikeluarkan jika terdapat kebijakan penetapan harga. Dari sisi pembeli kemungkinan besar akan diuntungkan, tapi tidak dari sisi penjual. Karenanya, mayoritas ulama berpendapat haram atas kebijakan penetapan harga. 


 

Islam memberikan kelonggaran terhadap penjual dalam menentukan harga produk yang mereka jual. Imam Ahmad berkata, pemerintahan tidak boleh menetapkan harga terhadap masyarakat nya, sebab mereka memiliki hak kelola atas produk yang mereka jual. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu, [Beirut, Darul Fikr: 1985], juz V, halaman 2695).


 

Namun menjadi berbanding terbalik dengan langkah pemerintahan modern dalam menangani kenaikan harga.  Ketika naik nya harga komoditi dirasa akan melanda, seperti menjelang bulan Ramadhan, pemerintah akan menekan harga pada taraf tertentu untuk menjaga stabilitas harga komoditas.


 

Lantas apakah kebijakan pemerintah dalam menekan harga bertolak belakang dengan Islam?

 

Pada dasarnya konsep tas'ir atau penentuan harga pasar masih menjadi perdebatan di antara ulama. Ada yang melarang dan ada yang membolehkan. Kedua pendapat tersebut memiliki alasan tersendiri.


 

Bagi pendapat yang tidak memperbolehkan berdasar pada pengekangan penjual dalam menentukan harga. Sedangkan pendapat yang membolehkan menekan atau menentukan harga, mengarah pada  menjaga stabilitas harga. Pendapat tersebut muncul dari mazhab Hanafi dan Maliki.
 

 

للإمام تسعير الحاجيات، دفعا للضرر عن الناس، بأن تعدى أصحاب السلعة عن القيمة المعتادة تعديا فاحشا، فلا بأس حينئذ بالتسعير بمشورة أهل الرأي والبصر، رعاية لمصالح الناس والمنع من إغلاء السعر عليهم، والإفساد عليهم

 

Artinya, “Pemerintah mempunyai hak untuk menentukan harga komoditas, agar tidak menimbulkan kerugian bagi umat, apabila pemilik barang tersebut melebihi nilai wajarnya secara bruto. Yang demikian diperbolehkan asal keputusan tersebut keluar dari pihak yang kredibel yang peduli terhadap maslahat umat. Untuk menjaga kepentingan rakyat dan mencegah harga yang terlalu tinggi bagi mereka dan merugikan mereka”. (Zuhaili, V/2696).


 

Pendapat di atas jika didudukkan dalam fenomena kenaikan harga modern, kiranya sangat tepat untuk dijadikan landasan dalam  menentukan hukum penetapan harga. Adapun pemerintah mengambil langkah penentuan harga, maka komoditi yang trend harganya melonjak tinggi bisa stabil. Pemerintah adalah pihak yang berwenang memberikan kebijakan terbaik. Jika kebijakan menetapkan harga dipandang baik saat inflasi, maka diperbolehkan menekan harga. Konsep demikian dapat dibaca dalam Al-Hawil Kabir karya Abul Hasan A-Mawardi. (Abil Hasan Al-Mawardi, Al-Hawil Kabir, [Beirut, Darul Kitab I’lmiyah: 1994], juz V, halaman 409).



 

Andaikata pemerintah membiarkan harga-harga komoditas melambung tinggi, justru hal tersebut akan mencekik masyarakat khususnya kalangan bawah yang sangat membutuhkan. Kondisi seperti ini justru sangatlah pelik dan harus di waspadai.


 

Dengan demikian, tak apa melihat pemerintah mengambil langkah menetapkan harga suatu komoditas untuk mencegah terjadinya harga komoditas yang melambung tinggi di saat menjelang Ramadhan. Toh, kebijakan tersebut memudahkan umat secara menyeluruh. Wallahu a'lam.
 

 

Ustadz Shofi Mustajibullah, Alumni Az-Zahirul Falah Ploso dan Mahasantri Pesantren Kampus Ainul Yaqin 
​​​​​​