Syariah

Prioritas Maslahat dalam Fiqih Maqashid Mazhab Maliki

Kam, 20 Desember 2018 | 04:30 WIB

Nama lengkap pendiri Mazhab Maliki adalah Abû Abdillâh Mâlik bin Anas bin Mâlik bin Abi Amir bin Harîts bin Ghaimân bin Jutsail bin Amr bin Harîts Dzî Asybah. Lahir di Madinah dengan beberapa dokumen sejarah tahun kelahiran yang berbeda. Al-Yafi’î dalam Thabaqâtu al-Fuqahâ menyebut beliau lahir pada tahun 94 H. Ibnu Khalikan menyebut tahun kelahiran beliau sebagai tahun 95 H. Al-Hâfidh al-Dzahaby menyebutnya lahir pada tahun 90 H. Yahya ibnu Bâkir menyebut sebuah riwayat bahwa beliau dilahirkan tahun 93 H, yang mana riwayat ini mendapat dukungan pembenaran oleh al-Sam’âni dan Ibnu Farhûn. 

Salah satu karya beliau dan sekaligus menjadi masterpiece terbesarnya adalah al-Muwatha’. Kitab ini berisi kumpulan hadits-hadits yang dinilai mutawatir dan ahad. Penting untuk diketahui bahwa Imam Mâlik hanya menerima hadits yang berderajat mutawâtir. Khabar ahâd hanya diterima manakala tidak menyelisihi adat atau tradisi masyarakat Madînah al-munawwarah. Itulah sebabnya, beliau mendudukkan adat ahli Madînah lebih tinggi dari khabar ahâd, setahap lebih rendah kedudukannya dibanding khabar mutawâtir

Sumber hukum syariat Islam oleh Imam Malik diklasifikasi sebagai Al-Qur'an, al-Sunnah, al-ijma’, al-qiyas, al-urf, al-mashâlih al-mursalah (selanjutnya dikenal sebagai istishlâh), al-istihsân dan sadd al-dzarî’ah. Bendera istishlah sebagai dalil hukum berkibar pada masa beliau sehingga beliau banyak dikenal sebagai sosok yang banyak menjaga maqâshid al-syarî’ah. Mungkin ini juga yang menjadi penyebab al-Syâthibî merasa cocok dengan beliau dan termasuk yang mempopulerkan istilah maqâshid al-syarî’ah ini, yakni karena beliau adalah penganut Mazhab Malikî. Kondisi sosio-historis yang melingkupi al-Syâthibî yang mana Mazhab Malikî menjadi mazhab negara menjadi faktor utama ia mendalami aspek maqâshid al-syarîah-nya Imam Malik ini.

Mazhab Maliki merupakan mazhab ahli Madinah dan dianut semenjak masa Imam Mâlik sendiri masih hidup hingga pasca kewafatan beliau. Ilmu ushûl mazhab Mâlikî konon disebut sebagai mengadopsi polanya Umar ibnu Khathab dalam menerapkan konsep mashâlih al-mursâlah serta sadd al-dzarî’ah pada hukum.

Baca juga:
Sejarah Khalifah Umar Menerapkan Maslahah Mursalah
Menelusuri Fiqih Maqashid Imam Abu Hanifah
Mashalih al-mursalah di tangan mazhab Mâlikî diartikan sebagai upaya mengambil yang lebih ashlah (yang paling mendatangkan kemaslahatan). Agak sedikit berbeda dengan sejumlah kalangan yang umumnya memilih yang lebih ahyath (yang paling hati-hati) dalam urusan hukum. Misalnya dalam beberapa praktik jual beli. Nabi Muhammad ﷺ menetapkan beberapa persyaratan terkait dengan praktik jual beli agar lepas dari unsur jahâlah (ketidaktahuan terhadap transaksi/kontrak, komoditas dan harga barang), gharar (penipuan) dan ghabn (kecurangan) atau hal-hal yang bersifat mukhatharah (mengkhawatirkan/bahaya). Bentuk larangan terhadap praktik jual beli ini secara jelas tertuang di dalam teks nash dengan beberapa illat yang menjadi sebabnya, antara lain menimbulkan kerusakan dan upaya menarik kemaslahatan yang sebesar-besarnya. Namun, dalam wilayah praktiknya, ada beberapa mekanisme jual beli yang justru menjadi ribet dan susah bagi penjual atau pembeli manakala harus disertakan menjaga semua syarat-syarat itu. Akibatnya, penjual atau pembeli terjebak pada dua alternatif:

1. Mengalami kesusahan dalam proses, namun syarat-syarat jual beli terjaga seluruhnya
2. Mendapatkan kemudahan dan kemaslahatan, namun dengan keberadaan syarat-syarat jual beli menjadi diperlonggar

Dalam kasus semacam ini, maka konsep maslahatu al-mursalah mazhab Maliki lebih memilih pada alternatif kedua. Misalnya, jual beli kelapa yang masih utuh. Apabila untuk menghindari gharar (penipuan) lantas diharuskan memecah setiap kelapa yang hendak diperjualbelikan, maka justru akan menimbulkan berat bagi penjual dan pembeli, sekaligus tidak bisa menghindari kerusakan barang. Hal yang sama berlaku untuk mekanisme jual beli makanan dalam kemasan kaleng yang tidak tampak. Anda bisa bayangkan, betapa justru dengan membuka kemasan akan berakibat pada rusaknya makanan yang dibeli oleh pembeli, atau rusaknya komoditas yang dijual pedagang, sebab tidak tahan lama. 

Hal yang sama dapat berlaku untuk kasus jual beli dengan sistem pemesanan barang lewat jasa aplikasi Go-Pay, Go-Food, atau bahkan akad-akad baru semacam pembangunan rumah lewat jasa developer (pengembang). Jika memaksa harus dirinci satu per satu syarat dengan alasan kehati-hatian, maka justru pihak pencari rumah akan mendapati risiko tidak jadi mendapatkan rumah. Ini tentu menjadi persoalan buat mereka yang tinggal di wilayah-wilayah kota besar, bukan? Karena, untuk angkutan yang membawa material barang bangunan saja harus memakai surat izin agar bisa masuk ke wilayah jantung kota, dan tidak sembarangan. 

Kompleksitas masalah merupakan hal yang dihindari dalam istishlah kalangan Malikiyah (upaya menarik kemaslahatan) dengan pertimbangan kemaslahatan pembeli-lah yang harus didahulukan. Dengan demikian, konteks maqâshid dalam mazhab Maliki adalah mengikuti kaidah jalbu al-mashâlih muqaddam wa dar-u al-mafâsid muakkhar – menarik kemaslahatan lebih diutamakan, menolak kemafsadatan kemudian. Kontras dengan kalangan Syafi’iyah dengan al-Ghazâly sebagai salah satu corongnya yang umumnya menyerukan dar-u al-mafâsid muqaddam ‘ala jalbi al-mashâlih, yaitu menolak kemafsadatan lebih diutamakan dibanding menarik kemaslahatan. Keduanya berbeda dalam segi kemaslahatan dan kehati-hatian. 

Dalam contoh jual beli sebagaimana jual beli kelapa di atas, jelas pernah dilakukan sejak zaman Nabi ﷺ. Dalam timbangan fiqih Syafi’iyah, praktik demikian bisa dikategorikan sebagai gharar yasîr sekaligus jahâlah, penipuan kecil sebab ketidaktahuan terhadap wujud asli barang yang dibeli. Demikian juga dengan GoPay, GoFood, dan go-go yang lain. Wallahu a’lam bi al-shawâb.


Muhammad Syamsudin, Pengasuh PP Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim