Syariah

Siapa yang Bertanggung Jawab Membiayai Anak Terlantar? Ini Jawaban Lengkap Menurut Fiqih Islam

NU Online  ·  Sabtu, 19 April 2025 | 05:00 WIB

Siapa yang Bertanggung Jawab Membiayai Anak Terlantar? Ini Jawaban Lengkap Menurut Fiqih Islam

Biaya hidup anak terlantar (freepik).

Siapa yang wajib membiayai anak terlantar? Dalam fiqih Islam, anak yang tidak memiliki wali atau identitas (laqith) tetap memiliki hak atas nafkah hidup. Artikel ini membahas tanggung jawab pembiayaan anak terlantar menurut para ulama, mulai dari harta pribadi, kas negara (baitul mal), hingga kewajiban kolektif umat Islam. Temukan penjelasan lengkap berdasarkan kitab-kitab klasik seperti Fathul Wahhab, ‘Ujalatul Muḥtaj, dan At-Tahdzib. Artikel ini penting untuk memahami kewajiban sosial kita terhadap anak-anak yang terlantar di tengah masyarakat.

 

Di sudut-sudut kota, di bawah jembatan, di pelataran masjid, kadang kita melihat anak-anak kecil yang terlantar. Tak jelas siapa orang tuanya, tak ada yang menanggung hidupnya.
 

Dalam tradisi fiqih Islam, anak-anak seperti ini dikenal dengan istilah laqith, yaitu anak yang ditemukan, tak beridentitas, dan tak memiliki wali yang jelas. Fiqih tidak membiarkan mereka begitu saja. Para ulama telah meletakkan kerangka yang adil dan manusiawi untuk menjawab: siapa yang wajib membiayai hidup mereka, dan dari mana biaya itu diambil?
 

Apakah Punya Harta?

Menurut Syekh Zakariya Al-Anshari, jika anak terlantar ditemukan besertaan harta, baik berupa pakaian yang menutupi tubuhnya, benda yang dibawanya, atau bahkan ada wakaf yang ditujukan untuk anak-anak seperti dia, maka biaya hidupnya diambil dari harta itu terlebih dahulu.
 

Syekh Zakariya menjelaskan:
 

«وَمُؤْنَتُهُ» «فِي مَالِهِ الْعَامِّ كَوَقْفٍ عَلَى اللُّقَطَاءِ» أَوِ الْوَصِيَّةِ لَهُمْ «أَوِ الْخَاصِّ» وَهُوَ مَا اخْتَصَّ بِهِ «كَثِيَابٍ عَلَيْهِ» مَلْفُوفَةٍ عَلَيْهِ، أَوْ مَلْبُوسَةٌ لَهُ، أَوْ مُغَطًّى بِهَا
 

Artinya, "Biaya hidupnya diambil dari hartanya yang bersifat umum seperti wakaf untuk anak-anak terlantar (luqatha’), dari wasiat yang ditujukan kepada mereka; dari hartanya yang khusus, yaitu apa yang khusus menjadi miliknya seperti pakaian yang dibalutkan padanya, atau pakaian yang dikenakan olehnya, atau yang digunakan untuk menutupi tubuhnya." (Fathul Wahhab, [Beirut,Darul Fikr:  1994], jilid I, halaman 318).
 

Ini adalah prinsip keadilan pertama: siapa pun yang punya harta, termasuk anak yang terlantar, maka hidupnya dibiayai dari hartanya sendiri.
 

Jika Tak Punya Apa-Apa?

Tapi bagaimana jika anak itu benar-benar tak punya apa-apa? Imam Ibnul Mulaqqin mengutip kesepakatan para sahabat di masa Sayyidina Umar:
 

فَإِنْ لَمْ يُعْرَفْ لَهُ مَالٌ، أَيْ لَا عُمُومًا وَلَا خُصُوصًا، فَالأَظْهَرُ أَنَّهُ يُنْفَقُ عَلَيْهِ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ، أَيْ مِنْ سَهْمِ الْمَصَالِحِ؛ لِأَنَّ عُمَرَ اسْتَشَارَ الصَّحَابَةَ فِي نَفَقَةِ اللَّقِيطِ، فَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهَا فِي بَيْتِ الْمَالِ
 

Artinya, "Jika tidak diketahui bahwa  seorang anak terlantar memiliki harta, baik secara umum maupun khusus, maka pendapat yang paling kuat adalah nafkahnya diambil dari baitul mal (kas negara), yaitu dari bagian pos kemaslahatan umum. Karena Umar (bin Al-Khattab) pernah bermusyawarah dengan para sahabat mengenai nafkah anak terlantar, dan mereka sepakat bahwa nafkahnya diambil dari baitul. (‘Ujalatul Muḥtaj ila Taujihil Minhaj, [Irbid, Darul Kitab: 2001 M], jilid II, halaman 1012).
 

Negara, dengan otoritasnya bertanggung jawab atas warganya yang paling lemah.
 

Jika Negara Tak Mampu?

Namun dalam realitas sejarah (dan barangkali juga hari ini), kadang kas negara tidak cukup. Mungkin karena kondisi darurat seperti perang, atau karena keterbatasan anggaran.
 

Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab? Imam Al-Baghawi menghadirkan jawaban:
 

فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي بَيْتِ الْمَالِ مَالٌ، أَوْ كَانَ، وَلَكِنْ يُحْتَاجُ إِلَى صَرْفِهِ إِلَى مَا هُوَ أَهَمُّ: مِنْ قِتَالِ عَدُوٍّ هَجَمَهُمْ أَوْ نَحْوِهِ، فَفِيهِ قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: نَفَقَتُهُ وَحَضَانَتُهُ عَلَى عَامَّةِ الْمُسْلِمِينَ، وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يَسْتَقْرِضُ الْإِمَامُ عَلَى اللَّقِيطِ
 

Artinnya, "Apabila tidak terdapat dana di baitul mal, atau terdapat dana namun dibutuhkan untuk sesuatu yang lebih penting, seperti peperangan melawan musuh yang menyerang atau semisalnya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, biaya hidup dan pengasuhan anak terlantar menjadi tanggung jawab seluruh kaum muslimin; dan kedua, imam (pemimpin) boleh meminjam dana atas nama anak terlantar". (At-Tahdzib, [Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 1997 M], jilid IV, halaman 569).
 

Artinya, umat Islam secara kolektif wajib bertanggung jawab. Tanggung jawab sosial ini tidak boleh diabaikan. Bahkan imam (pemimpin) boleh berutang atas nama anak itu, dan menagihnya kelak jika anak itu tumbuh dewasa dan memiliki kemampuan.
 

Tanggung jawab ini adalah kewajiban sosial, tanggung jawab moral, dan tugas keagamaan yang tidak bisa ditawar. Bila negara abai, maka masyarakat harus hadir. Bila masyarakat pun diam, maka kemanusiaan kita sedang sekarat.
 

Dari penjelasan di atas dapat dirumuskan 4 hal sebagai berikut:

  1. Jika anak terlantar memiliki harta, maka biaya hidupnya diambil dari hartanya sendiri.
  2. Jika tidak, maka kewajiban beralih ke negara melalui baitul mal.
  3. Jika baitul mal kosong atau prioritas belanja lain lebih pentig, maka kewajiban memenuhi biaya hidup anak terlantar pindah kepada umat Islam secara kolektif, terutama warga kaya setempat.
  4. Dalam kondisi darurat, pemerintah boleh meminjam dana atas nama anak tersebut. Wallahu a'lam.




Ustadz Ahmad Maimun Nafis, Pengajar di Pondok Pesantren Darul Istiqamah, Batuan, Sumenep.