Syariah

Status Indonesia sebagai Negeri Islam dalam Kajian Fiqih Hanafi

Jum, 21 September 2018 | 08:45 WIB

Dalam tulisan sebelumya (Status Indonesia Sebagai Negeri Islam dalam Kajian Fiqih), telah dijelaskan bahwa menurut tinjauan mazhab Syafi’i, Indonesia telah menetapi syarat untuk disebut sebagai negeri Islam karena pernah dikuasai oleh kerajaan-kerajaan Islam tempo dulu.

Hal ini merujuk pada fatwa As-Sayyid al-Alim Abdullah bin Umar bin Abi Bakr bin Yahya (1209-1265 H/1794-1849 M) yang kemudian menjadi dasar Keputusan Muktamar NU Ke-11 tentang status negeri Indonesia adalah negeri Islam pada tahun 1963 M di Banjarmasin, di bawah kepemimpinan Hadhratussyekh KH M Hasyim Asyari. Namun demikian, bagaimana tinjauan mazhab lainnya? Dalam kontes inilah tulisan ini menemukan urgensinya.

Merujuk mazhab Hanafi, terdapat pembahasan berkaitan dengan status suatu negeri apakah dihukumi sebagai negeri Islam atau tidak. Dalam konteks ini, Imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa suatu negeri yang penduduknya semula Islam kemudian murtad tidak dapat mengubah status negeri tersebut menjadi negeri perang atau Darul Harbi, kecuali memenuhi tiga (3) syarat.

(a) Secara geografis berbatasan langsung dengan negeri kufur.

(b) Tidak tersisa satu orang muslim pun yang terjaga keimanannya, atau satu orang non Muslim dzimmi yang terjaga keselamatan jiwanya.

(c) Penduduknya menerapkan hukum-hukum syirik di sana. Ketiga syarat ini bersifat kumulatif atau harus terpenuhi semua, tidak bersifat opsional.

Artinya ketiga syarat harus terpenuhi untuk dapat mengubah suatu negeri yang semula berstatus sebagai negeri Islam menjadi negeri kufur. Pakar fiqih Hanafi kenamaan asal kota Sarkhas Khurasan, Turkmenistan sekarang, Ibnu Sahl As-Sarkhasyi (w. 483 H/1090 M) menjelaskan:

وَالْحَاصِلُ أَنَّ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى إِنَّمَا تَصِيرُ دَارُهُمْ دَارَ الْحَرْبِ بِثَلَاثِ شَرَائِطَ. أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ مُتَاخَمَةَ أَرْضِ الشِّرْكِ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ أَرْضِ الْحَرْبِ دَارٌ لِلْمُسْلِمِينَ. وَالثَّانِي: أَنْ لَا يَبْقِيَ فِيهَا مُسْلِمٌ آمَنَ بِإِيمَانِهِ وَلَا ذِمِيٌّ آمَنَ بِأَمَانِهِ. وَالثَّالِثُ: أَنْ يُظْهِرُوا أَحْكَامَ الشِّرْكِ فِيهَا ... وَلَكِنْ أَبُو حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى يَعْتَبِرُ تَمَامَ الْقَهْرِ وَالْقُوَّةِ، لِأَنَّ هَذِهِ الْبَلْدَةَ كَانَتْ مِنْ دَارِ الْإِسْلَامِ مُحْرِزَةً لِلْمُسْلِمِينَ. فَلَا يَبْطُلُ ذَلِكَ الْإِحْرَازَ إِلَّا بِتَمَامِ الْقَهْرِ مِنَ الْمُشْرِكِينَ، وَذَلِكَ بِاسْتِجْمَاعِ الشَّرَائِطِ الثَّلَاثِ. ... وَهَذِهِ الدَّارُ كَانَتْ دَارَ إِسْلَامٍ فِي الْأَصْلِ، فَإِذَا بَقِيَ فِيهَا مُسْلِمٌ أَوْ ذِمِيٌّ فَقَدْ بَقِيَ أَثَرٌ مِنْ آثَارِ الْأَصْلِ، فَيَبْقَى ذَلِكَ الْحُكْمُ. وَهَذَا أَصْلٌ لِأَبِي حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى.

Artinya, “Kesimpulannya adalah bahwa menurut Abu Hanifah rahimahullahu ta’ala negeri orang-orang murtad hanya akan berubah menjadi negeri perang (darul harbi) dengan memenuhi tiga syarat. Pertama, negeri tersebut berbatasan langsung dengan negeri syirik, di mana antara negeri itu dengan darul harbi tidak tersela oleh suatu negeri milik kaum Muslimin. Kedua, tidak tersisa satu orang Muslim yang terjamin keamanan agamanya dan seorang non-Muslim dzimmi yang terjamin keamanan jiwanya dengan akad jaminan keamanan sebelumnya. Ketiga, penduduknya tidak menampakkan hukum-hukum syirik di sana. ... Namun demikian Abu Hanifah rahimahullahu ta’ala mempertimbangkan sempurnanya penguasaan dan kekuatan kaum Musyrikin terhadap negeri tersebut (sehingga dapat mengubah statusnya menjadi darul harbi), sebab negeri tersebut asalnya merupakan negeri Islam yang melindungi kaum Muslimin, dan tidak akan berubah statusnya kecuali dengan penguasaan yang total dari kaum Musyrikin, di mana hal itu dapat tercapai dengan terpenuhinya ketiga syarat tersebut. ... Negeri ini asalnya adalah negeri Islam, maka ketika masih tersisa satu orang Muslim atau satu orang non-Muslim dzimmi berarti masih terdapat unsur asalnya, sehingga hukumnya tetap berstatus sebagai negeri Islam. Inilah prinsip dasar Abu Hanifah rahimahullahu ta’ala,” (Lihat Syamsuddin As-Syarkhasi, Al-Mabsuth, [Beirut, Darul Ma’rifah: tanpa keterangan tahun], juz X, halaman 114).

Bila dikontekstualisasikan, tentu sampai sekarang Indonesia tidak memenuhi ketiga syarat sesuai pendapat Abu Hanifah tersebut. Terlebih orang Islam di Indonesia tidak hanya satu, bahkan ratusan juta menjadi mayoritas penduduknya.

Bahkan dalam referensi lain disebutkan, menurut Abu Hanifah standar suatu negeri berstatus sebagai negeri Islam atau tidak adalah kondisi keamanannya bagi orang Islam, bukan hukum-hukum yang diterapkan di dalamnya. Berkaitan hal ini pakar fiqih Hanafi asal kota Aleppo Suriah, Alauddin Abu Bakr bin Mas’ud Al-Kasani (w 587 H/1191 M), menjelaskan:

وَجْهُ قَوْلِ أبي حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللهُ أَنَّ الْمَقْصُودَ من إضَافَةِ الدَّارِ إلَى الْإِسْلَامِ وَالْكُفْرِ لَيْسَ هُوَ عَيْنَ الْإِسْلَامِ وَالْكُفْرِ وَإِنَّمَا الْمَقْصُودُ هُوَ الْأَمْنُ وَالْخَوْفُ. وَمَعْنَاهُ أَنَّ الْأَمَانَ إنْ كَانَ لِلْمُسْلِمِينَ فِيهَا عَلَى الْإِطْلَاقِ وَالْخَوْفُ لِلْكَفَرَةِ على الْإِطْلَاقِ، فَهِيَ دَارُ الْإِسْلَامِ. وَإِنْ كان الْأَمَانُ فِيهَا لِلْكَفَرَةِ عَلَى الْإِطْلَاقِ وَالْخَوْفُ لِلْمُسْلِمِينَ عَلَى الْإِطْلَاقِ فَهِيَ دَارُ الْكُفْرِ. وَالْأَحْكَامُ مَبْنِيَّةٌ عَلَى الْأَمَانِ وَالْخَوْفِ لَا على الْإِسْلَامِ وَالْكُفْرِ. فَكَانَ اعْتِبَارُ الْأَمَانِ وَالْخَوْفِ أَوْلَى.

Artinya, “Argumentasi pendapat Abu Hanifah rahimahullah, bahwa maksud menisbatkan kata dar (negeri) pada kata Islam atau kufur, bukan berarti menisbatkan negeri pada hakikat Islam dan kufur itu sendiri. Namun maksudnya adalah aman dan tidaknya. Maksudnya, bila dalam negeri tersebut terdapat jaminan keamanan bagi kaum Muslimin secara mutlak dan ketidakamanan bagi kaum orang-orang kafir secara mutlak, maka status negeri itu adalah negeri Islam. Bila dalam negeri tersebut terdapat jaminan keamanan bagi orang-orang kafir secara mutlak dan ketidakamanan bagi kaum Muslimin secara mutlak, maka status negeri itu adalah negeri kufur. Berbagai hukum negeri tersebut berdasarkan pada aman dan tidaknya, bukan pada Islam atau kufurnya sehingga mempertimbangkan aman dan tidaknya lebih utama (daripada mempertimbangkan hukum yang berlaku di sana),” (Lihat Alauddin Abu Bakr bin Mas’ud Al-Kasani, Badai’us Shana’i’, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1424 H/2003 M], tahqiq: Ali Muhammad Mu’awad dan Adil Ahmad Abdil Maujud, juz IX, halaman 519).

Poin utama dalam referensi di atas adalah, menurut Abu Hanifah, status Islam tidaknya suatu negeri adalah aman dan tidaknya bagi kaum muslimin, bukan hukum-hukum yang diterapkan di dalamnya. Dari sini dipahami bahwa tuduhan Indonesia bukan negeri Islam karena tidak menerapkan hukum-hukum Islam secara ketat adalah tidak benar dan tidak sesuai pakem fiqih Abu Hanifah, sebagai salah satu Imam mazhab empat (4) di kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah.

Mungkin ada yang bertanya: “Lho, di Indonesia kan orang-orang non-Muslim juga terjamin keamanannya sehingga tidak persis sebagaimana referensi tersebut?” Maka jawabannya adalah, Indonesia telah jelas statusnya sebagai negeri Islam dan status itu tidak akan berubah kecuali terpenuhi tiga (3) syarat sesuai pendapat Abu Hanifah di atas.

Terlebih di Indonesia, orang Islam yang terjaga keimanannya tidak hanya satu orang, yang menjadi syarat suatu negeri tetap dihukumi sebagai negeri Islam, bahkan ratusan juta dan menjadi mayoritas penduduknya. Dengan demikian Indonesia jelas-jelas sebagai negeri Islam meminjam sudut pandang fikih Abu Hanifah.

Penjelasan serupa juga dapat dibaca dalam Keputusan Bahtsul Masail Konferensi Wilayah NU Jawa Timur di PP Bumi Shalawat Lebo Sidoarjo 31 Mei-2 Juni 2013 tentang Memperjelas Status Dar dan Daulah Indonesia. (Tim PW LBM NU Jawa Timur, NU Menjawab Problematika Umat: Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur 2009-2014 Jilid 2, [Surabaya, PW LBM NU Jawa Timur: 2015], editor: Ahmad Muntaha AM, halaman 739-753).

Demikian ulasan ini, semoga semakin meneguhkan bahwa Indonesia adalah negeri Islam, bukan negeri kafir apalagi negeri thaghut. Wallahu a’lam. (Ahmad Muntaha AM, Sekretaris LBM NU Jawa Timur 2018-2023)