Syariah

Ushul Fiqih: Memahami “Syarat” sebagai Bagian dari Hukum Wadh’i

Jum, 3 Februari 2023 | 11:00 WIB

Ushul Fiqih: Memahami “Syarat” sebagai Bagian dari Hukum Wadh’i

Ilustrasi: Hukum (NU Online).

Pembaca yang budiman, sebagaimana kita ketahui, hukum wadh’i ialah hukum situasional yang menjadi pelengkap dari keberlangsungan sebuah hukum taklifi. Satu di antaranya ialah “syarat”.
 

Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Ushulul Fiqh mendefinisikan syarat sebagai:
 

الشرط هو الوصف الظاهر المنضبط الذي يتوقف عليه وجود الحكم من غير افضاء اليه
 

Artinya: "Syarat ialah sifat yang jelas dan terdefinisikan, dimana keberadaan hukum bergantung padanya tanpa harus masuk ke dalam hukum tersebut." (Wahbah Az-Zuhail, Ushulul Fiqh Al-Islami, [Damaskus: Darul Fikr: 2005), juz I, halaman 104). 

 

Syarat juga bisa dipahami sebagai sesuatu yang ketiadaanya bisa meniadakan hukum atau meniadakan sebab. Namun keberadaannya tidak lantas menentukan keberadaan hukum atau sebab.
 

Contohnya ialah suci atau thaharah. Thaharah ini merupakan sifat yang jelas dan bisa didefinisikan. Keabsahan shalat hanya bisa diwujudkan dengan wujudnya thaharah, meski thaharah bukanlah bagian dari shalat itu sendiri. Tanpa thaharah, shalat tidak mungkin bisa sah, meskipun dengan adanya thaharah juga tidak memastikan sahnya shalat, mengingat sahnya shalat bergantung juga pada faktor lain, seperti misalnya tergenapi syarat dan rukun. 
 

Contoh lain ialah durasi 1 tahun atau haul dalam bab zakat yang menjadi syarat wajibnya beberapa zakat. Jika kepemilikan belum mencapai 1 tahun, maka belum ada kewajiban zakat. Sebaliknya, syarat sudah terpenuhi, artinya kepemilikan sudah mencapai 1 tahun, tidak serta merta zakat menjadi wajib, karena harus melihat faktor yang lain pula. 
 

Dengan demikian jelaslah perbedaan antara syarat dengan rukun, dimana keberadaan rukun menentukan keberadaan sebuah hukum, dan ia merupakan bagian darinya.
 

Seperti membaca Al-Fatihah yang merupakan rukun shalat. Tanpa bacaan tersebut, shalat tidak bisa sah. Bacaan tersebut merupakan bagian dari shalat, namun keberadaan bacaan tersebut tidak serta merta mengabsahkan shalat karena masih ada faktor lain yang juga harus dipertimbangkan. Shalat baru akan berwujud sah apabila tergenapi semua sebab, syarat dan rukunnya secara keseluruhan.
 

Jika dibagi, maka syarat bisa dipilah menjadi dua kategori, yakni:

  1. syarat bagi hukum seperti kesanggupan penyerahan kepemilikan barang yang menjadi syarat jual beli; dan
  2. syarat bagi sebab, seperti al-ihshan (keterjagaan) yang menjadi syarat bagi sebab zina untuk hukum rajam—dalam hal ini al-ihshan sebagai syarat, zina sebagai sebab, wajibnya rajam sebagai hukum; al-ihshan sendiri pengertiannya ialah kondisi ketika seseorang sudah pernah melakukan akad nikah—.
 

Dari sudut pandang lain, syarat terbagi menjadi:

  1. syarat syar'i, yakni syarat yang telah ditentukan oleh syariat dalam teks Al-Qur'an maupun hadits; dan
  2. syarat ja'li, yakni syarat yang dibuat oleh kehendak seseorang.
     

Contohnya ialah persyaratan yang dibuat oleh seorang suami dalam menjatuhkan talak terhadap istrinya (ta'liq talak), atau syarat yang ditetapkan oleh pemberi wakaf kepada pihak yang menerima, dan lainnya. 
 

Syarat Ja'li ini tetap dibatasi dengan batasan syariat. Artinya tidak bisa seseorang membuat syarat semacam ini seenaknya tanpa memperhatikan rambu syariat. Syarat ja'li sendiri terbagi menjadi tiga kategori:

  1. Syarat mu'alliq. Yakni setiap syarat yang mana seseorang menggantungkan transaksinya pada satu dari beberapa hal. Tujuannya adalah agar manfaat transaksi hanya bisa terlaksana apabila syarat tersebut terlaksana. Seperti pernikahan yang digantungkan pada beberapa syarat. Manfaat dari akad nikah yakni legalnya sebuah hubungan tidak akan bisa terwujud sebelum syaratnya terpenuhi. Pada akad jual beli, syarat semacam ini tidak diperbolehkan.
  2. Syarat muqayyid. Yakni syarat yang berbarengan dalam atau dikaitkan dengan akad atau transaksi. Contohnya seorang lelaki yang menikahi perempuan dengan syarat harus tinggal bersama di rumah ayah si perempuan.
  3. Syarat al-Idhafah. Yakni syarat yang bertujuan untuk mengakhirkan hukum akad sampai waktu yang ditentukan di masa yang akan datang. Seperti kesepakatan akan memulai akad penyewaaan kamar kos mulai dua hari ke depan. Dengan kata lain, akad telah sah saat ini sebagai sebab untuk hukum yang akan terjadi di masa yang akan datang. 


Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawab.

 

 

Ustadz Muhammad Ibnu Sahroji