Tafsir

Tafsir Surat Al-Fiil ayat 1-2: Kisah Pasukan Gajah

Rab, 21 Juni 2023 | 14:00 WIB

Tafsir Surat Al-Fiil ayat 1-2: Kisah Pasukan Gajah

Gajah (Ilustrasi: NU Online/freepik)

Berikut ini adalah teks, terjemahan, kutipan sejumlah tafsir ulama atas Surat Al-Fil Ayat 1-2 dan sepenggal kisah ashabul fil.


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


اَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِاَصْحٰبِ الْفِيْلِۗ اَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِيْ تَضْلِيْلٍۙ


(1) Alam tara kaifa fa'ala rabbuka bi'ashābil-fil(i). (2) Alam yaj'al kaidahum fi taḍlil(in).


Artinya, (1) "Tidakkah engkau (Nabi Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah? (2) Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia?


Ragam Tafsir Ulama atas Surat Al-Fil Ayat 1-2

Imam al-Baidlawi (wafat 685 H) mengatakan bahwa khitabnya ayat untuk Rasullah saw. Sekalipun beliau tidak menyaksikan peristiwa tersebut, namun beliau menyaksikan peningalannya dan mendengan kabarnya secara mutawatir maka seakan-akan Nabi menyaksikannya secara langsung. Kemudian terkait pengunaan kata 'kaifa' bagaimana bukan 'ma' apa menurutnya karena tujuannya ayat adalah mengingatkan peristiwa di dalamnya yang merupakn aspek petunjuk atas kesempurnaan pengetahuan, kekuasaan, kemulian baitulallah dan keagungan Rasul-Nya. Peristiwa ini sebagai Irhas, diriwayatkan peristiwa ini terjadi pada tahun kelahirannya. (Lihat: Nasiruddin as-Syairazi al-Baidhawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta'wil, [Beirut, Darul Ihya': 1418 H], juz V, halaman 339).


Ungkapan "fa'ala rabbuka" menurut Sayyid Thanthawi (wafat 2010 H) adalah isyarah bahwa tindakan ini tidak ada yang mampu melakukannya selain Allah swt, Dia lah yang mendidik dan mengasuh Nabi dengan penjagaannya, Dia lah pelindungnya dari musuh-musuhnya sebagaimana Allah menolong penduduk Makah dari serangan tentara Habasyah, mereka adalah Ashabul Fil. Mereka disebut dengan demikian karena mereka hadir bersama fil "gajah" untuk membantu mereka merusak Ka'bah dan menghinakan penduduk Makah. (Muhammad Sayyid Thanthowi, Tafsir Washit [Cairo, Dar Nahdlah: 1997 M] juz XV halaman 510).


Syekh Nawawi Banten (wafat 1898 M) mengatakan kata 'Alam yaj'al' dalam ayat kedua merupakan istifham litaqrir yaitu istifhan atau pertanyan sebagai penegasan sehingga makna ayatnya adalah sungguh Tuhanmu telah menjadikan tipu daya merusak ka'bah dalam kegagalan, yakni dengan membinasahkan mereka dengan sejelek-jelaknya pembinasahan. (Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsîrul Munîr li Ma’âlimit Tanzîl, [Surabaya, al-Hidayah], juz II, halaman 663).


Menurut Sayyid Thantahawi kata 'al-kaid' maknanya adalah kehendak untuk merugikan orang lain secara diam-diam. Adapun alasan Allah menamakan kelakuan Abrahah dan tentanya dengan 'kaid' padahal mereka datang untuk merusak Ka'bah dengan terang terangan di siang hari, karena mereka memendam kebencian, hasud dan permusuhan kepada penduduk Makah lebih besar ketimbang yang ditampakkan. (Muhammad Sayyid Thanthowi, Tafsir Washit, juz XV halaman 511).


Berikut Sepenggal Kisah Ashabul Fil:

Syekh Wahbah Az-Zuhaili (wafat 2015 M) dalam tafsirnya, At-Tafsir Munir menyebutkan kisah Ashabul fil dengan ringkas, runtut dan apik, kisah ini beliau rangkum dari beberapa refrensi otoritatif di antaranya adalah Sirah Ibnu Hisyam. Beliau tidak hanya menyebutkan kisahnya saja, di akhir tulisanya beliau juga mencoba menjelaskan pandangannya terkait hikmah peristiwa ini. Berikut kisah selangkapnya.


Di Yaman ada seorang raja, sebelum raja an-Najasyi (raja Habasyah), namanya adalah Abrahah bin Shabbah al-Asyram, kakek Najasyi yang hidup semasa dengan Nabi saw. Dia telah membangun sebuah gereja yang sangat besar dengan nama Qallis dengan tujuan untuk mengalihkan haji orang-orang Arab ke gereja tersebut.


Pada suatu malam ada seorang lelaki dari Bani Kinanah membuang air besar di dalam gereja tersebut. Kejadian itu membuat sang raja marah. Ia pun bersumpah akan menghancurkan Ka'bah sebagai balasan dari kejadian tersebut. Selain itu, pada dasarnya dia ingin menaklukkan Mekah untuk menghubungkan Yaman dengan negeri Syam serta memperluas negeri Nasrani.


Kemudian, raja tersebut menyiapkan pasukan dalam jumlah besar disertai dengan gajah dalam jumlah yang banyak. Ada yang mengatakan jumlah gajah tersebut mencapai dua belas ribu, ada juga yang mengatakan seribu. Itu dilakukan untuk menakut-nakuti musuh. Setelah itu, pasukan berjalan hingga sampai ke Muqammas, sebuah tempat dekat Mekah.


Abrahah mengirim utusan kepada para penduduk Mekah untuk memberitahu mereka bahwa dia datang bukan untuk memerangi mereka. Akan tetapi, dia datang untuk menghancurkan Ka'bah.


Penduduk Mekah pun menganggap bahwa tujuan tersebut merupakan masalah besar. Mereka ketakutan dan hendak memerangi Abrahah. Akan tetapi, mereka melihat bahwa mereka tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk menghadapi Abrahah dan bala tentaranya. Akhirnya mereka berlindung di balik gunung-gunung untuk melihat apa yang akan terjadi. Mereka yakin bahwa Ka'bah adalah milik Tuhan yang akan senantiasa menjaganya.


Ketika pasukan sudah mendekati Makah, Abrahah memerintahkan untuk merampas harta orang-orang Arab. Di antara harta tersebut adalah unta Abdul Muththalib bin Hasyim, kakek Nabi saw, unta yang berjumlah dua ratus ekor itu dibawa oleh salah seorang tentara. 


Kemudian, Abrahah mengutus Hanathah al-Himyari ke Mekah dan memerintahkannya untuk mendatangi tokoh Quraisy serta memberitahunya bahwa sang raja datang bukan untuk memerangi kalian, kecuali jika kalian menghalanginya untuk menghancurkan Ka'bah. 


Akhirnya, Hanathah sampai dan ditujukan ke Abdul Muththalib bin Hasyim. Hanathah pun menyampaikan pesan sebagaimana yang dikatakan oleh Abrahah. Lantas Abdul Muththalib berkata kepadanya,


"Demi Allah kami tidak ingin memeranginya. Kami tidak mempunyai kekuatan untuk itu. Ini adalah Baitullah al-Haram (rumah Allah) dan kekasih-Nya, Ibrahim. Jika Dia (Allah) mencegah Abrahah untuk menghancurkan Ka'bah, maka itu adalah rumah-Nya. Jika Dia membiarkan hal itu, maka demi Allah kami tidak mempunyai kekuatan untuk mencegah hal itu."


Lantas Hanathab berkata, "Pergilah bersamaku ke Abrahah."


Lantas Abdul Muththalib pergi bersamanya. Tatkala Abrahah melihatnya, dia pun menghormatinya. Abdul Muththalib adalah sosok lelaki dengan postur tubuh besar dan gagah. Lantas Abrahah turun dari singgasananya dan mempersilakan Abdul Muththalib duduk bersama di permadani yang terbentang. Kemudian Abrahah bertanya tentang kepentingannya datang kepadanya.


Abdul Muththalib menjawab: "Saya datang untuk memohon kepada raja agar mengembalikan dua ratus unta yang dirampas dariku."


Abrahah pun terkejut dengan hal itu dan berkata: "Apakah kamu ingin berbicara denganku tentang dua ratus unta yang aku rampas darimu dan tidak membicarakan Ka'bah yang merupakan agamamu dan nenek moyangmu. Aku datang untuk menghancurkannya. Tidakkah kamu ingin membicarakan hal itu denganku!?"


Abdul Muththalib menjawab: "Aku adalah pemilik unta-unta tersebut. Sedangkan Ka'bah mempunyai pemilik sendiri yang akan melindunginya dari seranganmu." 


Dengan sombongnya Abrahah berkata: "Dia tidak akan dapat mencegahku" 


Abdul Muththalib kembali menjawab: "ltu urusanmu."


Abdul Muththalib dan para tokoh Arab menawarkan sepertiga harta Tihamah agar Abrahah mengurungkan niat untuk menghancurkan Ka'bah. Akan tetapi, dia enggan untuk menerima tawaran tersebut.


Abrahah mengembalikan unta Abdul Muththalib. Kemudian Abdul Muththalib kembali dan mendatangi pintu Ka'bah dengan beberapa orang Quraisy. Mereka berkeliling di pintu Ka'bah untuk berdoa kepada Allah untuk meminta pertolongan atas serangan Abrahah dan bala tentaranya.


Kemudian pasukan bergerak menuju Ka'bah dan memasuki kota Mekah. Raja menaiki seekor gajah yang sangat besar, bernama Mahmud. Setiap kali diarahkan ke arah Baitul Haram, ia berlutut. Ketika diarahkan ke arah Yaman atau arah yang lain, dia berjalan kencang.


Di hari berikutnya, ketika Abdul Muththalib berdoa, dia menoleh, ternyata dia melihat burung-burung dari arah Yaman menuju ke arah laut. Kemudia ia berkata: "Demi Allah, sungguh burung-burung itu adalah burung-burung yang aneh, bukan burung dari Najd, tidak pula dari Tihamah."


Setiap burung membawa kerikil di paruh dan kakinya. Burung-burung tersebut melemparkan kerikil-kerikil kepada Abrahah dan bala tentaranya. Setiap orang yang terkena kerikil tersebut pasti mati. Bala tentara akhirnya tunggang-langgang melarikan diri menuju Yaman.


Di tengah perjalanan pun mereka tidak selamat dari maut. Abrahah juga terkena kerikil maut di bagian tubuhnya jari-jemarinya mulai berjatuhan satu per satu dan dagingnya remuk. Pasukan yang selamat membawanya hingga sampai ke San'a', dan akhirnya dia mati sangat mengenaskan.


Kekalahan pasukan Abrahah mempunyai pengaruh besar dalam sejarah dan di kalangan orang-orang Arab. Oleh karena itu, kabilah-kabilah lain memuliakan kaum Quraisy, dan berkata: "Mereka (kaum Quraisy) adalah ahli Allah. Allah telah melindungi mereka (dari musuh)." 


Dengan hal itu, orang-orang Arab semakin mengagungkan Ka'bah dan keimanan mereka bertambah atas betapa mulianya Ka'bah di sisi Allah. Dengan kejadian tersebut, Allah SWT ingin mengagungkan Ka'bah, mengangkat identitasnya, dan mempersiapkan orang-orang Arab untuk mengemban misi ajaran Islam untuk disebarkan ke seluruh penjuru dunia.


Peristiwa besar tersebut terjadi bertepatan dengan tahun kelahiran Nabi saw., tahun 570 M. Dengan demikian, ada jarak 40 tahun antara tahun gajah dan tahun diutusnya Nabi saw.. Saat itu banyak orang yang menyaksikan kejadian besar tersebut. Bahkan berita tentang peristiwa tersebut bisa dikatakan telah mencapai derajat mutawatir saat itu. Semua itu merupakan irhash Rasulullah saw. (Lihat: Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, At-Tafsir Munir, juz XXX, halaman 404-406). 


Imam Ibnu Katsir (wafat 774 H) mengatakan terkait peristiwa ini, bahwa ini merupakan nikmat yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada kaum Quraisy, karena Allah telah menyelamatkan mereka dari serangan tentara bergajah, yang sejak semula telah bertekad akan merobohkan Ka'bah dan meratakannya dengan tanah hingga tiada bekas-bekasnya lagi. Maka Allah memusnahkan mereka dan menjadikan mereka kalah serta usaha mereka menjadi sia-sia, begitu pula tiada hasilnya dari kerja mereka; Allah mengusir mereka dengan cara yang buruk dan akibat yang mengecewakan. Mereka adalah kaum Nasrani, dan agama mereka saat itu lebih mirip keadaannya dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy, yaitu menyembah berhala. 


Peristiwa ini terjadi sebagai irhas dan pendahuluan bagi akan diutus-Nya Rasulullah Saw. Karena sesungguhnya di tahun itu Nabi Muhammad, menurut pendapat yang terkenal dilahirkan. Dan seakan-akan takdir Allah Swt. telah menetapkan bahwa hai golongan orang-orang Quraisy, Kami menolong kalian bukanlah karena kalian lebih baik daripada orang-orang Habsyah itu, tetapi karena memelihara Baitul 'Atiq yang akan Kami muliakan, Kami agungkan, dan Kami hormati dengan diutusnya seorang nabi yang ummi, yaitu Muhammad Saw. penutup para nabi. (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, [Bairut, Dar-Kitab Ilmiyah: 1419 H], juz 4 halaman 483). Wallahu a'lam bis shawab.


Ustadz Muhammad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo