Tafsir

Tafsir Surat Al-Humazah Ayat 2-3: Penyebab Mengunjing, Mencela dan Merasa Paling Hebat

Kam, 11 Mei 2023 | 05:00 WIB

Tafsir Surat Al-Humazah Ayat 2-3: Penyebab Mengunjing, Mencela dan Merasa Paling Hebat

Ilustrasi: sombong (NU Online).

Berikut ini adalah teks, terjemahan dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat Al-Humazah Ayat 2-3. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 
 

ۨالَّذِيْ جَمَعَ مَالًا وَّعَدَّدَهٗۙ (٢) يَحْسَبُ اَنَّ مَالَهٗٓ اَخْلَدَهٗۚ (٣)
 

(1) Allażī jama'a mālaw wa 'addadah (2) Yahsabu anna mālahū akhladah.
 

Artinya, "(2) yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, (3) dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya."
 

 

Ragam Tafsir Surat Al-Humazah Ayat 2-3

Setelah pada ayat pertama surat Al-Humazah Allah mengancam dengan ancaman yang keras, dengan kerugian, siksaan serta kehancuran bagi setiap orang yang menggunjing, mencela dan menghina orang lain, baik melalui ucapan ataupun perbuatan, pada ayat ke 2-3 ini Allah menyebutkan sifat-sifat lain yang mengisyaratkan menjadi sebab perbuatan tersebut.
 

Syekh Nawawi Banten (wafat 1316 H) dalam menjelaskan ayat ke-2 menyebutkan tiga pendapat tentang alasan mereka menghimpun harta dan menghitung-hitungnya sebagai berikut: "Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, yakni menghitung-hitung harta. (1) Imam Ahkfas berkata: "Ia menjadikan hartanya simpanan untuk persiapan peristiwa-peristiwa mendatang (hawaditsud dahr)”. (2) Imam Dhahak berkata: "Ia mempersiapkan hartanya untuk anak-anaknya yang akan mewarisi hartanya." (3) Ada yang berpendapat: "Yakni menyombongkan jumlah dan banyaknya harta". (Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsîrul Munîr li Ma’âlimit Tanzîl, [Surabaya, Al-Hidayah], juz II, halaman 661).
 

Imam Ibnu Katsir (wafat 774 H) dalam tafsirnya menyebutkan pendapat Muhammad Ibnu Ka'ab sehubungan dengan makna ayat 2 surat Al-Humazah, "Yaitu di siang hari terlena dengan harta bendanya dan merasa asik dengannya; dan apabila malam hari tiba, maka ia tidur bagaikan bangkai yang telah membusuk." (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, [Beirut, Darul Kitab Ilmiyah: 1419 H], juz VIII halaman 481).
 

Sehingga makna ayat ke-2 ini dapat difahami maksudnya, yaitu  kecaman terhadap perilaku menahan harta yang harusnya diinfakkan di jalan Allah. (Syamsudin Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, [Mesir, Darul Kutub Al-Mishriyah: 1384 H/1964 M], juz XX, halaman 183).
 

Jika ayat ke-2 dihubungkan dengan ayat pertama maka akan didapati pemahaman bahwa Humazah dan Lumazah itu adalah orang yang menghina dan mencela orang lain serta merasa lebih tinggi atau lebih hebat ​​​​​​​dari mereka, sebab kekagumannya kepada diri sendiri dengan harta yang telah ia kumpulkan. Dengan harta tersebut, dia merasa lebih hebat dibandingkan dengan
orang lain, sebagaimana firman Allah swt pada surat Al-Ma'aarij ayat 18: "Dan orang yang mengumpulkan (harta benda) Ialu menyimpannya." (Wahbah bin Musthafa Az-Zuhaili, At-Tafsirul Munir, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz XXX, halaman 399).
 

Ada filosofi menarik terkait kata mal di dalam Al-Qur'an yang tidak berdiri sendiri. Berikut ini sejelasnya menurut Quraish Shihab:
 

"Pada umumnya Al-Qur’an menggunakan kata mal baik dalam bentuk tunggal maupun jamak tidak bersendiri sendiri, tetapi dinisbatkan kepada orang banyak. Ini memberi kesan, bahwa harta harus memiliki fungsi sosial dan tidak direstui untuk dijadikan sebagai harta pribadi semata-mata, dengan mengabaikan fungsi sosial." (M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, [Lentera Hati, Cilandak Timur Jakarta: 2005], Volume 15 halaman 515).
 

Demikian penjelasan ayat ke-2 surat Al-Humazah.

 

Adapun penjelasan ayat ke-3 ialah: "Dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Dia mengira bahwa hartanya menjamin dirinya hidup kekal dan tidak akan mati karena betapa takjubnya dia dengan harta yang dia kumpulkan sehingga tidak memikirkan untuk mempersiapkan bekal setelah mati." 
 

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebab menggunjing dan mencela sebagaimana dijelaskan pada ayat pertama, perbuatan tersebut dikecam dan dicela Allah, serta merasa lebih tinggi atau lebih hebat daripada orang lain itu adalah harta dan angan-angan yang panjang. Seringkali kekayaan akan menimbulkan perasaan ’ujub dan takabur. Menghitung-hitung harta tanpa sebuah kepentingan (dharuri) merupakan bukti kesenangan diri pada duniawi, serta sibuk dengan harta sehingga ia lupa akan kebahagiaan yang kekal (akhirat).
 

Harta juga dapat menyebabkan angan-angan menjadi panjang dan memberi harapan yang sangat jauh kepada pemiliknya, karena ia terbuai dengannya. Si pemilik mengira bahwa hartanya dapat membuatnya abadi di dunia. (Az-Zuhaili, XXX/399 dan 401). Wallahu a'lam bisshawab.

 


Ustadz Muhammad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo