Tafsir

Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 88: Prinsip Dasar Konsumsi Makanan dalam Islam

NU Online  ·  Senin, 22 Juli 2024 | 17:00 WIB

Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 88: Prinsip Dasar Konsumsi Makanan dalam Islam

Tafsir surat Al-Maidah ayat 88: konsumsi makanan dalam Islam (freepik).

Ajaran Islam mewajibkan umatnya untuk mengonsumsi makanan halal dan baik. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur'an. Halal berarti makanan tersebut diperbolehkan menurut syariat Islam, sedangkan baik mengacu pada kualitas dan kecocokan makanan dengan kondisi tubuh.
 

Allah swt memerintahkan muslim untuk memastikan makanan yang mereka konsumsi bukan hanya halal, tetapi juga bermanfaat bagi kesehatan dan kesejahteraan. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan keseimbangan antara kepatuhan terhadap hukum agama dan menjaga kesehatan fisik. 
 

Sebagai contoh, daging kambing adalah makanan yang halal dalam Islam. Namun, jika seseorang memiliki masalah kesehatan seperti tekanan darah tinggi, makan daging kambing bisa berdampak buruk pada kesehatan. Jadi, meskipun daging kambing halal, mengonsumsinya dalam kondisi tertentu mungkin tidak disarankan. 
 

Contoh lainnya adalah nasi putih, yang secara hukum juga halal. Namun, bagi penderita diabetes, makan nasi putih dalam jumlah banyak bisa menyebabkan masalah kesehatan serius. Menurut Angka Kecukupan Gizi dari Kemenkes, jumlah karbohidrat yang disarankan untuk laki-laki usia 19 - 29 tahun yaitu 430 gram per hari. Untuk wanita, asupan karbohidrat per harinya tidak boleh lebih dari 360 gram. Jika lebih, akan dapat menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan dengan penderita diabetes. (hellosehat.com)


Prinsip "halal dan baik" ini hendaknya selalu menjadi perhatian dalam menentukan makanan dan minuman yang akan dikonsumsi. Hal ini tidak hanya penting untuk diri sendiri, tetapi juga untuk keluarga. Makanan dan minuman yang dikonsumsi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesehatan jasmani dan rohani seseorang.


Untuk itu, Islam mengajarkan pentingnya keseimbangan dalam segala hal, termasuk dalam pola makan. Umat Muslim disarankan untuk memikirkan dampak jangka panjang dari makanan yang dikonsumsi dan mencari alternatif yang lebih sehat jika perlu. Jadi, prinsip halal dalam Islam tidak hanya tentang aspek keagamaan, tetapi juga tentang menjaga kesehatan dan kualitas hidup yang lebih baik.
 

Hal ini sebagaimana dijelaskan Allah dalam QS Al-Maidah ayat 8, Allah berfirman:


وَكُلُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖوَّاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْٓ اَنْتُمْ بِهٖ مُؤْمِنُوْنَ
 

Artinya; "Makanlah apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu sebagai rezeki yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah yang hanya kepada-Nya kamu beriman."
 

Tafsir Al-Munir

Syekh Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan, setelah Allah swt melarang hamba-Nya untuk tidak memboikot dirinya dari kenikmatan hidup, Allah kemudian memerintahkan untuk mengonsumsi makanan yang halal dan baik. Rezeki yang halal ini merupakan karunia dari Allah yang harus disyukuri. Allah juga melarang umat-Nya untuk mengonsumsi benda-benda yang haram seperti bangkai, darah, dan daging babi, serta makanan haram yang diperoleh melalui cara-cara yang tidak benar seperti riba, undian, mencuri, merampok, dan perbuatan lainnya yang termasuk dalam memakan harta orang lain dengan cara yang batil.
 

Dalam pandangan ini, rezeki mencakup sesuatu yang halal dan yang haram. Adanya hal-hal yang haram adalah sebuah ujian dari Allah untuk melihat sejauh mana kesungguhan seorang hamba dalam memerangi hawa nafsunya. Hal ini menuntut kesabaran dan ketekunan dalam menjalani kehidupan sehari-hari agar tetap berada di jalan yang diridhai oleh Allah swt.
 

Menghindari rezeki yang haram dan hanya mencari rezeki yang halal adalah tanda ketaatan dan kesalehan seorang hamba. Dengan begitu, seorang hamba dapat menjaga dirinya dari dosa dan memperoleh berkah dari Allah swt. Ini menunjukkan pentingnya mematuhi perintah Allah dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam mencari dan mengonsumsi makanan yang halal.
 

Sejalan dengan ayat ini adalah firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 172:
 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا رَزَقْنٰكُمْ وَاشْكُرُوْا لِلّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ
 

Artinya, "Wahai orang-orang yang beriman, makanlah apa-apa yang baik yang Kami anugerahkan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah jika kamu benar-benar hanya menyembah kepada-Nya."
 

Selanjutnya, Nabi Muhammad saw, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, menyampaikan pesan dari Allah swt agar seluruh umat manusia, termasuk para Nabi dan orang-orang beriman, senantiasa mengonsumsi makanan yang halal dan baik.
 

Pesan ini menegaskan betapa pentingnya menjaga pola makan. Makanan yang halal dan baik tidak hanya bermanfaat bagi kesehatan fisik, tetapi juga dapat memberikan pengaruh positif terhadap amal ibadah kita. Dengan mengonsumsi makanan yang halal dan baik, tubuh kita menjadi lebih sehat dan kuat, sehingga kita pun dapat beribadah dengan lebih optimal dan penuh semangat.


إنّ الله تعالى طيّب لا يقبل إلاّ طيّبا، وإن الله أمر المؤمنين بما أمر به المرسلين فقال تعالى: يا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّباتِ وَاعْمَلُوا صالِح [المؤمنون ٥١/ ٢٣]، وقال تعالى: يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّباتِ ما رَزَقْناكُمْ [البقرة ١٧٢/ ٢]».
 

Artinya, "Allah Ta'ala Maha Baik, tidak menerima kecuali yang baik. Allah memerintahkan orang-orang beriman dengan apa yang diperintahkan kepada para rasul, sebagaimana firman-Nya: "Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang shaleh." (Al-Mu'minun: 51/23). Dan firman-Nya: "Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari sebagian yang baik-baik dari apa yang telah Kami berikan kepadamu." (QAl-Baqarah: [2] ayat 172). (HR Muslim).
 

Karena itu, batasan dan aturan yang Allah tetapkan tidak hanya terbatas pada masalah ibadah saja, tetapi juga mencakup aspek-aspek kehidupan sehari-hari. Ini termasuk perintah untuk bertakwa kepada Allah dan berpegang teguh pada hukum-hukum-Nya. 
 

Dengan kata lain, kita harus bertakwa kepada Allah dalam semua aspek kehidupan, seperti makan, minum, pakaian, dan hubungan dengan perempuan. Kita tidak boleh melampaui batas dengan menghalalkan apa yang Allah larang atau mengharamkan apa yang Allah halalkan.وكان
 

طعام النّبي صلّى الله عليه وسلّم ما وجد، فتارة يأكل أطيب الطعام كاللحوم، وتارة يأكل أخشنه كخبز الشعير مع الملح أو الزيت أو الخل، وأحيانا يجوع وأخرى يشبع، فكان في عادته قدوة للموسر والمعسر، أو الغني والفقير، وينفق على قدر حاله بلا تقتير ولا إسراف
 

Artinya, "Nabi Muhammad saw makan apa saja yang tersedia. Kadang beliau makan makanan terbaik seperti daging, dan kadang beliau makan makanan sederhana seperti roti gandum dengan garam, minyak, atau cuka. Kadang beliau lapar dan kadang beliau kenyang. Beliau menjadi teladan bagi orang kaya dan miskin, dan beliau berinfak sesuai dengan keadaannya, tidak berlebihan dan tidak pelit." (Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir, [Beirut: Darul Kutub al-Mu'ashirah, 1991], jilid VII, halaman 19).


Tafsir Al-Misbah


Profesor Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al-Misbah menjelaskan kata 'makan' dalam ayat 188 surat Al-Maidah tersebut memiliki makna yang luas, melampaui sekadar proses memasukkan makanan ke dalam tubuh. Kata 'makan' di sini melambangkan segala aktivitas manusia, karena manusia membutuhkan energi dan kekuatan untuk melakukan berbagai kegiatan. Tanpa asupan makanan yang memadai, manusia akan lemah dan tidak dapat beraktivitas.
 

Lebih lanjut, ayat ini mengingatkan manusia untuk senantiasa memilih makanan yang halal dan baik. Halal berarti diperbolehkan menurut syariat Islam, sedangkan baik berarti memiliki manfaat dan nilai positif bagi tubuh dan jiwa. Quraish Shihab menjelaskan bahwa tidak semua makanan halal secara otomatis baik. Ada empat kategori halal: wajib, sunnah, mubah, dan makruh.
 

Hal ini juga berlaku untuk aktivitas. Ada aktivitas yang halal, tetapi makruh atau tidak disukai Allah, seperti memutus hubungan silaturahmi. Selain itu, kecocokan makanan dengan kondisi individu juga perlu diperhatikan. Makanan yang halal dan baik bagi satu orang, mungkin tidak baik bagi orang lain karena kondisi kesehatan atau kebutuhannya yang berbeda. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, [Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2002], jilid III, halaman 188-189).
 

Karena itu,  tidak semua yang halal sesuai dengan kondisi masing-masing pribadi. Ada  halal yang baik buat si A karena memiliki kondisi kesehatan tertentu, dan  ada juga yang kurang baik untuknya, walau pun baik buat yang lain. Ada  makanan yang halal, tetapi tidak bergizi, dan ketika itu ia menjadi kurang  baik. Yang diperintahkan adalah yang halal lagi baik.
 

Penjelasan Ulama Tafsir tentang Makna Halal dan Tayyib

​​​​​Imam Ibnu Jarir At-Thabari dalam kitab Jami'ul Bayan,  menjelaskan bahwa maksud dari kata 'thayyiban' adalah suci, tidak najis, dan tidak haram. 


Dalam kitab tafsirnya yang monumental, Jami'ul Bayan, At-Thabari menjelaskan makna kata 'thayyiban' yang berkaitan dengan makanan. Ia mendefinisikannya sebagai suci, bebas dari najis, dan tentunya halal (tidak haram).


وأما قوله:"طيبًا" فإنه يعني به طاهرًا غير نَجس ولا محرَّم
 

Artinya, "Adapun firman Allah 'Thayyiban' (baik), maka yang dimaksudkan dengannya adalah suci, tidak najis, dan tidak haram."
 

Lebih dalam, At-Thabari menegaskan bahwa makanan 'thayyib' tidak hanya terpaku pada aspek kehalalan, tetapi juga harus terbebas dari kotoran dan najis yang dapat mencemari kesucian dan kehalalannya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga kebersihan dan kesucian makanan bagi umat Islam. Konsumsi makanan thayyib tidak hanya memenuhi kebutuhan gizi dan aspek halal, tetapi juga menjaga kesehatan dan terhindar dari penyakit yang disebabkan oleh kontaminasi. (At-Thabari, Jami'ul Bayan, jilid III, halaman 301).
 

Pandangan At-Thabari ini menjadi pedoman penting bagi umat Islam dalam memilih dan mengonsumsi makanan. Ketelitian dalam memilih bahan makanan yang suci, bersih, dan terjamin kehalalannya menjadi kunci utama untuk meraih kesehatan jasmani dan rohani yang optimal.
 

Sementara itu, Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitab Tafsir Munir, Jilid VII, halaman 21 menjelaskan yang dimaksud dengan rezeki yang baik-baik [tayyiban] adalah rezeki yang halal. ezeki yang halal dan baik adalah rezeki yang tidak mengandung unsur syubhat dan dosa, serta tidak terkait dengan hak orang lain. Hal ini menegaskan bahwa seorang muslim tidak diperbolehkan mengambil harta yang berhubungan dengan hak orang lain atau memperolehnya dengan cara yang tidak sah menurut syariat. (Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir, jilid VII, halaman 21).
 

Dalam penjelasannya, Syekh Wahbah menekankan pentingnya memperoleh rezeki yang halal sebagai bagian dari keimanan seorang muslim. Mengambil harta yang terkait dengan hak orang lain atau memperolehnya secara ilegal dianggap tidak halal dan bertentangan dengan ajaran Islam. Seorang muslim harus berhati-hati dalam mencari rezeki, memastikan bahwa setiap penghasilan yang diperoleh bebas dari syubhat, dosa, dan tidak merugikan orang lain.

 

Sementara menurut Abu Al Muzhaffar As-Sam'ani dalam Tafsir As-Sam'ani, halal merujuk pada segala sesuatu yang dihalalkan oleh syariat. Definisi ini menegaskan bahwa halal mencakup semua yang diizinkan oleh hukum Islam. 


Sementara itu, konsep 'tayyib' dua makna. Pertama, segala sesuatu yang dianggap enak dan disukai dianggap sebagai thayyib. Kedua, mengenai thayyib adalah bahwa thayyib berarti yang suci. Dengan kata lain, thayyib tidak hanya mencakup hal-hal yang enak dan disukai, tetapi juga mencakup kesucian dan kebersihan. 
 

Karena itu, seorang Muslim tidak hanya memilih yang halal karena kelezatannya, tetapi juga karena kesuciannya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam, konsep thayyib mencakup aspek kenikmatan dan kesucian, memastikan bahwa segala sesuatu yang dikonsumsi atau digunakan oleh seorang Muslim harus memenuhi standar halal dan suci.
 

 فالحلال: كل مَا أحله الشَّرْع. وَفِي الطّيب قَولَانِ: أَحدهمَا: كل مَا يستطاب ويستلذ فَهُوَ طيب. وَالْمُسلم يَسْتَطِيب الْحَلَال ويعاف الْحَرَام. وَقيل: الطّيب: الطَّاهِر
 

Artinya, "Halal adalah segala sesuatu yang dihalalkan oleh syariat. Mengenai thayyib (baik), terdapat dua pendapat: Salah satunya adalah segala sesuatu yang dianggap enak dan disukai itu adalah thayyib. Seorang Muslim menganggap halal itu baik dan menghindari yang haram. Dikatakan juga bahwa thayyib adalah yang suci." (Abu Al-Muzhaffar As-Sam'ani, Tafsir As-Sam'ani, [Riyadh, Darul Wathan, 1997], jilid I, halaman 167]. 


Dengan demikian, ayat 88 surat Al-Maidah, Allah memerintahkan kepada umat-Nya untuk mengonsumsi makanan yang halal dan baik. Perintah ini menekankan pentingnya memilih makanan yang sesuai dengan ketentuan syariat Islam, yaitu yang dihalalkan oleh Allah dan tidak mengandung unsur yang dilarang. Konsep halal mencakup aspek kebersihan, cara penyembelihan, serta sumber makanan itu sendiri, sementara makanan yang baik berarti makanan yang sehat dan tidak merugikan kesehatan. Wallahu a'lam.
 


Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal di Ciputat