Bahaya Pemborosan Anggaran Negara dalam Pandangan Islam
Sabtu, 17 Agustus 2024 | 12:00 WIB
Shofi Mustajibullah
Kolomnis
Jabatan merupakan salah satu anugerah besar yang Allah berikan kepada manusia. Selain sebagai karunia yang istimewa, jabatan juga membawa tanggung jawab besar serta amanat yang harus dijalankan oleh siapa pun yang memegangnya.
Seseorang yang sedang menduduki suatu jabatan memiliki peran dalam mengambil keputusan yang signifikan bagi orang lain. Dengan peran yang begitu krusial, pejabat tidak selayaknya menyalahgunakan wewenang yang dimiliki.
Alasannya tentu sudah maklum, bahwa setiap amanat akan dipertanggungjawabkan, baik di pengadilan dunia maupun di pengadilan akhirat. Rasulullah saw pernah bersabda:
كلكُمْ رَاع وكلكم مسؤول عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya, “Setiap orang di antara kalian adalah pemimpin, dan akan kepemimpinan tersebut akan dipertanggungjawabkan.” (HR. Al-Bukhari)
Sayangnya, sinyal peringatan tersebut tidak jarang diabaikan, padahal peran sebagai pejabat merupakan sebuah amanat besar yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan wewenang besar yang dimiliki, terkadang posisi tersebut menjadikan seorang pemangku jabatan menjadi gelap mata sekaligus gelap hati karena ingin memuaskan hasrat pribadi.
Di antara kebiasaan buruk yang dilakukan oleh para pejabat yang sejatinya telah digaji oleh negara adalah perilaku boros dan hedonis, baik menggunakan harta pribadi, atau lebih parah lagi menggunakan fasilitas dan anggaran negara.
Padahal, menghamburkan anggaran yang dilakukan para penguasa dan pejabat merupakan tindakan yang tidak etis dan jauh dari moral terpuji. Tidak hanya itu, tindakan tersebut menggambarkan karakter kepemimpinan yang lemah. Al-Mawardi mengatakan:
الامتنان وَمِمَّا هُوَ جدير بِالْملكِ أَن يجْتَنب الامتنان بإنعامه والبذخ بإحسانه لِأَنَّهُ من ضيق النَّفس وَضعف الْمِنَّة وَهُوَ تَابع لفساد الْأَخْلَاق وملحق بمساوئ الشيم وَفِيه تكدير للصنيع وإحباط للشكر وإغراء بالذم
Artinya, “Claim Rewards merupakan praktik lazim yang dilakukan para pejabat. Padahal semestinya dirinya menjauhi kebiasaan claim rewards dan berfoya-foya dengan hartanya. Karena hal itu merupakan tanda sempitnya hati dan lemahnya kedudukan (martabat).
Kebiasaan tersebut juga merupakan tanda dari moral yang rusak dan termasuk dalam budi pekerti yang tercela. Sikap seperti ini juga dapat mengeruhkan makna dari kebaikan yang dilakukan, memusnahkan rasa syukur, dan mendorong orang lain untuk mencela." (Tashilun Nadzar wa Ta’jiludz Dzafar fi Akhlaqil Mulk, [Beirut: Darun Nahdhah, 1981], halaman 122).
Seorang ahli tafsir yang masyhur, Fakhruddin Ar-Razi menyebutkan, perilaku boros para pejabat memiliki beragam motif. Di antara dorongan untuk melakukan foya-foya atau pemborosan anggaran biasanya bertujuan untuk menaikkan popularitas. Akibatnya menurut Ar-Razi, tindakan pejabat yang menghamburkan harta demi popularitas akan dicap sebagai perilaku yang hina oleh masyarakat. (Tafsir Ar-Razi Mafatihul Ghaib, [Beirut: Darul Ihya’, 1999], jilid VIII, halaman 188).
Menurut as-Suyuthi, pemerintahan yang boros dalam belanja negara biasanya memiliki akhir yang menyedihkan. Salah satu contoh yang pernah terjadi dalam sejarah peradaban Islam adalah ketika Khalifah Al-Amin menjabat. Ia adalah khalifah keempat Dinasti Abbasiyah.
Disebut bahwa selepas dua hari menjabat, pemimpin anyar itu langsung menghamburkan harta kas negara. Ia membangun lapangan bola dekat Istana Al-Manshur. (Tarikhul Khulafa’, [Riyadh: Maktabah Nazar, 2004], halaman 219).
Tidak hanya itu, Khalifah Al-Amin memiliki kegemaran hedonis yang lebih gila lagi. Sang khalifah memiliki hobi mengoleksi hewan-hewan buas. Kemudian membangun sekitar lima kapal khusus untuk mengangkut hewan-hewan koleksinya seperti singa, gajah, elang, ular, dan kuda. Kapal-kapal tersebut dilengkapi perkakas mirip busur untuk anak panah api yang difungsikan sebagai tambatan bagi hewan-hewan yang dikoleksinya. (Tarikh Al-Khulafa’, halaman 222).
Pada akhirnya, perilaku dan keputusannya menyebabkan negara berada dalam ketidakstabilan. Selain itu, ketiadaan kompetensi Khalifah Al-Amin juga menyebabkan konflik yang terus menerus. Singkat cerita, akhir dari karier kepemimpinannya adalah anak buah dari Thahir Al-Husein yang menjadi bawahan Al-Makmun memenggal kepala raja hedonis itu. (Tarikh Al-Khulafa’, hal 221)
Perilaku boros seorang pejabat maupun penguasa akan menjadi suatu musibah bagi suatu negeri. Akan tetapi kondisi tersebut berbanding terbalik ketika suatu negeri dijalankan oleh pemimpin yang memiliki karakter low profile, tidak hobi menghamburkan harta simpanan negara secara cuma-cuma.
Contoh ideal dari gambaran seorang pemimpin yang tidak boros dalam menggunakan kas negara muncul dari imperium yang sama (Daulah Abbasiyah). Dia adalah Abu Ja'far Abdullah bin Muhammad yang dikenal sebagai Khalifah Al-Mansur.
Al-Ghazali memuji sang Khalifah kedua Bani Abbasiyah sebagai pemimpin yang ideal. Kehidupan Al-Mansur jauh dari kemewahan dan kesenangan dunia. Dalam kesehariannya, Al-Mansur memimpin negeri dengan pakaian yang sederhana. Dia melarang para pejabat untuk membangun bangunan-bangunan mewah. Selain itu, dia fokus pada urusan negara dan agama. Begitulah gambaran pemimpin yang ideal. (Fadha'ih Batiniyah, [Kuwait: Darul Kutub Ats-Tsqafiyah, 1964], halaman 187).
Setelah pemaparan yang cukup panjang di atas, kita dapat simpulkan bahwa perilaku boros pejabat merupakan perilaku yang tidak etis dalam pandangan Islam, maupun etika bernegara. Kebiasaan boros dalam menggunakan anggaran akan mengacaukan tata kelola kas negara. Sehingga, menjauhi kebiasaan hedonis tersebut adalah kewajiban. Wallahu A’lam
Ustadz Shofi Mustajibullah, Alumni Az-Zahirul Falah Ploso dan Mahasantri Pesantren Kampus Ainul Yaqin UNISMA
Terpopuler
1
Pramoedya Ananta Toer, Ayahnya, dan NU Blora
2
Khutbah Jumat: Cara Meraih Ketenangan Hidup
3
Munas NU 2025 Putuskan 3 Hal tentang Penyembelihan dan Distribusi Dam Haji Tamattu
4
Gus Baha: Jangan Berkecil Hati Jadi Umat Islam Indonesia
5
Khutbah Jumat: Etika Saat Melihat Orang yang Terkena Musibah
6
Munas NU 2025: Hukum Kekerasan di Lembaga Pendidikan adalah Haram
Terkini
Lihat Semua