Etika Pejabat Publik dalam Kajian Hadits: Kompetensi, Keadilan, dan Integritas
Kamis, 18 Juli 2024 | 05:00 WIB
Amien Nurhakim
Penulis
Melihat sebagian sahabat diangkat menjadi pimpinan perang, mengelola anak yatim, diberi tugas memimpin wilayah tertentu, salah seorang sahabat yang bernama Abu Dzar al-Ghifari bertanya kepada Nabi saw, “Mengapa engkau tidak mempekerjakan aku, wahai Rasul?”
“Abu Dzar, sesunggunya kamu adalah orang yang lemah, sedangkan jabatan adalah amanah. Sungguh pada hari kiamat, jabatan akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil dengan hak dan menunaikan kewajiban yang ada pada jabatan tersebut”, tegas Nabi saw.
Di lain kesempatan Nabi saw menasihati Abu Dzar, “Wahai Abu Dzar, aku melihatmu sebagai sosok yang lemah dan aku mencintaimu sebagaimana aku mencintai diriku sendiri. Janganlah kamu memimpin dua orang dan janganlah kamu mengurus harta anak yatim.”
Abu Dzar sendiri bagi Nabi saw merupakan salah seorang sahabat dekat di antara beberapa sahabat lainnya. Nabi saw mengenal betul bagaimana karakter Abu Dzar sehingga tidak sembarang menunjuknya sebagai pemimpin.
Nabi saw memandang Abu Dzar sebagai orang yang saleh, taat terhadap ajaran agama, tidak kuat melihat kondisi tidak ideal yang terjadi di tengah masyarakat, sehingga ia berpotensi untuk memojokkan diri dari orang-orang.
Karakter individu seperti ini memang bagus menurut Nabi saw, hanya saja dalam konteks menjadi pemimpin atau mengelola kepemilikan umum yang bersangkutan dengan ragam individu tentu tidak akan mudah bagi Abu Dzar sehingga Nabi saw melarangnya (‘Abdul Hamid bin Badis, Asy-Syihab, [Beirut: Darul Ghrabil Islami, 1936], jilid XI, halaman 149).
Hal penting juga terkait pemaknaan “lemah” dalam hadits di atas bukan berarti Abu Dzar merupakan sosok yang lemah secara lahir maupun batin. Hanya saja, maknanya lebih diarahkan kepada Abu Dzar yang tidak memiliki kelayakan untuk memegang jabatan.
Dengan penolakan Nabi saw terhadap permintaan Abu Dzar, kita dapat memahami bahwa beliau bukan sosok yang sembarang dalam menunjuk seseorang untuk menjadi pemimpin. Bagi Nabi saw, pejabat harus memiliki kelayakan dan kompetensi yang berkaitan dengan tupoksi kerjanya.
Kriteria Ideal Pejabat Publik Menurut Nabi saw
Karena kepemimpinan atau memegang suatu jabatan dalam pandangan Nabi saw tidak mudah, beliau menasihati sahabat-sahabatnya agar jangan sembarangan mengambil jabatan. Ada etika dan moral bagi pejabat publik yang harus dijalankan. Itulah yang disebutnya dalam hadits ‘kecuali siapa pun yang menjalankan kewajibannya dengan benar’ sebagaimana pada hadits berikut:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Dzar dia berkata, saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah Anda menjadikanku sebagai pejabat?’ Abu Dzar berkata, ‘Kemudian beliau menepuk bahuku dengan tangan beliau seraya bersabda:’ “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan haq dan melaksanakan tugas dengan benar.” (HR Muslim).
Berdasarkan hadits di atas, an-Nawawi menjelaskan bahwa Nabi saw menanamkan prinsip penting dalam memegang suatu jabatan, yaitu kompetensi serta sifat yang adil dan proporsional. Siapa pun yang menduduki kursi jabatan tanpa memiliki kualifikasi tersebut maka tinggal menunggu saja pengadilan akhirat yang akan membuatnya menyesal karena menerima jabatan yang tidak seharusnya ia pinta atau terima (An-Nawawi, al-Minhaj Syarah Sahih Muslim bin al-Hajjaj, [Beirut: Dar Ihya at-Turats, 1392], jilid XII, halaman 211).
Paparan di atas menghendaki prinsip utama yang harus dipegang oleh pejabat publik adalah kesadaran apakah mereka memiliki kompetensi yang diperlukan untuk memimpin bidang yang akan dijabatnya atau tidak.
Urgensi Sifat Adil dalam Diri Pejabat Publik
Kepemimpinan adalah tanggung jawab besar dan kompleks, yang memerlukan tidak hanya kemampuan manajerial, tetapi juga integritas moral yang kuat. Salah satu sifat terpenting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah keadilan.
Dalam Islam, keadilan bukan hanya sebuah konsep teoretis, tetapi merupakan kewajiban yang harus ditegakkan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk ketika memimpin sebuah jabatan. Nabi Muhammad saw memberikan perhatian khusus terhadap pentingnya sifat adil dalam diri seorang pemimpin. Beliau bersabda:
إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
Artinya, “Orang-orang yang berlaku adil berada di sisi Allah di atas mimbar (panggung) yang terbuat dari cahaya, di sebelah kanan Ar Rahman 'azza wajalla -sedangkan kedua tangan Allah adalah kanan semua-, yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam melaksanakan tugas yang di bebankan kepada mereka.” (HR Muslim).
Al-Qadhi ‘Iyadh menjelaskan, boleh jadi makna di atas mimbar adalah tekstual sebagaimana adanya, atau mungkin juga maknanya kiasan dari sebuah kedudukan yang tinggi di akhirat kelak. Cakupan adil di sini juga merujuk kepada beberapa jenis kepemimpinan, baik dalam keluarga, kenegaraan, pengelolaan harta anak yatim, dan lain semacamnya. (An-Nawawi, al-Minhaj Syarah Sahih Muslim bin al-Hajjaj, jilid XVI, halaman 216).
Ketidakadilan menyebabkan kebijakan seorang pejabat publik tidak konsisten. Boleh jadi ada pihak-pihak yang diuntungkan dan dirugikan atas dasar kehendak pribadi saja, bukan atas dasar profesionalisme. Ketidakadilan juga akan membuat masyarakat susah karena kebijakan yang menguntungkan dialihkan kepada kelompok yang satu suara saja dengannya. Nabi saw bersabda:
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ حَرْمَلَةَ الْمِصْرِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ
Artinya, “Ya Allah, siapa yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan ummatku lalu dia mempersulit urusan mereka, maka persulitlah dia. Dan siapa yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan ummatku lalu dia berusaha menolong mereka, maka tolong pulalah dia.” (HR Muslim).
Integritas: Sikap Wajib bagi Pejabat Publik
Sikap integritas dan bebas dari korupsi merupakan fondasi penting dalam membangun masyarakat yang adil dan berkeadilan. Integritas, yang mencakup kejujuran, konsistensi, dan ketulusan dalam tindakan, menjadi kunci utama dalam menciptakan lingkungan yang transparan dan dapat dipercaya.
Ketika individu dan institusi memegang teguh prinsip ini maka akan tercipta peluang yang sama bagi semua lapisan masyarakat. Korupsi, yang seringkali merusak tatanan sosial dan ekonomi, hanya dapat diberantas melalui komitmen bersama untuk menegakkan nilai-nilai integritas dalam setiap aspek kehidupan.
Dalam konteks Islam, Rasulullah saw sangat membenci tindak kecurangan, terlebih jika dilakukan oleh pejabat publik. Rasulullah saw bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Artinya, “Tidaklah seorang hamba yang diberikan tanggungjawab oleh Allah sebagai pemimpin lalu ia meninggal dunia pada hari yang telah ditetapkan dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga untuknya.” (HR. Ad-Darimi).
An-Nawawi menjelaskan bahwa hadits di atas tertuju pada orang-orang yang sedang menjabat kemudian melakukan penipuan, entah korupsi dan sebagainya. Selain itu, hadits di atas juga berlaku bagi siapa saja yang menghalalkan tindakan penipuan. (An-Nawawi, al-Minhaj Syarah Sahih Muslim bin al-Hajjaj, jilid XVI, halaman 216).
Kesimpulannya, prinsip etika pejabat publik yang ideal menurut pandangan Nabi Muhammad menekankan pentingnya kompetensi, keadilan, dan integritas moral. Nabi sangat berhati-hati dalam menunjuk seseorang untuk menduduki jabatan, dengan mempertimbangkan kelayakan dan kemampuan individu tersebut. Pejabat yang tidak memiliki kemampuan manajerial, sifat keadilan dan integritas yang kuat akan menghadapi penyesalan di akhirat kelak.
Etika Pejabat Publik dalam Konteks Indonesia
Sebagai negara demokrasi yang berkembang, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memastikan bahwa para pemimpin dan pejabatnya menjalankan tugas dengan integritas, transparansi, dan tanggung jawab.
Etika pejabat publik bukan hanya soal kepatuhan terhadap hukum, tetapi juga mencakup nilai-nilai moral dan profesional yang harus dijunjung tinggi untuk membangun kepercayaan publik. Di negeri yang beragam seperti Indonesia, di mana masyarakat sangat mengharapkan adanya kepemimpinan yang bersih dan berwibawa, implementasi etika yang kuat dalam pemerintahan menjadi kunci utama dalam mewujudkan tata kelola yang baik serta memperkuat demokrasi.
Mengacu kepada Kode Etik Aparatur Sipil Negara, dalam menjalankan tugasnya, seorang pegawai publik harus memegang teguh prinsip kejujuran, tanggung jawab, dan integritas tinggi. Mereka harus melaksanakan tugas dengan cermat dan disiplin, serta melayani masyarakat dengan sikap hormat, sopan, dan tanpa tekanan.
Setiap tindakan yang dilakukan harus sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, serta mengikuti perintah atasan atau pejabat berwenang sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika pemerintahan.
Selain itu, penting bagi pegawai publik untuk menjaga kerahasiaan yang menyangkut kebijakan negara dan menggunakan fasilitas serta barang milik negara secara bertanggung jawab, efektif, dan efisien.
Pegawai publik juga harus berkomitmen untuk menghindari konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya. Mereka harus memberikan informasi yang benar dan tidak menyesatkan pihak yang memerlukan informasi terkait kepentingan kedinasan (Haeli, Etika Publik, [Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2018], halaman 6).
Kesimpulannya, sikap integritas dan bebas dari korupsi adalah fondasi utama dalam etika pejabat publik yang harus dipraktikkan. Prinsip-prinsip seperti kejujuran, konsistensi, dan ketulusan dalam tindakan menjadi kunci dalam menciptakan lingkungan yang transparan dan dapat dipercaya.
Dalam Islam, pentingnya integritas, kompetensi, keadilan, dan integritas moral yang kuat sangat ditekankan, terutama bagi pejabat publik yang memiliki tanggung jawab besar terhadap masyarakat. Wallahu a’lam.
Ustadz Amien Nurhakim, Penulis Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ
Terpopuler
1
Doa Qunut pada Witir Ramadhan, Lengkap dengan Latin dan Artinya
2
Khutbah Jumat: Nuzulul Qur’an dan Anjuran Memperbanyak Tadarus
3
PBNU Adakan Mudik Gratis Lebaran 2025, Berangkat 25 Maret dan Ada 39 Bus
4
Khutbah Jumat: Pengaruh Al-Qur’an dalam Kehidupan Manusia
5
Menemukan Uang di Jalan: Boleh Dipakai atau Wajib Dikembalikan? Temukan Jawabannya!
6
Kultum Ramadhan: Nuzulul Qur'an, Momen Mengenal Keagungan Al-Qur'an
Terkini
Lihat Semua