Syariah

Membuka Aib Calon Pejabat Apakah Termasuk Ghibah?

Rab, 31 Januari 2024 | 19:00 WIB

Membuka Aib Calon Pejabat Apakah Termasuk Ghibah?

Ilustrasi: Politik - pemilu (NU Online)

Memasuki tahun-tahun politik, sudah sewajarnya bagi calon pejabat publik melakukan kampanye untuk mempromosikan dirinya demi memperoleh suara rakyat. Akan tetapi, bentuk kampanye yang disampaikan kadang tidak selalu berupa narasi positif terkait si calon, melainkan terdapat pula strategi kampanye yang membuka keburukan calon yang lain atau biasa disebut dengan kampanye negatif.
 

Pertanyaannya, bolehkah kampanye negatif tersebut dilakukan? Padahal membuka keburukan seseorang termasuk perbuatan ghibah yang diharamkan oleh Islam.
 

Definisi dari ghibah atau menggunjing adalah menyebutkan keburukan-keburukan yang benar-benar ada pada seseorang di belakangnya. Jika keburukan-keburukan itu tidak benar maka disebut kebohongan. Jika dilakukan di depan orangnya maka disebut sebagai celaan. (Al-Jurjani, Kitabut Ta’rifat, [Kairo, Darul Fadhilah: 2011], halaman 137).


Tak ayal, permasalahan ini menimbulkan dilema tersendiri. Pasalnya ghibah merupakan perbuatan yang hukumannya tak bisa dibilang ringan.
 

Beratnya ucapan ghibah tergambar dari teguran Nabi Muhammad saw kepada ‘Aisyah tatkala beliau menyifati salah satu istri Nabi, Shafiyyah binti Huyai, sebagai orang bertubuh pendek. Mendengar ucapan itu Rasulullah saw bersabda:
 

لَقَدْ قُلْتِ كلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ البَحْرِ لَمَزَجَتْهُ


Artinya, “Sungguh engkau telah mengucapkan perkataan yang apabila dicampurkan dengan air laut maka perkataan itu akan mengubahnya (karena busuknya perkataan tersebut).” (HR. Abu Dawud).


Namun di sisi lain, rakyat perlu mengetahui sifat-sifat buruk calon pejabat yang akan mengurusi masalah-masalah publik. Rakyat pastinya tidak mau memilih seseorang yang terlihat baik di depan, tetapi menyimpan aib-aib yang akan menyengsarakan mereka.
 

Maka untuk mengatasi masalah ini, para ulama memberi beberapa pengecualian yang membolehkan kita membuka keburukan orang lain. Kebolehan ini didasarkan pada kemaslahatan dalam pandangan syariat yang tidak bisa dicapai tanpa mengungkap keburukan orang tertentu.

 

Adapun mengungkap aib calon pejabat publik diperbolehkan jika memenuhi tiga kriteria.
 

Pertama, mengungkap aib seseorang diperkenankan jika dimaksudkan untuk memperingatkan dan menasihati kaum muslimin dari suatu keburukan. Hal ini sebagaimana nasihat Rasulullah saw kepada Fatimah binti Qais tentang dua laki-laki yang melamarnya.
 

وعنْ فَاطِمةَ بنْتِ قَيْسٍ رَضِيَ اللَّه عَنْها قَالَتْ: أَتيْتُ النبيَّ ﷺ، فقُلْتُ: إنَّ أَبَا الجَهْمِ ومُعاوِيةَ خَطباني؟ فَقَالَ رسُولُ اللَّهِ ﷺ: أمَّا مُعَاوِيةُ، فَصُعْلُوكٌ لاَ مالَ لَهُ، وأمَّا أَبُو الجَهْمِ فَلاَ يضَعُ العَصَا عنْ عاتِقِهِ

 

Artinya: “Dari Fatimah binti Qais ra berkata: aku mendatangi Nabi saw kemudian aku berkata: sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah melamarku. Lalu Rasulullah saw bersabda: Mu’awiyah adalah orang miskin yang tak punya harta, adapun Abul Jahmi suka memukul perempuan” (Muttafaq ‘Alaih).
 

Dalam hadits tersebut terlihat jelas bahwa Rasulullah saw menyebutkan aib Mu’awiyah dan Abul Jahmi di belakang mereka. Akan tetapi, hal ini disampaikan Rasulullah saw sebagai nasihat untuk pertimbangan Fatimah dalam memilih calon suaminya.
 

Berangkat dari kasus di atas, jika menerangkan keburukan orang lain untuk kebaikan rumah tangga satu orang saja diperbolehkan, apalagi mengungkap keburukan calon pejabat demi kemaslahatan rakyat secara luas.
 

Kedua, selain mengandung unsur nasihat, membuka aib calon pejabat juga harus didasarkan pada informasi yang relevan. Relevan dalam arti keburukan yang dibuka merupakan sesuatu yang berkaitan dengan kapasitasnya sebagai pejabat publik, bukan aib-aib pribadinya. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Al-Qarafi:
 

وَيُشْتَرَطُ فِي هَذَا القِسْمِ أَنْ تَكُونَ الْحَاجَةُ مَاسَّةً لِذَلِكَ وَأَنْ يُقْتَصَرَ النَّاصِحُ مِنَ الْعُيُوبِ عَلَى مَا يُخِلُّ بِتِلْكَ المَصْلَحَةِ خَاصَّةً الَّتِي حَصَلَتْ المُشَاوَرَةُ فِيهَا


Artinya, “Dan disyaratkan dalam bagian ini (mengungkap aib sebagai nasihat) adanya kebutuhan yang mendesak serta penasihat mencukupkan pada aib-aib yang merusak kemashlahatan khusus yang dimusyawarahkan.” (Al-Qarafi, Anwarul Buruq fi Anwa’il Furuq, [Beirut, Darul Kutubil Ilmiyyah: 1998], juz IV, halaman 359).
 

Sebagai contoh, kita boleh saja membeberkan keburukan-keburukan si calon terkait kinerjanya yang buruk, pernah korupsi, atau kebijakan-kebijakan masa lalunya yang merugikan masyarakat. Akan tetapi, kita dilarang mengungkapkan hal-hal yang tak ada kaitannya dengan kinerja, seperti si calon itu adalah anak zina atau anaknya adalah tukang maksiat dan semisalnya.
 

Ketiga yang paling penting, halalnya membuka aib calon pejabat publik mensyaratkan kebenaran informasi yang pasti. Ini berarti tidak dibenarkan menyebarkan keburukan-keburukan si calon yang masih berupa kabar burung dan simpang siur belaka:
 

وَكُلُّ إِنْسَانٍ فِى وَقْتِ الْاِنْتِخَابَاتِ وَفِى غَيْرِ الْاِنْتِخَابَاتِ يَسْتَطِيعُ طَبْقًا لِلشَّرِيعَةِ أَنْ يَقُوْلَ لِلْمُحْسِنِ هَذَا مُحْسِنٌ وَلِلْمُسِىءِ هَذَا مُسِىءٌ مَا دَامَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يُثْبِتَ إِسَاءَةَ الْمُسِىءِ

 

Artinya, “Setiap orang, baik di masa pemilu ataupun bukan, sesuai dengan syariat bisa mengatakan bagi pejabat (atau calon) yang baik, ‘ini adalah orang baik’, dan bagi pejabat (atau calon) yang buruk, ‘ini adalah orang buruk’, selama dia mampu memastikan keburukan calon tersebut.” (Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ul Jina’iyyul Islami, [Beirut, Darul Katibil ‘Azaly: 2008], juz II, halaman 459).
 

Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa mengungkap aib calon pejabat publik melalui kampanye negatif kepada khalayak diperbolehkan selama memenuhi unsur nasihat, informasinya relevan, dan dapat dipastikan kebenarannya.
 

Adapun beberapa narasi di media sosial yang kerap kali membongkar aib-aib keluarga calon atau belum pasti validitasnya, maka hal tersebut tidak bisa dibenarkan oleh syariat karena masuk ke dalam kategori ghibah yang diharamkan sekaligus potensi fitnah dan kebohongan.

 

Untuk diketahui, tulisan ini disarikan dari Keputusan Bahtsul Masail KubroKe-5 Pondok Pesantren Attaujieh Al-Islamy Banyumas, 13-15 Oktober 2023. Hadir sebagai Musahih: KH Dzakiyul Fuad Hisyam, KH Zuhrul Anam Hisyam, KH Muwafaqqudin, dan lain-lain.

 

Ustadz Zainun Hisyam, Pengajar di Pondok Pesantren Attaujieh Al-Islamy Banyumas