Muhammad Ibnu Sahroji
Kolomnis
Salah satu sifat alamiah yang ada dalam diri manusia adalah marah. Dalam Bahasa Arab, marah merupakan terjemahan dari kata ghadlab yang bisa diartikan sebagai benci (sukhth), tidak meridlai sesuatu, menggigit (‘adldla), muram (‘abus), dan membengkak. Demikian sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Mandzur dalam Lisan al-Arab, (Kairo: Dar al-Taufiqiyyah li al-Turats, 2009), juz II, hal. 648-651.
Adapun arti marah menurut Istilah, Ali ibn Muhammad al-Jurjani dalam kitab At-Ta’rifat mendefinisikannya sebagai berikut:
الغضب: تغير يحصل عند غليان دم القلب؛ ليحصل عنه التشفي للصدر
Baca Juga
Kenapa Anak Muda Gampang Marah?
Artinya: “Marah ialah perubahan yang terjadi ketika darah jantung mendidih, untuk menghasilkan kesembuhan pada dada”. (Ali ibn Muhammad al-Jurjani, Al-Ta’rifat [Kairo: Dar al-Kutub, 1983], hal. 62)
Dengan kata lain, seseorang berada dalam kondisi marah ketika terjadi perubahan emosi dalam dirinya yang dibawa oleh kekuatan dan rasa dendam demi menghilangkan gemuruh di dalam dada.
Sementara itu, Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menjelaskan hakikat marah sebagai berikut:
فإن الْغَضَبَ شُعْلَةُ نَارٍ اقْتُبِسَتْ مِنْ نَارِ اللَّهِ الموقدة التي تطلع على الْأَفْئِدَةَ وَإِنَّهَا لَمُسْتَكِنَّةٌ فِي طَيِّ الْفُؤَادِ اسْتِكْنَانَ الجمر تحت الرماد ويستخرجه الْكِبْرُ الدَّفِينُ فِي قَلْبِ كُلِّ جَبَّارٍ عَنِيدٍ كَاسْتِخْرَاجِ الْحَجَرِ النَّارَ مِنَ الْحَدِيدِ وَقَدِ انْكَشَفَ لِلنَّاظِرِينَ بِنُورِ الْيَقِينِ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَنْزِعُ مِنْهُ عِرْقٌ إِلَى الشَّيْطَانِ اللَّعِينِ فَمَنِ اسْتَفَزَّتْهُ نَارُ الْغَضَبِ فَقَدْ قَوِيَتْ فِيهِ قَرَابَةُ الشَّيْطَانِ حَيْثُ قَالَ }خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ {فَإِنَّ شَأْنَ الطِّينِ السُّكُونُ وَالْوَقَارُ وَشَأْنَ النَّارِ التَّلَظِّي وَالِاسْتِعَارُ وَالْحَرَكَةُ وَالِاضْطِرَابُ
Artinya: “Sesungguhnya marah adalah nyala api yang diambil dari api neraka Allah yang dinyalakan, kemudian naik ke hati. Sesungguhnya marah itu bertempat di lipatan hati, seperti bertempatnya bara api di bawah tungku yang berabu. Juga, marah itu dikeluarkan oleh kesombongan yang tertanam dalam hati setiap orang yang perkasa lagi keras kepala seperti mengeluarkannya batu akan api dari besi. Bagi orang-orang yang memandang dengan cahaya keyakinan, telah tersingkap bahwa manusia itu ditarik urat darahnya kepada setan yang terkutuk. Siapa saja yang dikobarkan oleh api kemarahan, maka telah kuat padanya berdekatan dengan setan, di mana setan berkata: “Engkau ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan ia (Adam As.) dari tanah”. (QS. Al-A’raf: 12). Sesungguhnya keadaan tanah adalah tenang dan berwibawa sementara keadaan api adalah menyala-nyala, mencari, bergerak dan bergoncang”. (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin [Beirut: Dar al-Ma’rifat, tt] juz III, hal. 64)
Keadaan marah sebagaimana yang digambarkan oleh Imam al-Ghazali di atas, dalam Al-Qur’an sering diistilahkan secara spesifik sebagai nafs ‘amarah. Hal ini sebagaimana tergambar dalam surat Yusuf ayat 53:
وَمَآ أُبَرِّئُ نَفْسِىٓ ۚ إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ ۚ إِنَّ رَبِّى غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Dalam literatur hadits, terdapat banyak sekali keterangan yang menyebutkan tentang bahaya marah. Di antara yang paling terkenal ialah peristiwa ketika ada seorang lelaki yang meminta wasiat kepada Rasulullah. Rasulullah kemudian bersabda: “Janganlah engkau marah!” sebanyak tiga kali.
Namun demikian, tidak semua marah dinyatakan tercela. Marah dibolehkan jika kemarahan itu diarahkan sesuai dengan proporsinya, maka justru hal tersebut menjadi sebuah kebaikan. Imam Syafi’i mengatakan sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin:
قال الشافعي رحمه الله من استغضب فلم يغضب فهو حمار فمن فقد قوة الغضب والحمية أصلاً فهو ناقص جداً وَقَدْ وَصَفَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشِّدَّةِ وَالْحَمِيَّةِ فَقَالَ }أَشِدَّاءُ على الكفار رحماء بينهم {و قَالَ لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ }جَاهِدِ الكفار والمنافقين واغلظ عليهم { الآية وَإِنَّمَا الْغِلْظَةُ وَالشِّدَّةُ مِنْ آثَارِ قُوَّةِ الْحَمِيَّةِ وَهُوَ الْغَضَبُ
Artinya: “Berkata Imam Syafi’i Ra.: Siapa saja yang dibuat marah, lalu ia tidak marah, maka ia adalah keledai. Siapa saja yang tidak mempunyai kekuatan marah dan kesombongan sama sekali, maka ia adalah sangat kurang. Padahal Allah Swt. berfirman: “Adalah tegas terhadap orang-orang kafir, dan berkasih sayang dengan sesama mereka” (QS. Al-Fath: 29). Allah juga berfirman kepada Nabi-Nya: “Perangilah orang-orang kafir, dan orang-orang munafik, serta bersikap tegaslah terhadap mereka, dan tempat mereka adalah neraka jahanam. Itulah seburuk-buruknya tempat kembali”. (QS. Al-Taubah: 73). Sesungguhnya keras dan kasar termasuk salah satu di antara pengaruh kekuatan semangat. Dan, itulah marah”. (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin..., juz III, hal. 64)
Imam Al-Ghazali juga menambahkan bahwa marah yang tidak dibolehkan ialah marah yang masuk dalam kategori ifrath atau berlebihan:
وَأَمَّا الْإِفْرَاطُ فَهُوَ أَنْ تَغْلِبَ هَذِهِ الصِّفَةُ حَتَّى تَخْرُجَ عَنْ سِيَاسَةِ الْعَقْلِ والدين وطاعته ولا يبقى للمرء معها بصيرة ونظر وَفِكْرَةٌ وَلَا اخْتِيَارٌ بَلْ يَصِيرُ فِي صُورَةِ المضطر
Artinya: “Adapun berlebihan, ialah apabila sifat (marah) ini menjadi pemenang, sehingga keluar dari kebijaksanaan akal, agama dan ketaatan. Dan tidak tersisa baginya penglihatan hati, pertimbangan dan pemikiran, serta pilihan. Ia bahkan menjadi orang yang dipaksa (oleh kemarahannya)”.
Dari keterangan di atas, bisa kita pahami bahwa marah adalah sifat alamiah seorang manusia. Islam secara umum melarang kita untuk mengikuti kemarahan tersebut. Namun, dalam hal-hal tertentu seperti sikap kita menghadapi masalah kemungkaran dan akidah, maka kita diperbolehkan menunjukkan kemarahan itu. Bentuk marah yang sama sekali tidak diperkenankan dalam Islam ialah marah yang berlebihan, karena memang pada dasarnya Islam melarang segala sesuatu yang berlebihan. Wallahu a’lam.
Dr Muhammad Ibnu Sahroji atau Ustadz Gaes.
Terpopuler
1
Pengurus JATMAN 2025-2030 Terima SK Kepengurusan dari PBNU
2
Hukum dan Tata Cara Shalat Sunnah pada Malam Nisfu Syaban
3
Arifatul Choiri Fauzi Pimpin PP Muslimat NU Periode 2025-2030
4
Profil Arifatul Choiri Fauzi, Nakhoda Baru PP Muslimat NU 2025-2030
5
4 Ragam Membaca Yasin pada Malam Nisfu Sya'ban
6
Khutbah Jumat: Beramallah, Rezeki Kita akan Berkah dan Bertambah
Terkini
Lihat Semua