Tasawuf/Akhlak

Hakikat dan Puncak Tertinggi Keikhlasan

Rab, 17 November 2021 | 09:30 WIB

Hakikat dan Puncak Tertinggi Keikhlasan

Yang paling paham diri kita ikhlas atau tidak adalah diri kita sendiri, bukan orang lain. Mereka tidak berhak mengklaim apa-apa dalam urusan ini.

Bulan September lalu, di salah satu kedai kopi di Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, saya bersama seorang sahabat karib asal Madura sempat berbincang serius soal ikhlas. Diskusi itu berawal dari kisahnya yang kerap kali menemukan orang-orang yang mengumbar tuduhan ‘tidak ikhlas’ kepada sesama. Tuduhan demi tuduhan itu pun keluar tanpa landasan yang jelas, hanya berdasarkan sikap lahir yang tampak dari orang yang dituduhnya.

 

Hal semacam ini tampaknya memang sepele, namun bila diusut lebih dalam sebenarnya tidak. Mental “berbuat baik” yang kita miliki bisa saja rapuh dengan mudah hanya karena dituding tidak ikhlas berulang kali. Redaksi yang dipakai cukup tajam dan beragam; kadang kala menggunakan kalimat jelas, kadang juga sindiran. Coba renungkan, hanya karena kita bercerita bahwa pernah bersedekah kepada si A, lalu mereka seenaknya mengatakan, “Kamu nggak ikhlas”. Sering juga sambil memasang muka “acuh tak acuh” mengatakan, “Lho, hati-hati, sedekahnya bisa sia-sia,” Cibirnya seolah menasihati.

 

Dalam kesempatan diskusi itu saya bilang, “Sebagaimana seseorang tidak dapat dinilai ikhlas hanya dengan mengatakan ‘saya ikhlas’, maka juga tidak dapat dinilai tidak ikhlas hanya karena ia menceritakan kebaikannya.” Kenapa? Karena ikhlas itu urusan hati yang tak dapat diketahui secara pasti. Walaupun ada indikasi lahiriahnya. Perkara Nabi kita mengajarkan bahwa jika tangan kanan berbuat baik, maka yang kiri tidak boleh tahu, itu urusan lain. Konteksnya, saat itu Nabi sedang mewanti-wanti umatnya agar tidak riya dan sumah, bukan dalil kebolehan menghakimi seseorang.

 

Agar dapat memahami ikhlas secara utuh, mari kita kaji apa hakikat dan puncak tertinggi sebuah keikhlasan.

 

Hakikat Ikhlas

Imam Abdullah bin Dhaifillah ar-Rahili dalam karyanya Thariquka ila al-Ikhlash wa al-Fiqh fi ad-Din (hal. 13) mengatakan:

 

وحقيقة الإخلاص صدقٌ في النيَّة والقول والعمل، فيما يتعلق بحقوق الله تعالى، وفيما يتعلق بحقوق المخلوقين

 

Artinya, “Ikhlas yang sebenarnya adalah ketika niat yang tulus sejalan dengan ucapan dan perbuatan, baik amal yang kaitannya dengan relasi horizontal (hablum minallah) maupun vertikal (hablum minannas).”

 

Dari apa yang dikatakan ar-Rahili ini, semakin tegas bahwa ikhlas sangat erat hubungannya dengan hati. Hati yang sedang dalam titik fokus menghadap kepada Allah semata, murni hanya mencari perhatian Tuhannya, tidak yang lain. Lebih jelas mengenai hakikat ikhlas, baik kiranya kita mengutip Abu Bakr Muhammad bin Ishaq al-Kalabadzi (w. 380 H) dalam at-Ta’arruf li Madzhabi Ahli at-Tashawwuf (hal. 117). Di sana, ia mengutip kalam Abu Ayyub as-Susi yang berbunyi:

 

الخالص من الأعمال ما لم يعلم به ملك فيكتبه، ولا عدو فيفسده، ولا النفس فتعجب به

 

Artinya, “Amal yang tulus adalah amal yang dilakukan (dengan benar) tanpa pernah berpikir sedikit pun tentang catatan baiknya, juga tak terbersit akan ada orang lalim yang akan menghalanginya, begitu pun juga orang yang tekjub bangga olehnya.”

 

Karena itu, barangkali kita bisa mulai introspeksi diri (muhasabatun nafsi) bagaimana kondisi batin kita dalam setiap laku bajik yang pernah atau sedang dilakukan. Dan, mencoba memperbaikinya untuk hal baik berikutnya.

 

 

Puncak Tertinggi Keikhlasan

Masih dalam kitab Thariquka ila al-Ikhlash wa al-Fiqh fi ad-Din (hal. 15), Imam Abdullah menghimpun dua puncak tertinggi sebuah keikhlasan. Rinciannya akan kami sajikan sebaik mungkin:

 

Pertama, mampu mengamalkan ajaran dua kalimat syahadat—yang kita yakini dan sering diucapkan itu—dengan penuh ketulusan. Kalimat pertama, asyhadu alla ilaha illallah mengajarkan bahwa setiap ketaatan, sembah, dan laku bajik yang kita lakukan—tak hanya kepada sesama manusia, tapi juga seluruh makhluk Tuhan—merupakan bentuk penghambaan yang kita persembahkan hanya untuk Allah subhanahu wa ta’ala.

 

Adapun kalimat kedua, wa asyhadu anna Muhammad(an) rasulullah mengajarkan, di setiap jejak ketaatan yang kita ukir di persada ini adalah upaya mensyukuri kehadiran Nabi yang telah diutus sebagai rasul pembawa kebenaran dan kedamaian. Tanpanya, sejarah umat manusia takkan berhasil menapaki jalan kedamaian; anak-anak takkan kenal bakti pada orang tuanya, darah dan nyawa menjadi tak berharga, dan api egoisme akan terus berkobar selamanya. Tanpa Nabi, kita akan hidup dalam gelimang amoral berkepanjangan.

 

Kedua, menghimpun dan mengoherensi tiga pilar dalam diri manusia-baik dalam statusnya sebagai makhluk sosial maupun individual—yaitu (1) tekad, (2) ucapan, dan (3) perbuatan, agar tidak keluar dari rel ketulusan. Jangan sampai laku dan ucapan seolah murni untuk Tuhan, tetapi hati malah menginginkan ketenaran dan pujian dari para makhluk-Nya.

 

Kembali ke awal, setelah mengetahui apa hakikat dan puncak keikhlasan, lalu bagaimanakah tanggapan agama ihwal klaim atau judge ‘tidak ikhlas’ yang kerap diucapkan secara serampangan dan tak bertanggung jawab itu. Baginda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

 

سألت جبريل عليه السلام عن الإخلاص، ما هو؟ فقال جبريل عليه السلام: سألت رب العزة تبارك وتعالى عن الإخلاص، ما هو؟ فقال رب العزة تبارك وتعالى : الإخلاص سر من سري أودعته قلب من أحببت من عبادي.

 

Artinya, “Nabi bertanya kepada malaikat Jibril tentang ikhlas. ‘Apakah ikhlas itu?’ Jibril menjawab, 'Aku telah menanyakan hal itu kepada Tuhan semesta. Dia menjawab, ‘Ikhlas adalah salah satu rahasiaku yang aku tempatkan dalam hati hamba-hambaku yang aku cintai’.” (ar-Risalah al-Qusyairiyah karya Abdul Karim bin Hawazan bin Abdul Malik al-Qusyari (juz 2, hal. 360))

 

Maknanya, Nabi sang kinasih ilahi saja tidak diberi tahu apa dan bagaimana ikhlas tersebut. Kemudian, siapakah kita dibanding Nabi? Mengapa begitu angkuh men-judge orang lain tidak ikhlas. Ikhlas itu urusan Tuhan, bukan kita orang-orang lemah tak berdaya.

 

Persoalan selanjutnya, ketika ikhlas menjadi hak prerogatif Tuhan, bagaimana kita mengerti diri kita sudah ikhlas atau tidak? Imam al-Qusyari dalam ar-Risalah al-Qusyairiyah mengutip Dzunnun al-Mishri (w. 859 H)-seorang pakar fiqh dan hadist kelahiran Mesir, ia juga dikenal sebagai seorang mistikus (shufi) dan asketis (waliy(un) min auliya’illah)-mengatakan:

 

ثلاث من علامات الإخلاص: إستواء المدح والذم من العامة ونسيان رؤية العمل في الأعمال ونسيان انقضاء ثواب العمل في الآخرة

 

“Terdapat tiga tanda keikhlasan seseorang; yaitu (1) ketika ia menganggap pujian dan celaan orang sama saja, (2) ketika ia melupakan pekerjaan baiknya kepada orang lain, dan (3) ketika ia lupa akan hak amal baiknya berupa pahala di akhirat. (ar-Risalah al-Qusyairiyah karya Abdul Karim bin Hawazan bin Abdul Malik al-Qusyari (juz 2, hal. 360))

 

Kita memang tidak tahu-menahu ihwal ikhlas dan siapa para mukhlis itu, tetapi perihal tersebut dapat dipahami melalui tanda-tandanya. Jadi, yang paling paham diri kita ikhlas atau tidak adalah diri kita sendiri, bukan orang lain. Mereka tidak berhak mengklaim apa-apa dalam urusan ini.

 

Semoga bermanfaat, Wallahu a’lam bisshawab.

 

Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur