Tasawuf/Akhlak

Ikhlas Beramal Tak Mesti Berarti Menolak Kompensasi

Sel, 23 November 2021 | 07:00 WIB

Ikhlas Beramal Tak Mesti Berarti Menolak Kompensasi

Tak setiap kompensasi atau imbalan dari kebaikan yang kita lakukan merupakan cermin sikap tidak ikhlas.

Salah kaprah, jika masih memahami bahwa ikhlas selalu bertali kelindan dengan menolak kompensasi. Sungguh salah besar. Itu seperti pengertian orang bahwa makan harus selalu dengan tangan telanjang, padahal tidak demikian, bisa menggunakan sarung tangan latex, sendok, sumpit, dan lain-lain. Maknanya, mendapatkan kompensasi dari hal baik yang kita lakukan tidak menjadi konsekuensi dari ketidakikhlasan kita. Karena itu dua hal yang jauh berbeda.

 

Masyarakat awam kita tak sedikit yang gagal paham terkait ini. Misalnya, seusai melakukan aktivitas sosial, membantu tetangga, teman atau yang lain, ada beberapa orang yang enggan menerima kompensasi; entah dalam bentuk uang ataupun natura. Padahal, bisa saja saat itu mereka membutuhkannya. Tapi sayang, sahabat-sahabat kita ini terkungkung budaya ‘malu’, khawatir diduga tak tulus membantu. Mau atau tidak, mereka harus menolak sebisa mungkin. Satu sisi, ini adab yang baik, setidaknya belajar untuk tidak mengharap apa-apa dari orang lain. Sialnya, bila motif penolakan tersebut tidak demikian, tapi karena malu dan takut diduga tak tulus. Rugi dua kali, sudah jatuh malah tertimpa tangga.

 

Imam Abdullah bin Dhaifillah ar-Rohili dalam Thariquka ila al-Ikhlas wa al-Fiqh fi ad-Din (hal. 20-25) menulis panjang ihwal dua contoh yang legal dalam syariat dan masuk pada kajian ini, bahwa ikhlas tak mesti menolak imbalan.

 

Harta Ghanimah: Imbalan Materi untuk para Mujahid

Benar memang, harta ghanimah itu urusan duniawi, tentang harta kekayaan. Tapi juga tidak tepat bila menolak harta ghanimah atas nama keikhlasan berperang. Karena khawatir merusak niat tulusnya menegakkan agama Allah. Sahabat Abu Musa radhiyallahu ’anhu pernah berkisah tentang seorang sahabat yang mengadu kepada baginda Nabi terkait ragam motif para mujahid yang turut serta berperang, memperjuangkan Islam.  Seperti motif untuk dapat ghanimah, ketenaran, dan seterusnya.

 

Berikut redaksinya dalam Thariquka ila al-Ikhlas wa al-Fiqh fi ad-Din (hal. 20):

 

عَنْ أَبِي مُوسَى رضي الله عنه قال: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقال: الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلْمَغْنَمِ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلذِّكْرِ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ؛ فَمَنْ فِي سَبِيلِ اللهِ؟ قال: مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ

 

Artinya, “Abu Musa berkisah, suatu hari seorang laki-laki menghadap Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Ia bermaksud melapor ihwal motif para pejuang medan perang menghadapi musuh-musuh Allah. Ia berkata, ‘Dari sekian pejuang, ada yang berperang untuk mendapat ghanimah, memperoleh popularitas, dan agar orang melihat kecakapannya mengayun pedang. Siapakah di antara mereka yang berjuang di jalan Allah?,” tanyanya serius. Nabi menjawab, “Semuanya di jalan Allah selama mengibarkan panji Allah sebagai tujuan utamanya’,” jawab Nabi tak kalah serius.

 

Di sana, ar-Rohili mengutip seorang mufasir besar abad keempat Hijriah, Muhammad Ibnu Jarir at-Thabari (w. 310 H) yang berbunyi:

 

وبذلك صَرّح الطبري فقال: إذا كان أصل الباعث هو الأول لا يضره ما عَرَض له بعد ذلك

 

Artinya, “At-Thabari berkata, ‘Kalau memang motif utamanya adalah yang pertama (mengibarkan panji Allah), maka tak jadi soal ada niat lain atau tidak’.”

 

Dalam kajian fiqh, ini yang disebut dengan tasyrik an-niyyah (satu kerja banyak niat). Namun, dalam persoalan ini masih ada silang pendapat. Kendati, pendapat imam at-Thabari adalah pendapat ‘centang biru’, paling banyak diikuti.  Silang pendapat ini ditengarai oleh riwayat Abu Umamah—yang berbeda dengan hadits di atas—perihal seorang sahabat yang bertanya pada Nabi:

 

يا رسول الله؛ أرأيت رجلاً غزا يلتمس الأجر والذكر، ما له؟

 

Artinya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pandangan engkau tentang seseorang yang berperang tak hanya mengharap apresiasi ukhrawi, tapi juga popularitas?”

 

Rasulullah menjawab:

 

لا شيء له، فأعادها ثلاثاً، كلُّ ذلك يقول: لا شيء له، ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن الله لا يقبل من العمل إلا ما كان له خالصاً، وابتُغي به وجهه

 

Artinya, “‘Nihil. Tak dapat apa-apa’, kata Nabi. Sampai si penanya tadi mengulangi pertanyaannya tiga kali, namun jawaban Nabi tetap juga sama. Lalu, lanjut bersabda, ‘Sungguh Allah hanya menerima amal yang dilakukan dengan ikhlas, dan mengharap rida-Nya’.” (Thariquka ila al-Ikhlas wa al-Fiqh fi ad-Din, hal. 22-23)

 

Anjuran Saling Membalas Kebaikan

Normalnya, dalam hidup bersosial, kebaikan harus dibalas dengan kebaikan. Satu tingkat di atasnya, dibalas dengan imbalan yang lebih baik. Dan, yang tertinggi yaitu ketika kezaliman dibalas dengan senyuman. Tapi tidak berarti boleh membiarkan kemungkaran, tidak sama sekali. Kemungkaran harus segera diselesaikan dan dicegah. Karena yang disenyumi adalah empunya, bukan kezalimannya. Pertanyaannya, apakah menerima balasan kebaikan itu berarti ketidakikhlasan? Tentu tidak, seperti keterangan sebelumnya. Allah berfirman:

 

وَاِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِاَحْسَنَ مِنْهَآ اَوْ رُدُّوْهَا ۗ  اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيْبًا

 

Artinya, “Dan, apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yang sepadan) dengannya. Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’[4]:86)

 

Imam Ar-Rohili berkata:

 

فِعْل المعروف المتبادَل بين المسلم وأخيه المسلم فهو أمرٌ مباح، بل هو مما أمر الله به المسلمين

 

Artinya, “Saling balas jasa antar sesama dalam kebaikan itu boleh-boleh saja, bahkan diperintahkan agama.” (Thariquka ila al-Ikhlas wa al-Fiqh fi ad-Din, hal. 24).

 

 

Alhasil, tak setiap kompensasi atau imbalan dari kebaikan yang kita lakukan merupakan warna ketidakikhlasan. Jangan pernah ragu mengambil kompensasi, selain karena itu rezeki, secara tidak langsung kita sedang membantu menyalurkan kebaikan saudara-saudara kita.

 

Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.

 

Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur