Tasawuf/Akhlak

Cara Menyikapi Pujian Perspektif Ulama Sufi

Rab, 1 Desember 2021 | 05:00 WIB

Cara Menyikapi Pujian Perspektif Ulama Sufi

Cara menyikapi pujian perspektif ulama sufi.

“Manusia akan memujimu atas apa yang mereka lihat kepadamu, karenanya jadikanlah dirimu sebagai pribadi yang mencela diri sendiri atas keburukan yang ada dalam dirimu, sekalipun banyak manusia yang memuji dan menyanjungmu.”


Kalam hikmah ini merupakan ungkapan dan pesan ulama sufi Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari yang dicatat oleh Sayyid Bilal bin Ahmad al-Bistani ar-Rifa’i al-Husaini dalam kitabnya, Farhatun Nufus halaman 226.


Pesan di atas sangat penting diingat, khususnya pada masa sekarang di mana media seperti menjadi jalan paling laris untuk pansos (panjat sosial) agar viral dan terkenal, sehingga mendapatkan banyak pujian dari orang lain.


Dalam pesan di atas, Imam Ibnu Athaillah seolah hendak mengatakan bahwa sejatinya tidak ada yang lebih tahu pada apa yang ada dalam diri seseorang selain dirinya sendiri. Selain mengetahui kelebihan yang dimiliki, sebenarnya orang juga tahu atas kekurangan dan keburukan dirinya sendiri. Karenanya, ketika pujian dan sanjungan datang dari orang lain atas kelebihan yang mereka lihat, jalan terbaik agar tidak tertipu dan tenggelam dengan pujian itu adalah mencela diri sendiri atas segala kekurangan yang ada dan tidak orang lain ketahui. Dengannya, ia menjadi waspada agar tidak terjerumus pada tipu daya setan yang akan menambah aib dan kesombongan dirinya.

 


Cara Menyikapi Pujian Menurut Syekh al-Khadimi

Syekh Muhammad bin Muhammad bin Musthafa bin Utsman Abu Sa’id al-Khadami (wafat 1156 H) mengatakan, tidak seharusnya suatu pujian menjadi penyebab sombong, dan menganggap diri lebih baik daripada orang lain. Sebab, orang lain hanya memuji karena tanda-tanda bahwa orang yang dipuji merupakan orang baik, padahal kenyataan sebenarnya tidak ada yang tahu selain dirinya. Selain itu, jika ternyata pujian itu tidak sesuai kondisi nyata yang ada dalam dirinya, seharusnya orang malu kepada Allah, sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Abu Sa’id:


الْمُؤْمِنُ إذَا مُدِحَ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ أَنْ يُثْنَى عَلَيْهِ بِوَصْفٍ لَا يَشْهَدُهُ فِي نَفْسِهِ


Artinya, “Orang beriman apabila dipuji, ia akan merasa malu kepada Allah atas pujian yang diterimanya, sedangkan sifat-sifat (yang dimaksud) tidak ada dalam dirinya.” (Abu Sa’id al-Khadami, Bariqah Mahmudiah fi Syarhi Syariatin Nabawiyyah, [Mathba’ah al-Halabi, cetakan pertama 1348 H], juz V, halaman 229).


Dengan pernyataan itu Syekh Abu Sa’id memberikan penjelasan bahwa seorang mukmin yang hakiki adalah orang yang tidak memandang sifat terpuji yang ada pada dirinya. Sebab, yang berhak mendapatkan pujian hanyalah Allah Dzat Yang Memberi Pujian, bukan manusia.

 


Cara Menyikapi Pujian Menurut Ibnu ‘Ajibah al-Husaini

Sementara Sayyid Ahmad bin Muhammad Ibnu ‘Ajibah al-Husaini (wafat 1266 H) memberikan alasan yang lebih detail perihal kenapa manusia harus merasa malu atas pujian orang lain dan mengarahkan pujian itu kepada Allah. Menurutnya, pujian manusia kepada orang lain disebabkan karena Allah tidak menampakkan segala aib dan kekurangannya kepada orang lain. Allah hanya menampakkan kebaikannya saja. Andaikan kekurangannya ditampakkan dan kebaikannya yang ditutupi, sudah pasti tidak akan ada satu orang pun yang memujinya.


Karenanya, semua pujian manusia sudah selayaknya diarahkan kepada Allah, bukan pada dirinya. Sebab dengan sifat agung-Nya, Allah telah menutupi semua kekurangan dan aib yang ada dalam diri manusia. (Sayyid Ibnu Ajibah, Iqadul Himam Syarah Matnil Hikam, [Darul Ma’arif, cetakan kedua: 2007, tahqiq: Syekh ‘Ashim bin Ibrahim], juz I, halaman 159).


Sayyid Bilal Ahmad al-Husaini memberikan penjelasan yang cukup berbeda dengan penjelasan di atas. Menurutnya, ketika manusia memberikan pujian kepada orang lain atas sifat yang tidak ada dalam dirinya, maka hal itu merupakan panggilan dan kode khusus dari Allah agar menambah ketaatan ibadah dan lebih giat dalam mengerjakan kewajiban dan kesunnahan lainnya, serta tidak terlena dan tidak sombong dengan pujian yang diterimanya.

 


Kondisi Orang yang Dipuji Menurut Ibnu Athaillah as-Sakandari

Dalam kelanjutan kalam hikmah di atas Imam Ibnu Athaillah memberikan penegasan, bahwa orang tentu sudah sangat tahu pada sifat-sifat dan kepribadiannya sendiri secara meyakinkan; sedangkan pujian orang lain sejatinya masih bersifat asumtif, tidak benar-benar nyata adanya, sehingga hanya sekadar prasangka yang sangat mungkin salah. Dalam hal ini beliau menegaskan:


أَجْهَلُ النَّاسِ مَنْ تَرَكَ يَقِينَ مَا عِنْدَهُ لِظَنِّ مَا عِنْدَ النَّاسِ


Artinya, “Manusia paling bodoh adalah orang yang meninggalkan keyakinan yang ada pada dirinya disebabkan prasangka yang muncul dari orang lain.” (Al-Husaini, Farhatun Nufus, halaman 226).


Menurut Ibnu Athaillah, orang yang mendapatkan pujian dari orang lain, kemudian bangga dengannya, bahkan menganggap baik dirinya, orang seperti ini merupakan orang yang paling bodoh. Sebab, secaar menyakinkan ia tahu bahwa selain ibadah yang dilakukannya, ada pula berbagai maksiat dan kesalahan yang dilakukannya, yang telah Allah tutupi agar tidak dilihat orang lain.

 


Pujian Menurut Syekh Harits al-Muhasibi 

Syekh Harits al-Muhasibi mengumpamakan orang yang senang dan bangga mendapatkan pujian sebagaimana orang yang senang mendapatkan hinaan dari orang lain. Misalnya ada orang lain berkata, “Kotoranmu berbau harum”, kemudian bangga dengannya, padahal ia sendiri jijik dan tahu busuknya kotoran tersebut.


Demikian pula kotoran dosa dan maksiat. Ia lebih buruk dan lebih menjijikkan daripada kotoran manusia. Sebab itu, tidak selayaknya orang bangga dan gembira dengan pujian dari orang lain karena suatu kebaikan yang dilihatnya, sementara di sisi yang lain ia justru sering melakukan berbagai maksiat kepada Allah tanpa sepengetahuan mereka. Di waktu yang sama, sebenarnya Allah belum membuka aib-aibnya. Wallahu a’lam.


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.