Tasawuf/Akhlak

Mengenal Nafsu Lawwamah

Rab, 19 Februari 2020 | 06:30 WIB

Mengenal Nafsu Lawwamah

Menurut mayoritas ulama, nafsu itu satu tapi memiliki tiga sifat atau keadaannya.

Pada asalnya, nafsu memang jahil dan zalim. Tak heran bila tidak mendapat rahmat dan karunia Allah, ia selalu memerintah pada keburukan. Tapi, jika Allah menghendaki kebaikan, maka Dia akan membersihkannya dengan keimanan dan amalan-amalan saleh. Artinya, bila terus dibiarkan seperti saat diciptakannya, ditambah tak mendapat rahmat dan karunia Allah, maka ia akan terus memerintah keburukan dan kezaliman. Pengetahuan awal inilah yang harus diketahui seorang salik manakala ingin memulai jalan ibadah Allah (suluk).

 

Mayoritas ulama mengatakan bahwa nafsu itu satu, namun sifat atau keadaannya ada tiga. Berdasarkan sifat dan keadaannya ini, nafsu terbagi menjadi tiga: (1) nafsu ammarah; (2) nafsu lawwamah; dan (3) nafsu muthmainnah, sesuai dengan yang diungkap Al-Quran.

 

Nafsu ammarah, sebagaimana yang telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya, adalah nafsu yang masih apa adanya sesuai dengan kondisi penciptaannya, jahil dan zalim. Makanya, ia selalu memerintah kepada keburukan dan kezaliman, sebagaimana dalam Al-Quran:

 

وَما أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلاَّ مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

 

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku, (QS. Yusuf [12]: 53).

 

Kemudian nafsu lawwamah adalah nafsu yang disesali atau dipersalahkan, sebagaimana dalam ayat:

 

لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ ، وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

 

  1. bersumpah demi hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (nafsunya sendiri), (QS. Al-Qiyamah [75]: 1-2).

 

Para ulama beragam pendapat soal nafsu lawwamah ini. Sekelompok ulama menyebutkan, nafsu lawwamah adalah nafsu yang tidak diam dalam satu keadaan. Ia terkadang berubah dan beralih dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Terkadang dzikir, terkadang lalai. Terkadang menghadap, terkadang menentang. Terkadang mencinta, terkadang membenci. Terkadang bahagia, terkadang sedih. Terkadang rida, terkadang murka. Terkadang taat, terkadang membangkang.

 

Berdasarkan pihak yang memersalahkannya, nafsu lawwamah ini terbagi dua: lawwamah mulawwamah (yang dipersalahkan); dan lawwamah ghair mulawwamah (tidak dipersalahkan). Lawwamah mulawwamah termasuk nafsu yang zahil dan zalim sehingga dipersalahkan oleh Allah dan malaikat kelak. Sedangkan nafsu lawwamah ghair mulawwamah adalah nafsu yang selalu dipersalahkan oleh pemiliknya karena lalai dalam menjalankan ketaatan kepada Allah—padahal ia sudah bersungguh-sungguh menjalankannya. Inilah nafsu lawwamah yang tidak disesali, bahkan termasuk nafsu yang mulia. Karena itu, manusia yang selalu menyalahkan nafsunya seraya sibuk dengan ketaatan kepada Allah, akan terhindar dari celaan-Nya. Sebaliknya, manusia yang rida dengan amal-amalnya, namun tidak pernah menyalahkan nafsunya, tidak pernah introspeksi dirinya, maka besar kemungkinan dia akan dicela di hadapan Allah.

 

Berbeda dengan pendapat al-Hasan al-Bashri. Nafsu lawwamah adalah nafsu seorang mukmin. Sebab, orang mukmin tidak melihat nafsu kecuali menyalahkannya. Mengapa engkau melakukan ini? Mengapa engkau tidak melakukan ini, padahal ini lebih baik, dan seterusnya. (Lihat: Syekh Ahmad Farid, Tazkiyatun Nufus, [al-Iskandariyyah: Darul ‘Aqidah lit-Turats]. 1993, Jilid, 1, hal. 69).

 

Ada lagi yang berpendapat, setiap manusia di akhirat akan menyalahkan dan menyesali nafsunya. Orang baik akan menyesali nafsunya mengapa dulu sedikit kebaikannya. Mengapa tidak bersungguh-sungguh menjalankan kebaikan ini. Mengapa tidak sungguh-sungguh meninggalkan larangan ini. Mengapa dulu masih suka terlambat menunaikan kebajikan ini. Mengapa tidak sungguh-sungguh memperbaiki kekurangan ini. Dan sebagainya.

 

Sedangkan orang zalim akan menyalahkan dan menyesali nafsunya mengapa dulu selalu mengikuti keinginan buruknya? Mengapa dulu berbuat ini? Mengapa dulu menyia-nyiakan kesempatan ini? Mengapa dulu begitu berani berbuat kemaksiatan ini. Dan seterusnya.

 

Inilah ragam pendapat para ulama tentang nafsu lawwamah. Mudah-mudahan menjadi sedikit bekal bagi siapa pun yang hendak menempuh jalan Allah, sekaligus menjadi dasar untuk menghindari penyesalan yang teramat besar di akhirat kelak. (Lihat: Syekh Muhammad ibn Ibrahim, Mausu ‘ah Fiqh al-Qulub, Terbitan Baitul Afkar ad-Dauliyyah, jilid 2, hal. 1410). Wallahu ‘alam.

 

 

 

Penulis : M. Tatam

Editor : Mahbib