Refleksi Duka dalam Film Sore: Bolehkah Marah kepada Takdir?
NU Online · Rabu, 6 Agustus 2025 | 11:00 WIB
Muhammad Ibnu Sahroji
Kolomnis
Dalam film Sore: Istri dari Masa Depan, penonton diajak menyelami dinamika cinta yang tak biasa, bukan hanya tentang dua insan yang saling mencintai, tapi tentang perjuangan satu jiwa untuk menyelamatkan yang lain dari kehilangan. Sore, seorang istri dari masa depan, datang ke masa lalu dengan satu misi: mengubah takdir suaminya yang kelam. Namun, dalam proses tersebut, muncul berbagai emosi yang intens, berupa penolakan, kebingungan, dan juga kemarahan, terutama ketika Jonathan dihadapkan pada kenyataan yang tak bisa ia kendalikan.
Kisah Sore dan Jonathan menggambarkan bahwa cinta sejati bukan hanya tentang rasa, tapi juga tentang penerimaan terhadap apa yang akan dan telah terjadi. Namun di balik narasi fiksi tersebut, kita diajak merenung: bagaimana jika kenyataan seperti itu terjadi dalam hidup kita? Ketika kehilangan datang tiba-tiba, dan kita tak punya kendali apa pun selain rasa sakit, mungkinkah kita merasa marah? Apakah perasaan itu bentuk penolakan terhadap takdir Allah atau justru bagian dari proses manusiawi yang sah dan harus dipahami?
Berduka adalah salah satu pengalaman paling berat dalam kehidupan manusia. Kehilangan seseorang yang dicintai, entah itu orang tua, pasangan, anak, atau sahabat, meninggalkan luka yang mendalam. Dalam prosesnya, seseorang yang berduka kerap melewati serangkaian emosi, yang dikenal sebagai lima fase berduka (five stages of grief) oleh Elisabeth Kübler-Ross. Salah satu fase yang paling sulit untuk dipahami, baik oleh individu yang mengalaminya maupun orang-orang di sekitarnya, adalah fase "anger" atau kemarahan.
Baca Juga
Bisakah Manusia Mengubah Takdir?
Kübler-Ross menyebutkan hal tersebut pada tahun 1974 lewat karya tulisnya yang berjudul “Question and Answer on Death & Dying”. Ia memaparkan bahwa dalam fase “anger”, seseorang yang berduka mungkin merasa marah kepada diri sendiri, orang lain, bahkan kepada Tuhan. Pertanyaan-pertanyaan seperti "Mengapa ini terjadi padaku?" atau "Mengapa Tuhan mengambilnya secepat ini?" sering kali muncul. Reaksi ini, bagi sebagian orang, menimbulkan kekhawatiran: apakah marah kepada takdir Allah setelah berduka merupakan bentuk "menolak takdir"?
Memahami Takdir dan Keimanan dalam Islam
Dalam Islam, iman kepada takdir (qada dan qadar) adalah salah satu rukun iman. Artinya, setiap Muslim diwajibkan untuk meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan, adalah atas kehendak Allah SWT. Menerima takdir berarti berlapang dada dengan ketetapan Allah, tanpa mengeluh atau menyesali.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Hadid ayat 22, Allah SWT berfirman:
مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَاَهَاۗ اِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌۖ ٢٢
mâ ashâba mim mushîbatin fil-ardli wa lâ fî anfusikum illâ fî kitâbim ming qabli an nabra'ahâ, inna dzâlika ‘alallâhi yasîr
Artinya: “Tidak ada bencana (apa pun) yang menimpa di bumi dan tidak (juga yang menimpa) dirimu, kecuali telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah”.
Namun, apakah menjalani fase kemarahan setelah kehilangan berarti menolak takdir? Ulama dan ahli psikologi Islam memberikan pemahaman yang lebih mendalam. Mereka membedakan antara "marah yang menolak takdir" dan "marah sebagai emosi manusiawi".
Marah sebagai Emosi Manusiawi yang Wajar
Islam adalah agama yang realistis. Ia tidak menuntut umatnya untuk menjadi robot yang tidak memiliki perasaan. Kesedihan, air mata, dan rasa sakit hati adalah fitrah manusia. Nabi Muhammad SAW sendiri menunjukkan contoh. Ketika putranya, Ibrahim, meninggal, beliau menangis. Ketika ditanya mengapa, beliau bersabda:
يَا ابْنَ عَوْفٍ إِنَّهَا رَحْمَةٌ
Artinya, “Wahai Ibnu ‘Auf, ini adalah wujud kasih sayang (rahmat),” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menunjukkan bahwa menangis dan bersedih atas kehilangan adalah hal yang wajar dan bukan tanda ketiadaan iman. Begitu pula dengan kemarahan. Fase "anger" dalam proses berduka bisa jadi merupakan luapan emosi yang tidak terkelola, rasa frustrasi atas ketidakberdayaan, atau bahkan bentuk ketidakmampuan untuk menerima kenyataan pahit. Ini adalah respons emosional, bukan secara sadar menolak takdir.
Membedakan Antara Menolak Takdir dan Mengalami Emosi
Menolak takdir ditandai dengan sikap tidak menerima, mengeluh secara berlebihan, menyalahkan takdir, atau bahkan kufur (mengingkari nikmat Allah) akibat musibah. Seseorang yang menolak takdir biasanya tidak berusaha untuk bangkit, melainkan terus-menerus meratapi nasibnya dengan amarah yang tidak berujung.
Sementara mengalami fase "anger" adalah bagian dari proses psikologis yang normal. Kemarahan yang muncul sering kali disertai dengan perasaan lain, seperti sedih, hampa, dan bingung. Seseorang yang mengalami fase ini tidak serta-merta kehilangan keimanannya. Justru, dengan kesadaran dan dukungan, ia dapat menyalurkan emosi tersebut ke arah yang lebih positif, misalnya dengan introspeksi, mendekatkan diri kepada Allah, atau mencari bantuan profesional.
Batasan yang Boleh dan Tidak dalam Konteks Islam?
Dalam Islam, terdapat batasan ekspresi berduka yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Sekadar menangis tentu saja diperbolehkan, sedangkan jika sudah berlebihan hingga meratap dan lainnya, tentu tidak diperbolehkan. Dalam kitab Kifayatul Akhyar dijelaskan:
(ولا بأس بالبكاء على الميت من غير نوح ولا شق جيب ولا ضرب خد) يجوز البكاء على الميت قبل الموت وبعده أما قبله فلرواية أنس رضي الله عنه قال دخلنا على رسول الله صلى الله عليه وسلم وإبراهيم ولده يجود بنفسه فجعلت عينا رسول الله صلى الله عليه وسلم تذرفان يعني تسيلان
Artinya: “(Tidak masalah menangisi jenazah tanpa meratap, merobek kantong, dan memukul pipi). Seseorang boleh menangisi orang lain baik sebelum maupun sesudah wafatnya. Kebolehan menangisi seseorang sebelum wafat didasarkan pada riwayat sahabat Anas ra, ia berkata, “Kami menemui Rasulullah saw. Sementara Ibrahim, putra beliau, sedang mengembuskan nafas terakhirnya. Saat itu tampak air mata hangat mengalir, yaitu meluncur dari kedua mata Rasulullah saw,” (Taqiyyuddin Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 137-138).
Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa fase “anger” pasca berduka bukanlah serta-merta bentuk penolakan terhadap takdir Allah. Ia adalah bagian dari dinamika emosional manusia yang wajar, sebuah reaksi awal dari jiwa yang sedang mencari cara untuk berdamai dengan luka. Yang terpenting bukan sekadar hadirnya amarah itu, tetapi bagaimana kita menyikapinya: apakah kita membiarkannya membakar keimanan, atau menjadikannya jalan untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pemilik Takdir.
Selama kemarahan itu tidak melahirkan kedurhakaan, keputusasaan, atau sikap menentang qada dan qadar, maka ia lebih tepat dipahami sebagai bagian dari proses penyembuhan ruhani. Islam memandu kita untuk bersabar, bertawakal, dan menyandarkan diri kepada keyakinan bahwa setiap musibah datang bukan untuk melemahkan, melainkan untuk menguatkan.
Akhirnya, dengan keimanan yang kokoh dan pengelolaan jiwa yang bijak, seorang hamba dapat melewati fase duka ini dengan tetap menjaga keutuhan hati dan menemukan ketenangan dalam ridha terhadap ketetapan-Nya. Wallahu a‘lam bish-shawab.
Muhammad Ibnu Sahroji atau Ustadz Ges
Terpopuler
1
Jadwal Puasa Sunnah Sepanjang Agustus 2025, Senin-Kamis dan Ayyamul Bidh
2
Upah Guru Ngaji menurut Tafsir Ayat, Hadits, dan Pandangan Ulama
3
Pakar Linguistik: One Piece Dianggap Representasi Keberanian, Kebebasan, dan Kebersamaan
4
IPK Tinggi, Mutu Runtuh: Darurat Inflasi Nilai Akademik
5
2 Alasan LPBINU Bandung Sosialisasikan Literasi Bencana untuk Penyandang Disabilitas
6
PBNU Minta PPATK Tak Ambil Kebijakan Serampangan soal Pemblokiran Rekening Menganggur
Terkini
Lihat Semua